Bela­jar dari pen­gala­man berkom­petisi den­gan cok­lat ini, terny­a­ta mam­pu men­jawab kere­sa­han saya soal korup­si. Cok­lat men­ja­di begi­tu mewah untuk dibu­ru dan dikorupsi.

Suatu sen­ja saya per­gi men­ga­ji. kare­na berangkat ter­lalu sore saya tidak dap­at jatah kuis. Guru nga­ji saya yang budi­man selalu mem­u­lai akti­fi­tas men­ga­ji den­gan mem­berikan kuis. Kuis ini biasanya beru­pa hafalan surat-surat pen­dek. Sia­pa yang dap­at meng­hafal banyak surat-surat pen­dek akan men­da­p­atkan reward. Reward ini memang tidak ter­lalu berhar­ga, hanya cok­lat sebi­ji dua biji. Tapi kala itu reward ini cuku­plah untuk menye­nangkan hati anak kecil seru­pa saya. Saat itu usia saya masih 9 tahun, masih pan­taslah untuk bere­but coklat.

Tidak Cuma itu, cok­lat menu­rut saya hanya men­ja­di stim­u­lus untuk saya dan teman-teman agar giat meng­hafal lebih banyak lagi. Seterus­nya kami bahkan men­ja­di gemar meng­hafal ayat-ayat yang lebih pan­jang. Ten­tu saja acara hafal meng­hafal ini dibaren­gi iming-iming reward yang lebih meng­giurkan. Reward lain yang dise­di­akan mis­al­nya muke­na, kitab baru, buku, bahkan per­ala­tan rumah tang­ga. Menu­rut saya reward itu sama sekali tidak ada hubun­gan­nya den­gan bela­jar men­ga­ji dan juga menghafalkan.

Begi­t­u­lah, sedari kecil saya dia­jari untuk berbu­at kebaikan dan meng­habiskan masa kanak-kanak yang menye­nangkan. Bagi saya, itu adalah kese­nan­gan masa kecil yang tidak per­lu diu­lang. Bagaimana­pun juga pela­jaran berhar­ga yang dibagikan guru nga­ji saya adalah menikmati cok­lat den­gan wak­tu yang tepat dan ele­gan. Guru nga­ji saya benar-benar men­ga­jari untuk menikmati segala pros­es masa kanak-kanak.

Cok­lat ini ibarat kesem­patan meng­giurkan yang ser­ing datang dike­mu­di­an hari. Cok­lat ini bisa berka­mu­flase men­ja­di hal-hal yang tidak kalah menarik, bahkan pacar­mu saja kele­wat menarik. Ia bisa men­ja­di kesem­patan emas untuk diam­bil. Ia bisa men­ja­di perun­tun­gan beru­pa proyek-proyek besar den­gan dana triliyu­nan. Selain kucu­ran dana yang besar puing-puing cok­lat ini dap­at dilelehkan den­gan mudah. Mis­al­nya, suap saja petu­gas ecek-eceknya kemu­di­an dap­atkan akses masuk untuk men­gun­duh cok­lat batan­gan ini.

Lah, sekarang saya mau buka tut­up-tut­up cok­lat ini sehing­ga ter­li­hat huruf K pada bagian depan­nya. Lebih lan­jut ter­da­p­at huruf O kemu­di­an R seterus­nya U dan P ah. Sudah pasti bisa dite­bak cok­lat ini berna­ma korup­si. Bela­jar dari pen­gala­man berkom­petisi den­gan cok­lat ini, terny­a­ta mam­pu men­jawab kere­sa­han saya soal korup­si. Cok­lat men­ja­di begi­tu mewah untuk dibu­ru dan dikorupsi.

Bagi saya korup­si tidak asing lagi di telin­ga, mak­lum­lah saya semes­ter genap di juru­san hukum. Korup­si sudah beranak pinak dalam darah dag­ing umat se-Indone­sia. Kamu tidak per­caya? Bisa cek sendiri dimana letak bahaya lat­en korup­si ini. Wong saya saja ser­ing korup­si uang jajan sama emak berbekal wajah melas dan senyum sema­n­is mungkin. Dan aduhai den­gan embel-embel tugas ini itu pasti dap­at ceper­an uang jajan lebih banyak. Itu saya dan con­toh kecil korup­si saya. Ini pen­je­lasan nggak pent­ing sih, tapi saya coba jelaskan serenyah mungkin bagaimana korup­si bisa dimakan.

