Sudah jelas bah­wa minat baca masyarakat memang min­im apala­gi maha­siswa. Saya tidak mau bermu­luk ria men­je­laskan dimana uru­tan minat baca masyarakat Indone­sia. Saya yakin kita bisa mawas diri den­gan meli­hat ke cer­min pada wajah kita sendiri-sendiri. Mem­ba­ca masih men­ja­di han­tu mod­ern yang menakutkan. Jan­gankan mem­ba­ca, saya yakin mem­be­li bukupun kita jarang (sekali). Sekalipun beli buku saya yakin buku-buku itu baru diba­ca sete­lah maha­siswa lulus. Pen­gang­gu­ran pas­calu­lus men­jadikan sese­o­rang pun­ya wak­tu berlebih untuk mem­ba­ca. Eh.…..
Seti­daknya saya mau ikut berbela sungkawa atas matinya minat baca maha­siswa ini. Bela sungkawa men­dalam, sebab nyatanya tidak ada maha­siswa yang benar-benar suka mem­ba­ca dan bela­jar. Entah kare­na kemalasan atau fak­tor ekster­nal lain­nya banyaknya maha­siswa yang jarang baca bukan­lah hoax. 

Mere­ka lebih banyak melu­angkan wak­tu untuk bermain-main den­gan gawainya bahkan trav­el­ing ke tem­pat-tem­pat keren. Saya rasa ini semua meru­pakan serangka­ian upacara berkem­bangnya gawai, tem­pat wisa­ta, tren paka­ian, dan lain-lain. Masyarakat kita digir­ing menu­ju hal-hal berbau kekin­ian untuk menang­galkan banyak budaya ter­ma­suk budaya baca. Selain itu keti­dak­mam­puan lep­as dari media sosial meru­pakan penyak­it turun temu­run yang mulai menye­bar. Maha­siswa sekarang lebih panik keti­ka ket­ing­galan charg­er tele­pon pin­tar mere­ka ketim­bang ket­ing­galan buku. Bukankah begitu??.….

Gawai, berkem­bangnya gawai men­ja­di mag­net kuat yang bahkan tidak bisa dilepaskan dari jemari maha­siswa. Maha­siswa cen­derung meng­habiskan wak­tu mere­ka untuk melo­tot dide­pan gawai. Seba­gaimana yang biasa ter­ja­di didalam kelas sekalipun, maha­siswa lebih ter­tarik pada gawai dari­pa­da diskusi. Ini meru­pakan peruba­han zaman yang tidak bisa dihin­dari sekalipun oleh maha­siswa mil­i­tan yang getol mem­ba­ca. Saya yakin dirinya akan meny­ingkirkan gawai beber­a­pa meter darinya untuk melu­angkan wak­tu dan membaca.

Tepat­nya 15 tahun yang lalu di hari yang sama yaitu 17 Mei dirayakan seba­gai Hari Buku Nasion­al. Namun dis­amp­ing per­ayaan ini mengiku­ti pula matinya seman­gat baca khusus­nya dalam dunia pen­didikan. Ser­ingkali saya jumpai jus­tru mere­ka-mere­ka yang tidak men­em­puh pen­didikan tinggi­lah yang malah getol mem­per­ta­hankan buku dan budaya baca. Per­lu kita sayangkan adalah sudah tidak ada lagi geli­at lit­erasi yang tum­buh dalam diri maha­siswa. Pada­hal maha­siswa meru­pakan tong­gak uta­ma seba­gai gen­erasi muda yang melestarikan seman­gat baca. Kita seper­tinya sudah ter­si­hir den­gan zona nya­man yang mem­bu­at kita eng­gan membaca. 

Pada­hal per­ayaan hari ini meru­pakan wujud per­ha­t­ian pemer­in­tah akan ren­dah­nya minat baca masyarakat kita. Namun sete­lah belasan tahun Hari Buku Nasion­al ini digaungkan, kon­disi masyarakat kita (masih) sama. Bahkan dalam dunia pen­didikan sekalipun masih jarang yang melek lit­erasi. Dap­at­lah kita hitung den­gan jari bera­pa orang yang memang menc­in­tai dan mem­ba­ca buku.

Per­ayaan hari buku ini masih sebatas pajan­gan buku pada rak-rak buku dirumah. Meskipun sudah ada (pula) per­pus­takaan kelil­ing nyatanya minat baca masih juga dekaden. Saya kira ketaku­tan akan buku dan mem­ba­ca ini memang men­ja­di momok meny­er­amkan bagi gen­erasi kita. Belum ada solusi prag­ma­tis yang dap­at men­gubah kebi­asaan buruk ini. Sekalipun saya, anda atau sudah banyak orang menyuarakan seman­gat mem­ba­ca dan menc­in­tai buku. 

Nyatanya memang seman­gat mem­ba­ca ini masih mitos dalam sejarah negara kita ini. Kalau anda mau memec­ahkan mitos itu, seti­daknya anda harus mulai mem­beri con­toh mem­ba­ca buku. Jika tidak kita lakukan maka mem­ba­ca buku akan men­ja­di kebi­asaan lang­ka. Hal itu berar­ti akan segera muncul mitos baru bah­wa mere­ka yang mem­ba­ca buku adalah orang pal­ing keren. Ehe­he tidak lupa kita harus beru­cap “Sela­mat Hari Buku Nasion­al”, jan­gan biarkan segelin­tir orang saja yang (men­ja­di) keren. []

Manu­sia dan ker­ak-ker­ak bumi, sama berg­er­aknya. Hanya, manu­sia itu lebih absurd