Ini adalah ceri­ta seo­rang boc­ah. Boc­ah itu dulun­ya ingu­san, pemalu yang berlebih. Boc­ah yang benar-benar murni, kese­nan­gan­nya jernih mirip air kali yang selalu ia datan­gi tiap sore. Itu kali di desanya, bukan kali di Taman Eden.

Desa yang riuh den­gan bun­yi ayam kam­pung yang dilepas bebas. Ayam-ayam berke­liaran di pelataran rumah sia­pa saja, mening­galkan tai tan­pa diko­man­do. Tak ada yang marah, pemi­lik hala­man rumah malah tertawa jika boc­ah-boc­ah yang berlar­i­an kemu­di­an tak sen­ga­ja meng­in­jak tai ayam yang berte­baran di hala­man­nya itu.

Ikan-ikan banyak berkem­bang biak. Mengiku­ti alam den­gan kehen­daknya. Jar­ing kecil di tan­gan boc­ah yang mungil, men­co­ba menangkap ikan-ikan yang bersem­bun­yi di balik gang­gang. Boc­ah itu tak sendiri, seple­ton teman-teman­nya terse­bar sep­a­n­jang pen­ju­ru kali.

Berlom­ba men­cari ikan. Per­lom­baan tan­pa juri ini jugalah sebuah kemurn­ian, per­lom­baan yang ter­lepas dari sang peme­nang dan sang pecun­dang. Menang ataupun kalah tetap men­da­p­at cekikik tawa polos boc­ah lain, seba­gian ter­li­hat ompong satu dan dua giginya keti­ka garis lengkung bibirnya melebar.

Tawa kegi­ran­gan boc­ah-boc­ah makin mem­bu­at cipratan air semakin besar, keti­ka di jar­ing yang sama mungil den­gan tan­gan­nya ter­tangkap ikan. Ikan yang dijar­ing boc­ah ingu­san ini bukan ikan ikanan, ikan terse­but berbisik kepadanya, “akan engkau apakan diriku?”

Si boc­ah gela­ga­pan, tawa girangnya berubah men­ja­di ketaku­tan. Hanya dia yang tau! Dil­i­hat­nya dalam-dalam ikan kecok­lat-cok­la­tan ham­pir keemasan terke­na sinar guratan dari arah barat.

Tan­pa sep­a­tah kata lagi, buru-buru ia buang ikan yang lumayan besar kem­bali ke air keemasan selu­tut­nya itu. Ikan itu ber­e­nang ke hulu lewat tepi­an yang penuh ganggang.

Guratan sinar mata­hari sore yang meny­i­hir air kali itu men­ja­di emas. Cipratan yang ditim­bulkan boc­ah-boc­ah itu mem­bu­at wak­tu melam­bat, memuaskan nikmati cipratan butir-butir kemi­lau keba­ha­giaan yang dis­ug­uhkan semes­ta. Khusus buat boc­ah ingu­san penangkap ikan, ia kebin­gun­gan. Ikan apakah yang mam­pu bicara dan ia paha­mi, ter­diam dia di ping­gir cairan emas yang mulai kemerahan.

Hal ini juga yang bakal mem­bekas dibenak polos boc­ah pen­cari ikan. Kea­jaiban yang jarang dis­adari, diang­gap har­ga yang murah hing­ga hal yang sepele. Ter­si­hirnya air kali ben­ing itu di sore hari men­ja­di berk­i­lau emas, dibaren­gi keri­ang dan kegi­ran­gan para boc­ah pen­cari ikan.

Lebih dari sebe­las kali wak­tu mele­wati tang­gal lahir boc­ah itu. Banyak hal ter­lewati. Banyak hal pula terlu­pakan. Kesi­bukan men­ja­di pemu­da den­gan pung­gung lebar mem­bu­at boc­ah pen­cari ikan ter­tun­tut budaya sekitar.

Dialah sekarang pemu­da berba­ju rapi dan berdasi, sep­a­tu juga selalu mengk­i­lat. Dia bukan lagi boc­ah ingu­san pen­cari ikan. Dia bos besar, pemegang nasib hidup banyak bawa­han. Bek­er­ja di pabrik ker­tas, den­gan hasil pen­go­la­han ker­tas setumpuk ker­tas. Ker­tas yang ten­tun­ya jauh lebih berhar­ga diband­ing ker­tas yang dia jual.

