Rukmi­ni ingin pulang. Suasana rumah yang jauh dari sem­pur­na mem­bu­at­nya ser­ing rindu. Ada tiga anak kuc­ing beru­mur tiga ming­gu mengisi ruang nano dipo­jokkan rindu. Bau khas kopi jahe tubruk yang disan­grai penuh cin­ta ibu menam­bah pelik batinnya.

Malam itu akhirnya Ruk­mi­ni nekat pulang (alay, kare­na malam masih ting­gal di ala­mat 19:01). Malam ming­gu, gadis jomblo (yang juga men­gaku tidak ingin pun­ya pacar) itu berpami­tan pada nyonya kos lan­tas pulang menggen­dong tas hitam. Dite­mani ger­im­is tip­is-tip­is, ia memacu motor butut­nya beradu cepat den­gan rasa rindu.

Ruk­mi­ni dan impian

Di sep­a­n­jang per­jalanan, Ruk­mi­ni kem­bali mengin­gat-ingat keja­di­an demi keja­di­an yang telah ia lakukan sedari pagi. Anak bon­tot dari empat bersaudara itu ingat, ia ban­gun telat. Meskipun tidak ada guru BP yang akan menghukum­nya, ia tetap menye­sal telat. Pukul 07:02 ia baru mem­bu­ka mata, kemu­di­an duduk dan beran­jak cuci muka.

Selangkah kaki ia jejakkan menu­ju kamar man­di. Tapi tiba-tiba ia berba­lik lagi. “Mend­ing aku lang­sung mandikan ya?” tanya dalam hati. Akhirnya gadis beram­but cepak itu man­di. Melu­muri tubuh­nya yang ringk­ih den­gan sabun cair sehar­ga dua ribu lima ratus per­ak. Tidak berse­lang lama, kemu­di­an ia mematut diri di cer­min. Ada per­tanyaan yang ser­ing meng­gang­gu piki­ran, keti­ka ia meng­hadap pada cermin.

Can­tik itu apa?”

Aku can­tik, benarkah?”

Iya harus benar.” Kata ibuku kan can­tik. “Haha­ha…”. Gadis pecin­ta kesen­ian teater itu ngakak sendiri­an di kamar perse­gi 3×3 meter.

Ruk­mi­ni ingat den­gan perdisku­sian­nya bersama sebuah lem­ba­ga per­jodohan maha­siswa, beber­a­pa hari sebelum Sab­tu. Ia datang ter­lam­bat dan hanya mem­per­hatikan perdisku­sian itu sete­lah sep­a­roh jalan. Diskusi yang dim­u­lai pada pukul 15:00 saat itu mem­ba­has ten­tang perem­puan. Keti­ka Ruk­mi­ni datang, per­tanyaan yang ia den­gar dari salah satu peser­ta diskusi adalah ten­tang beau­ty class dan hand­some class.

Mbak, bagaimana den­gan beau­ty class yang diwa­jibkan itu? Kita kan dia­jari untuk ber-ati­tude, dia­jari bagaimana bersikap di depan kon­sumen dan lain-lain. Jadi penampi­lan kita kan harus can­tik dan menarik.” tanyanya.

Ruk hanya geleng-geleng kepala. Tampi­lan­nya yang awut-awu­tan sama sekali tidak cocok jika disand­ingkan den­gan gadis can­tik yang tadi bertanya. Semua men­ja­di sal­ing pan­dang, dan akhirnya fasil­i­ta­tor perdisku­sian­pun menang­gapi den­gan hangat per­tanyaan tersebut.

Sayangnya, belum sem­pat si mbak fasil­i­ta­tor itu menang­gapi, Ruk kebu­ru dia­jak per­gi oleh teman kelasnya.

Ayo kita ngam­bil buku tabun­gan. Besok sudah harus setor uang.” ajak si teman.

Hah? Iyaa seben­tar kak.”

Ruk­mi­ni pun den­gan berat hati per­gi mening­galkan jawa­ban yang ingin ia dengar.

Rukmini
Ruk­mi­ni
Cantik dan Kosmetik
Can­tik dan Kosmetik

Sen­ja yang tadinya mewan­gi men­ja­di anyir tiba-tiba. Temaram­nya malam men­ja­di hen­ing tan­pa dis­adari. Gadis bertahi lalat di ujung hidung itu berlari di ham­paran pasir berlu­mut. Nafas­nya tersekat di ubun-ubun. Matanya mem­bu­ka-tut­up dalam hitun­gan detik.

Ah mulai ngan­tuk. Aku pulang dulu yaa mas, mbak, om.” ujarnya pada rekan-rekan ngopi.

