Rokan menumpahkan susu di samp­ing peti­lasan Mbah Sumede. Bibirnya komat-kamit lak­sana dukun. Dia berusa­ha mer­a­palkan mantra hafalan­nya sep­a­n­jang minggu.

Biarkan­lah saya menang,” katanya.

Jika pun benar, akan ada banyak sesem­ba­han Eyang.”

Menden­gar per­mintaan­nya, Mawut mem­inc­ingkan matanya yang kebas sebe­lah. Dia tidak sekalipun mem­bayangkan bah­wa hari ini akan datang. Dia menun­jukkan rasa keti­dakper­cayaan melalui kedi­pan mata yang menghina.

Semen­tara malam semakin pekat, kam­bo­ja di bawah pur­na­ma bergugu­ran menim­pa ked­ua pemu­da yang sedang berpu­tus asa. Peti­lasan Mbah Sumede seo­lah berlian yang jauh berhar­ga ketim­bang angin yang merangsek ke dalam persendi­an mereka.

Untuk Nimas, Eyang. Saya harus menang dalam sayem­bara itu.” Mawut ter­lon­jak begi­tu menden­gar nama yang dise­but teman karibnya.

Apa kata­mu?” Dia segera menud­ing Rokan yang seo­lah tak menger­ti apapun.

Aku hanya men­gungkap­kan keing­i­nanku pada peti­lasan ini.”

Tapi kau tidak bilang bah­wa kau ingin Nimas,” tim­pal­nya merasa dikhianati.

Kalau begi­tu aku tidak sudi melan­jutkan rit­u­al ini. Aku tidak sudi men­cari tum­bal, aku tidak sudi mem­ba­yar mahar”, sambungnya.

Aku tidak per­nah mem­inta­mu melakukan semua itu,” Rokan men­gakhiri ritualnya.

Sam­bil menabur kem­bang tujuh war­na, Rokan kem­bali beru­cap. “Lagi pula kau pun juga bisa mem­inta keing­i­nan­mu pada peti­lasan ini, kecuali Nimas, tentunya.”

*****

Bilik bam­bu seten­gah patah mer­ingkik tatkala Rokan merun­duk mema­sukinya. Penyang­ga bilik yang telah ter­makan rayap tidak sekalipun dia gubris. Tapi batin­nya mulai gelisah barangkali ini bisa menye­babkan kekalahannya.

Rokan mene­nangkan dirinya den­gan lim­bung. “Tidak,” ujarnya.

Aku telah mem­inta ke peti­lasan.” Kemu­di­an dia meneguk cerek yang ter­isi seten­gah air.

Fajar angkuh mer­ayapi lan­git-lan­git yang ter­in­tip melalui celah atap. Penat ditubuh­nya belum hilang apala­gi percek­cokan­nya semakin mem­bu­at­nya ter­sudut. Sekali saja seu­mur hidup­nya, Nimas telah mem­bu­at­nya ambu­radul. Dia jauh-jauh mem­buang piki­ran itu, “Salahkah ini, untuk Nimas?”

*****

Sep­a­n­jang siang piki­ran­nya ter­tan­cap pada peti­lasan. Dia telah mem­inta satu hal yang pal­ing diinginkan, Nimas. “Pasti aku akan mem­per­olehnya”, Rokan berkeyakinan.

Hiruk-pikuk bal­ai desa memu­dark­an lamu­nan lela­ki singset yang telah memen­dam perasaan­nya jauh-jauh. Matanya awas menya­pu selu­ruh ban­gu­nan: bal­ai desa, puskesmas, dan madrasah. Semua orang sibuk ter­hadap perbin­can­gan dan ton­to­nan yang dis­ug­uhkan tet­ua, namun tia­da seo­rang­pun yang mele­wati gun­dukan. Tanah yang sedik­it bergun­duk-gun­duk itu berben­tuk lingkaran ̶ mem­bat­asi area lapan­gan ̶ dibaren­gi beringin tua yang mem­beri naungan.

Rokan merasakan degu­pan aneh sebelum hari pent­ingnya terukir. Langkah kakinya beradu den­gan kerik­il yang sen­ga­ja dipentalk­an, meskipun paka­ian ter­baik: bersete­lan sutera dan sep­a­tu kulit. Tapi seo­lah dia terse­limu­ti sesu­atu, semacam perasaan aneh ̶ mungkin sese­o­rang mengikutinya ̶ mem­bu­at bulu kuduknya menegang.