Saya tidak tahu pasti bagaimana korup­si ter­ja­di pada zaman ker­a­jaan-ker­a­jaan, tapi kalau zaman pen­ja­ja­han sih sudah pasti tidak per­lu saya jelaskan. Saya yakin kita semua tahu, benih-benih korup­si dia­jarkan secara ide­ol­o­gis dan tidak per­nah dis­adari. Mulai per­tan­ian, bagaimana pen­ja­jah mem­o­nop­o­li benih tana­man hing­ga jenis tana­man apa yang harus ditanam pribu­mi. Bahkan dalam men­jual hasil tana­man­pun tidak luput dari monop­o­li mere­ka. Soal har­ga? Sudah pasti dibeli den­gan har­ga serendah-rendahnya.

Hal itu ter­ja­di lama sekali, tidak setahun dua tahun tapi ratu­san tahun. Benih ini tum­buh sub­ur bahkan semakin men­ja­mur seper­ti jamur dipung­gung­mu itu loh… eh. Juga sete­lah merde­ka beni­h­nya makin banyak saja diter­nakkan. Apala­gi pada rez­im “Enak Jamanku to?” per­tanyaan penuh unsur poli­tis yang ser­ing jadi meme truk-truk kon­tain­er itu lo. Rez­im Soe­har­to, saya lebih suka memang­gilnya Har. Har sudah den­gan baik melestarikan budaya korup­si tadi. Baik­lah, saya sebut saja berbu­ru cok­lat tadi agar tam­pak ele­gan dan menantang.

Seper­ti pada awal-awal Har berkuasa, beber­a­pa cen­time­ter daer­ah pada peta Indone­sia Timur sudah dijual­nya. Bagaimana tanah ini bisa dijual? Iya ten­tu saja den­gan per­jan­jian bis­nis. Jadi begi­ni negara sudah salah kaprah kare­na bikin jan­ji sama kumpeni. La harus­nya kan bis­nis den­gan bis­nis bukan­nya negara den­gan pebis­nis? Bukankah begi­tu? Ketim­pan­gan ini jelas ter­ja­di. Negara seharus­nya berper­an seba­gai komisi yudikatif supaya negara tetap dap­at meman­tau perkem­ban­gan bis­nis den­gan asing ini. Nyatanya negara jus­tru mem­bu­at per­jan­jian den­gan perusa­haan ini. Sehing­ga gugatan per­jan­jian tidak bisa dik­ab­ulkan kare­na posisi negara setara den­gan perusa­haan. Kisah ini akan beru­jung ruwet, seper­ti kisah­mu sama man­tan ya. Eh. Bukan­nya per­jan­jian beru­jung cin­ta malah berakhir duka, wah mirip lirik lagu ya.

Begi­t­u­lah poli­tik Har yang greget dan tidak bisa secara defin­i­tif dikuak. Har masih jadi mis­teri saja, den­gan polah­nya yang begi­tu slengek.an dan juga wewe­nang mut­laknya. Bahkan sete­lah sekian tahun berkuasa baru ketahuan bera­pa banyak cok­lat yang sudah dilelehkan. Bahkan sam­pai sekarang lele­han­nya ter­ce­cer dimana-mana. Lam­bat laun kebi­asaan berbu­ru cok­lat ini semakin laju saja tum­buh dalam hati dan sanubari, mirip cin­ta­mu pada man­tan. Eh.

Masih teringat jelas perasaan meng­gerutu saya saat tidak men­da­p­atkan cok­lat kare­na datang nga­ji kesore­an. Namun saya men­co­ba move on den­gan mem­be­li cok­lat sendiri, nikmat sekali. Saya pikir-pikir korup­tor itu gagal move on dari kebi­asaan berbu­ru cok­lat­nya saat kecil. Sehing­ga berdampak pada psikolo­gi mere­ka. Hla bagaimana mau move on kalau tiap meli­hat lahan cok­lat mere­ka nggrepe-nggrepe untuk nyo­long cok­lat. Awal­nya mungkin sedik­it tapi lama-lama mere­ka ketag­i­han, bahkan turut men­ga­jak teman untuk berbu­ru coklat.

Masih hangat untuk di sruput yaitu kasus dugaan korup­si dalam megaproyek Kar­tu Tan­da Pen­duduk berba­sis elek­tron­ik atau KTP-el. Dimana banyak nama-nama yang nangkring dalam daf­tar pener­i­ma dana KTP-el. Barangkali nama-nama pem­be­sar negara itu ketag­i­han cok­lat-cok­lat lezat.