Wak­tu memang telah menun­jukkan pukul 22:05. Sete­lah sorenya ia gagal men­da­p­atkan kesem­patan untuk mem­per­hatikan sam­pai habis perdisku­sian, akhirnya malam ia memu­tuskan ikut ser­ta dalam sebuah diskusi kecil di warung kopi. Perdisku­sian itu mem­ba­has ten­tang aksi do’a bersama di tang­gal 2 Desem­ber 2016. Ada beber­a­pa kawan yang mengge­bu-gebu ingin ikut ser­ta ke Monas.

Itu kan salah satu ben­tuk jihad kita. Islam kita itu harus dibela, jan­gan mau din­istakan”, ujarnya memprovokasi.

Nga­pain Islam harus dibela? Ndak dibela­pun, islam yaa tetep islam, ndak akan berku­rang”, sahut yang lain.

Acong kan sudah diadili, terus mau apa lagi to.”

Yaa dipen­jarakan­lah, itu gan­jaran yang sesuai. Kafir ndak boleh memimpin”, sahut yang lain lagi.

Kita bela sia­pa sebe­narnya? Bela Islam apa salah satu kubu?”

Opo mak­sud kowe? Yo jelas islam, Yang din­istakan itu Islam. Kita ini orang islam jan­gan mau diinjak-injak.”

Sia­pa sih bang sing ngin­jak-ngin­jak sam­pean itu. Tidak ada. Coba band­ingkan den­gan pas sam­pean ceramah terus nga­ta-ngatain aga­ma lain sesat, bilang kitab mere­ka pal­su­lah, sam­pai mesjid Ahmed sam­pean juga ikut-iku­tan ngrusak. Itu jus­tru men­coreng nama Islam yang katanya Rah­matan lil ‘alami­in, bang”, sang­gah Ruk.

Sete­lah sele­sai den­gan perde­batan 212 bersama para wiros­ableng KW, gadis bau cucur itu pun merasa jen­gah. Mas­ing-mas­ing lawan bicaranya memi­li­ki upaya yang berapi-api dalam meneguhkan pen­da­p­at. Semen­tara ia tidak lagi fokus pada inti perde­batan. Fokus­nya ter­pec­ah pada isi perut dan isi hati. Hari sab­tu pagi hing­ga men­je­lang sore, tidak ada sesu­atu yang bisa mem­bu­at­nya berta­han di kam­pus, kecuali agen­da 7 kali perte­muan bela­jar menulis. Bela­jar menulis hing­ga drama­ti­sasi kon­flik adalah hal yang disukai Rukmini.

Esok paginya, ia berte­mu den­gan seo­rang gadis berna­ma Mawar. Wajah­nya teduh dan menen­tramkan. Sia­papun yang meman­dan­gnya pasti merasa senang (menu­rut si Ruk­mi­ni). Memakai jubah war­na mer­ah muda den­gan jil­bab yang men­ju­lur pan­jang, bahkan sam­pa menu­tupi lengan, adem dipan­dang mata.

Andai jika aku bisa seper­ti itu. Ah mus­tahil”, batin Rukmini.

Kem­bali ia ingat den­gan perdisku­sian ten­tang perem­puan sehari sebelum­nya. Ten­tang defin­isi can­tik yang diiden­tikkan den­gan kulit putih, mulus, man­cung, kalem, dan lain seba­gainya. Pen­defin­isian yang merubah arah pemiki­ran perem­puan men­ja­di kon­sumtif. Banyak mungkin perem­puan yang tidak sadar den­gan keadaan yang menim­pa­nya. Asum­si dasar yang mere­ka pakai adalah ‘itu kodrat kita seba­gai wani­ta’. Pada­hal kebanyakan perem­puan telah men­gala­mi pen­gal­i­han kesadaran atau yang ser­ing dise­but den­gan kesadaran palsu.

Ruk­mi­ni ten­tu ter­ma­suk salah satu perem­puan yang dile­ma. Pro­fe­sion­al­i­tas meng­haruskan­nya berpe­nampi­lan seme­narik mungkin. Dis­isi lain, ia tidak memi­li­ki has­rat untuk melakukan­nya. Bagi gadis pen­ganut madzhab fem­i­nism ini, sela­ma perem­puan masih fokus dan berku­tat pada sep­a­tu, salon, dan gin­cu, den­gan tujuan yang melam­paui batas kesadaran­nya,  maka sela­manya, kemerdekaan mere­ka adalah palsu.

Per­jalanan 45 menit menghen­tikan lamu­nan­nya. Ter­sadark­an oleh rumah rindu di hada­pan­nya. Pin­tu, kasur, Ibu, Abah, kuc­ing, semua memu­at rindu.

Aku berhen­ti seje­nak dan menarik nafas pan­jang. “Aku pulang.”

Tulun­ga­gung, 4/12/16, 09:47

Riz­ka Umami

Seo­rang Pen­ga­song ‘Sur­re­al’

Facebook