Romafi men­gangkat pon­sel dan ter­ce­nung. Di seberang, Pro­fe­sor Wirat­ma melam­bai sem­bari berlari padanya.
Lam­pu jalan berke­lip aneh keti­ka dia melaluinya. Romafi memikirkan apa yang telah Pro­fe­sor lakukan. Orang itu memang­gilnya sebelum mata­hari berge­merisik kelu­ar. Kemu­di­an Romafi menut­up pon­sel dan menga­mati jalanan. Mata lela­ki itu awas ter­hadap darah yang merem­bes di perge­lan­gan tan­gan lela­ki lain.

Anda baik-baik saja?” sar­gah Romafi. Dia berusa­ha menelisik di balik jas kelabu yang mem­bungkus tan­gan Profesor.

Ya,” bal­as­nya singkat. “Aku tidak memi­li­ki banyak wak­tu,” lan­jut­nya. Dia mem­beri sebuah kun­ci dan buku catatan. “Aku telah mem­per­si­ap­kan­nya disini.”

Anda akan pergi?”

Pro­fe­sor mengangguk.

*****

Sil­fi menga­mati ade­gan itu sem­bari melirik tajam. Perasaannnya teraduk dan dia merasakan nyeri di hatinya. Ania terus mer­a­ba wajah lela­ki terse­but seo­lah dia adalah miliknya.

Kau men­gatakan bah­wa pahlawan tidak mem­bu­tuhkan ‘f’ dihidup­nya,” delik Sifi.

Ania men­gang­guk. “Bukan hanya pahlawan, semua Arif tidak membutuhkannya.”

Kurasa pahlawan­mu itu sama anehnya den­gan­mu.” Sil­fi mening­galkan ruan­gan itu.

Mata­hari telah meng­hangatkan udara. Kulit langsat­nya seo­lah tertawa sem­bari men­goloknya. Tidak ada yang mam­pu menyak­i­ti perasaanku, itu­lah kali­mat yang selalu dia per­caya. Tapi semua salah. Dia bodoh. Sil­fi menekan dadanya. Sesak. Perasaan­nya telah mem­bo­hon­gi dirinya sendiri.

Arif mengikutinya menyusuri jalan seta­pak. Mere­ka menat­ap ali­ran sun­gai yang meman­tulkan sinar keemasan.

Kau tidak seharus­nya men­gatakan hal itu pada saha­bat­mu.” sahut Arif.

Aku hanya men­ge­nal­nya sela­ma setahun.”

Bukankah dia sahabatmu?”

Aku tidak yakin.”

Arif menyip­itkan ked­ua matanya. “Apa kau baik-baik saja?” tukas­nya. “Ada apa denganmu?”

Sil­fi berde­ham, “Tidakkah kau menyadarinya?” Gadis itu melem­par sebuah batu ke sun­gai. “Aku telah berko­r­ban banyak untuk­mu dan dia bilang kau tidak mem­bu­tuhkan ‘f’ di hidupmu.”

Hanya itu?”

Bagaimana den­gan ‘f’ di Sil‘f’i?”

Mere­ka berd­ua sal­ing menat­ap. Arif menaruh ked­ua tan­gan­nya di pun­dak lemah lawan bicaranya. “Kau menyukaiku, Sil?”

Kali­mat terse­but mem­bu­at kerongkon­gan gadis itu tercekat.

*****

Dere­tan ban­gu­nan pen­cakar lan­git adalah wilayah kam­pus pan­tai sela­tan. Maha­siswa mengeru­mu­ni ke empat gedung seba­gai lokasi penge­tahuan. Pohon beringin berderet rapi di seti­ap sudut. Ania menyelip dalam keru­mu­nan dan mema­su­ki salah satu gedung tertinggi.

Kelas dim­u­lai. Ania menat­ap tajam ke pintu.
“Hari ini adalah kelas­mu. Kau akan tamat, Wirat­ma,” batin­nya bergumam.

Wirat­ma adalah seo­rang pro­fe­sor cer­das. Dia mengam­pu berba­gai mata kuli­ah dan menye­nan­gi poli­tik. Selu­ruh kota men­ge­nalinya seba­gai penyokong kam­pus di pan­tai sela­tan. Kecer­dasan dan kemam­puan ino­vasi mem­bu­at­nya meraih di posisi tertinggi.
Lalu, seo­rang maha­siswa mema­su­ki ruan­gan. Dia adalah satu dari tiga murid berin­tegri­tas yang dibimb­ing Wiratma.

Perke­nalkan, saya Romafi,” katanya. “Saya ingin men­gatakan bah­wa Pro­fe­sor meng­hadiri sebuah perte­muan ilmuwan di Jer­man. Oleh kare­na itu beli­au meni­tip­kan tugas kalian padaku.”

Ania melu­ap­kan keke­salan­nya. Dia menarik Romafi ke luar ruangan.

Perte­muan ilmuan macam apa?” teri­ak Ania. Dia merenggut buku catatan di tan­gan Romafi. Gadis itu mem­bu­ka lem­bar demi lem­bar, hanya catatan tidak bergu­na disana.

Bukankah kau anggota Jur­nalis kam­pus?” tanya Romafi. Kemu­di­an lela­ki itu mengam­bil ben­da terse­but. “Aku telah mem­ba­ca puluhan tulisan­mu men­ge­nai kon­spir­asi ten­tang Pro­fe­sor.” Dia menekan bahu Ania. “Kau ter­lalu memojokkannya.”

Ania merasakan nyeri yang men­jalari tubuh­nya. Dia menepis tan­gan kekar terse­but. “Sebaiknya kau men­jauh darinya,” ungkap Ania. “Kau adalah maha­siswa ter­akhir yang berin­tegri­tas di bawah Pro­fe­sor. Aku sung­guh tidak ingin menulis kisah tragis tentangmu.”

Aku rasa teman­mu­lah yang akan menulis kisah tragis ten­tang mu.”

Apa?”

Romafi mendekatkan wajah­nya. Lalu berbisik, “Aku akan membunuhmu.”

*****

Aku menen­gadahkan wajahku. Bagiku malam selalu sama. Aku memangku daguku den­gan ked­ua tan­gan. Piki­ranku terus men­er­awang. Gadis itu men­gatakan dia menyukaiku. Kemu­di­an aku mengam­bil kar­tu mem­o­ri disakuku.

Sil­fi,” gumamku. Gadis itu mer­ingkuk dan men­gang­guk. Dia kem­bali men­gatakan bah­wa aku sak­it. Tapi aku tidak peduli. Aku melem­parkan kar­tu itu padanya. Kami telah berusa­ha keras di malam keti­ka semua akan ter­bongkar. Benar. Sil­fi adalah gadis yang telah berko­r­ban untukku.

Sebaiknya kau tidak men­ga­cau malam ini,” dia mem­peringatkanku. “Aku telah mem­bo­hon­gi Ania untuk­mu. Kau mengam­bil kar­tu mem­o­ri darinya. Aku menyem­bun­yikan kebe­naran Pro­fe­sor dan menghi­langkan selu­ruh jejak di lab­o­ra­to­ri­um, bahkan aku mem­ber­sihkan selu­ruh jejak di gedung untukmu.”
Aku men­gelus pipi gadis itu. “Den­gar,” pang­gilku. “Ania akan menuliskan kisah ten­tangku dan semua akan men­ge­nalku seba­gai Ariman.”

Aku meraih sebuah botol dan meneteskan cairan kun­ing ke mulut. Lalu, aku merasakan­nya kem­bali. Peruba­han ini mem­bu­atku nyaman.

Bersam­bung.…

Sab­tu ya

-