Sore yang gemer­lap men­ja­di murung. Menyak­itkan memang dilu­pakan bahkan oleh orang yang pal­ing mem­ben­ci sore. Mer­ah­nya tak lagi ramah, mer­ah yang lebih dekat ter­li­hat marah. Meng­gun­jin­gi seti­ap siluet dari pohon-pohon yang di dalam naungannya.

***

Pemu­da itu memi­li­ki kehidu­pan yang baru. Tak ada keri­an­gan dalam kekanak-kanakan. Sung­guh pemu­da den­gan kehidu­pan yang makin membosankan.

Sudah ter­lalu banyak wak­tu ter­lewatkan den­gan kesia-siaan. Ter­lalu lama bergu­mul den­gan kejenuhan, ia putuskan kelu­ar seje­nak dari kehidu­pan itu. Pergi­lah dia pada siang itu menu­ju Aloon-aloon kota. Tak lain tak bukan, untuk men­cari kesenangan.

Mobil yang rutin tiap ming­gu dua sam­pai tiga kali masuk pen­cu­cian. Berk­i­lat. Kil­laun­ya mem­bu­takan mata tiap orang, mata pemu­da itu juga. Kese­nan­gan yang dimak­sud adalah perem­puan. Jahat memang! Namun seper­tinya dia sudah lelah den­gan kli­maks bersama dirinya sendiri.

Ditung­gun­ya di taman, matanya liar men­cari-cari payu­dara dan selangkan­gan. Tak ada yang memuaskan, atau seti­daknya memenuhi bib­it bebet bobot untuk di bawa pulang. Namun berkat sisa kesialan sebab kebosanan yang mem­batu, tak ada satu perem­puan­pun yang dil­i­hat­nya kemu­di­an mam­pu mem­bangk­itkan seong­gok dag­ing di dalam celana dalam 100 ribuan­nya itu.

Pemu­da macam ini per­lu digun­duli alam! Men­gang­gap perem­puan hanyalah barang yang dap­at dicari di tem­pat umum. Begi­tu sen­gsaranya pemu­da ini, ter­tipu den­gan kese­nan­gan. Hanya satu yang dis­ayangkan, sebab keter­tipuan­nya itu mem­bu­at rugi orang lain.

Angin siang sudah mulai din­gin, tan­da bagi tikus-tikus taman aloon-aloon untuk segera kelu­ar. Di dalam lubang tanah itu san­gat din­gin. Meneruskan cer­i­tanya bersama ular derik yang akan menelan­nya bulat-bulat. Begi­t­u­lah alam bek­er­ja. Pemu­da inipun mungkin saja akan sadar dalam titik ter­ten­tu, semoga saja sebelum dijem­put mati.

Sinar siang yang ker­ing makin meng­gig­il. Dis­u­ruh pulang sang ibu, wajah­nya dilan­git men­ja­di mer­ah padam, sebab tak ingin segera ia pulang. Pemu­da itu her­an den­gan suasana yang berubah. Dil­i­hat­nya ke atas, ke kemi­lau mer­ah padam yang dike­lilin­gi kemi­lau emas..

Meman­tulkan siluet pohon-pohon beringin. Men­ja­di gagah, men­galahkan kega­ga­han pemu­da itu. kemu­di­an ia ter­ben­gong. Men­ja­di gugup. Seo­lah kem­bali den­gan piki­ran polos, ter­me­nunglah ia hing­ga usai maghrib. Tetap di kur­si aloon-aloon ini. Dar­i­ta­di aku men­co­ba bicara den­gan­nya, sete­lah sen­ja benar-benar hilang, ia tetap tak berg­er­ak dis­amp­ingku. Entahlah, dia tetap diam saja. Dan ceri­ta ten­tang ikan dan masa kecil­nya aku saja yang men­garangnya. Aku harus segera per­gi, jan­gan-jan­gan dituduh mem­bikin mam­pus pemu­dia di samp­ingku ini.

Aku segera berlari menu­ju parki­ran. Mem­ba­yar ongkos parkir 5000, pada­hal biasanya 2000. Aku harus mem­bi­asakan diri den­gan kendaraan ini dan dom­pet kulit ini dan HP elit ini dan mengikhlaskan ongkos parkir yang kuba­yar den­gan uang 2000+sepeda motor tua pem­ber­ian bapakku dulu.[]

 

Meyaki­ni berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menya­mar seba­gai manu­sia biasa.