Sesung­guh­nya KTP-el adalah ikhti­yar pemer­in­tah untuk men­ca­pai masyarakat mod­ern yang lebih dinamis untuk uru­san admin­is­trasi kepen­dudukan. Semen­tara pelu­ang yang memu­ntahkan jutaan kubik cok­lat ini diman­faatkan oleh pem­bu­ru cok­lat. Duh, miris sekali. Sia-sia jika mere­ka tidak bisa menyadari kepentin­gan masyarakat banyak ini. Bayangkan saja bera­pa juta keru­gian yang meli­batkan hajat orang banyak. Saya sendiri sam­pai Maret 2017 belum memi­li­ki KTP-el, alasan sih seder­hana sekali. Mere­ka bilang blangko untuk KTP-el masih belum terse­dia. Ten­tun­ya ini alasan yang bagi saya ter­lalu naif. Saya tidak yakin sepenuh­nya jika pabrik blangko KTP-el memang sudah tut­up dan tidak berop­erasi untuk mem­pro­duk­si bahan KTP.

Sebanyak dua ratu­san sak­si didatangkan Komisi Pem­ber­an­tasan Korup­si (KPK) untuk dim­intai keteran­gan. Begi­tu luar biasa kasus ini, sehing­ga mere­potkan banyak sekali kalan­gan untuk dim­intai tanya keber­adaan cok­lat. Juga cok­lat-cok­lat itu memang sen­ga­ja dilumat agar tidak tert­ing­gal jejaknya dimulut.

Tidak sedik­it sih dana yang digelon­torkan pemer­in­tah untuk proyek ini. Bukan mili­yaran tapi triliyu­nan, bayangkan saja dana ini sudah diko­tak-kotak dan siap dibagikan. Sayang sekali bukan, jika lahan cok­lat ini disia-siakan? Untuk itu­lah mere­ka mem­bu­run­ya, meskipun akhirya ketahuan juga. Bukan hap­py end­ing yang dida­p­at, tapi sad end­ing. Dan bukan cok­lat yang meleleh-leleh yang dipungut, malah bekas­nya saja tidak ada.

Yang mem­bu­at saya geleng kepala adalah mere­ka ini orang-orang ter­didik negeri. Tidak seben­tar mere­ka mengenyam pen­didikan bahkan ter­go­long berpen­didikan ting­gi. Hladalah, malah nyeleweng semacam ini.

Bagi saya mere­ka ini lucu, mengin­gatkan saya akan kisah cok­lat dan guru nga­ji, mungkin mere­ka belum puas makan cok­lat saat kecil. Atau barangkali mere­ka tidak per­nah diman­ja guru nga­ji den­gan cok­lat meleleh di mulut. Saya mem­bayangkan bagaimana menye­sal­nya mere­ka jika tidak men­da­p­at jatah cok­lat lezat ini. Sehing­ga pada usia sekarang masih saja mere­ka berbu­ru cok­lat, den­gan nyo­long lagi. Ah. Sung­guh miris dan harus disesali.

Keke­ce­waan men­dalam ten­tu akan ter­ja­di kepa­da mere­ka (masyarakat) yang den­gan ikhlas hati memil­ih mere­ka. Sudah dien­akkan den­gan duduk pada kur­si negara. Barangkali tidak ada lagi sim­pati untuk mere­ka kare­na ter­lalu rakus memu­ngut bahkan meng­garuk cok­lat. Saya yakin mere­ka akan merengek minta cok­lat bahkan men­cari kesana-kemari demi kepuasan batin­nya. Ah. Iro­nis benar kare­na sete­lah dewasa mere­ka masih berbu­ru coklat.

Barangkali di usia saya sekarang, saya akan men­datan­gi guru nga­ji dan bertanya. Masihkah beli­au mem­bu­at sayem­bara menye­nangkan den­gan cok­lat? Jika iya, maka saya akan mem­be­likan cok­lat sebanyak-banyak untuk anak-anak yang nga­ji dis­ana. Saya san­gat berharap kelak keti­ka dewasa mere­ka tidak akan sibuk men­cari-cari cok­lat-cok­lat lain. Saya berpikir kare­na mere­ka sudah cukup puas den­gan cok­lat masa kecilnya.

Manu­sia dan ker­ak-ker­ak bumi, sama berg­er­aknya. Hanya, manu­sia itu lebih absurd