Kau gugup?” sela sebuah suara.

Mawut mening­gikan ker­ah­nya. Lela­ki pen­dek itu memakai sete­lan yang bahkan tidak sebaik miliknya. Tapi tin­dak-lakun­ya mengam­barkan kemenangan.

Tidak,” Rokan menim­pali. Dia berusa­ha keras menyem­bun­yikan apapun yang mem­bu­at tubuh­nya berpeluh.

Bagaimana bisa saya gugup keti­ka saya tahu bah­wa saya akan menang,” lanjutnya.

Sudut bibir lela­ki pen­dek terangkat, “Apa menu­rut­mu saya bodoh?”

Kege­lisa­han Rokan semakin men­ja­di. Bahkan ludah­nya terasa anyir, seo­lah dia menelan darah.

*****

Rokan mer­ingkuk di ceruk dind­ing. Seku­jur tubuh­nya berge­tar. Matanya per­ih dan kulit­nya terasa sak­it, seper­ti jarum men­em­bus kulitnya.

Sen­ja meng­in­tip di atas dind­ing. Per­ayaan Nimas belum berakhir ̶ tiga hari tiga malam dia beradu keku­atan ̶ hing­ga pasan­gan­nya ter­pil­ih dan pes­ta pernika­han dibesarkan.

Payah!” batin­nya. “Peti­lasan brengsek!” Rokan mema­ki dirinya.

Tubuh­nya kaku. Dia semakin ter­be­nam ke dind­ing. Semen­tara suara itu mengge­ma mene­r­i­akkan nama teman­nya, Mawut. Lela­ki itu menang, bukan dia.

*****

Tubuh­nya lunglai men­er­o­bos orang desa yang berjibaku dalam kegem­bi­raan. Seketi­ka teri­akan dis­er­tai berpu­luh telun­juk menud­ing padanya. Rokan ter­sudut. Kulit­nya menghi­jau dan men­gelu­arkan aro­ma busuk. Semakin lama tubuh­nya terasa semakin kaku. Dia terus ber­jalan, berusa­ha meng­ga­pai pang­gung dise­berang lapangan.

Nimas,” rin­ti­h­nya. “Kau milikku.”

Seketi­ka kehe­bo­han ter­ja­di. Jer­i­tan gadis itu beradu den­gan jer­i­tan yang lain.

Apa yang ter­ja­di padamu, Teman,” kata Mawut yang sejak tadi berdiri di sisi istrinya. “Kau ter­li­hat seper­ti Tukas sebelum dia mati.”

Rokan memak­sa tubuh­nya berg­er­ak. “Brengsek!” ujarnya samar. Dia berhasil men­cengk­er­am perge­lan­gan lela­ki pen­dek itu. Kemu­di­an cengkra­man lep­as dalam sekali hentakan.

Jadi ini sebab­nya kau tidak mengiku­ti seyem­bara hari ini.” Mawut mene­gap­kan dadanya agar tam­pak semakin bidang.

Tubuh­nya yang pen­dek menu­runi pang­gung dan berlu­tut dis­amp­ing Rokan. Kelinc­a­han­nya menun­jukkan apa yang ingin diper­li­hatkan. Kemu­di­an, “Kau teman karibku,” ungkap­nya kece­wa. “Tidak kusang­ka kau memakai hal kotor. Kau mem­bunuh Tukas den­gan ilmu hita­m­mu dan sekarang ilmu itu telah kem­bali padamu aki­bat kau mele­wati gun­dukan yang dis­u­cikan tetua.”

Rokan menger­ahkan keku­atan­nya. “Omong kosong.” Dia melu­dah. Darah memu­n­crat dari kerongkon­gan lela­ki itu. “Apa yang kau minta di peti­lasan?” katanya kalut. Dia sekarat. Lalu, sudut bibir lela­ki pen­dek terangkat. Dia mendekatkan bibirnya ke lela­ki yang hidup­nya tidak akan pan­jang lagi. “Kau tahu,” katanya. “Aku hanya mem­inta agar kau men­ja­di tumbal. []

-