Pari­wisa­ta men­ja­di daya tarik tersendiri bagi orang-orang untuk meng­habiskan libu­ran-libu­ran singkat mere­ka. Wisa­ta ini banyak macam­nya, ada wisa­ta alam ada pula wisa­ta buatan. Beber­a­pa bulan ter­akhir wisa­ta alam atau dap­at dise­but ekopari­wisa­ta lebih banyak dim­i­nati orang-orang kare­na cen­derung tidak banyak meng­habiskan biaya dan akses mudah dijangkau. Selain itu ekopari­wisa­ta menye­di­akan begi­tu banyak tem­pat menarik yang tidak akan ada habisnya.

Ekopari­wisa­ta begi­tu digan­drun­gi banyak kalan­gan mulai dari anak-anak, orang­tua teruta­ma rema­ja. Ekopari­wisa­ta menyuguhkan tem­pat-tem­pat libu­ran berba­sis alam atau lingkun­gan. Ten­tu saja tem­pat-tem­pat ini menarik untuk dijadikan objek fotografi apala­gi kaum rema­ja yang sedang tergi­la-gila untuk men­da­p­atkan foto yang insta­gram­able. Hal ini juga ter­ja­di lan­taran perkem­ban­gan gawai yang menawarkan aplikasi kam­era den­gan fokus bagus tan­pa per­lu repot mem­bawa kam­era SLR maupun DSLR. Bahkan orang-orang rela harus ber­jalan jauh, menye­beran­gi bahaya, dan tidak jarang mau mem­ba­yar mahal untuk tem­pat foto yang – insta­gram­able tadi.

Kai­tan antara mengam­bil foto diri dan keber­adaan media sosial juga menyum­bang can­du bagi masyarakat untuk selalu mengiku­ti tren kekin­ian. Mis­al­nya mere­ka harus men­gung­gah foto di tem­pat-tem­pat menarik yang belum per­nah dikun­jun­gi sebelum­nya. Media sosial memang men­ja­di salah satu penyum­bang peruba­han kebu­tuhan diri orang-orang akan libu­ran dan eksis­ten­si diri. Sehing­ga mau tidak mau kebu­tuhan ini harus dipenuhi den­gan jalan-jalan ke tem­pat-tem­pat menarik untuk diunggah.

Fenom­e­na yang sudah tidak baru ini kemu­di­an diman­faatkan oleh pen­gelo­la ekopari­wisa­ta untuk mer­aup keun­tun­gan. Biasanya pihak pegelo­la ekopari­wisa­ta akan menawarkan tem­pat menarik untuk men­dongkrak wisa­ta daer­ah­nya dan juga – prof­it ten­tun­ya. Pen­gelo­laan ekopari­wisa­ta tidak tang­gung-tang­gung sehing­ga mere­ka akan berlom­ba-lom­ba menghias ekopari­wisa­tanya seme­narik mungkin. Con­toh kecil mis­al­nya akan dibu­at nama-nama unik untuk menarik pen­gun­jung, buk­it yang tadinya biasa saja akan diberi nama unik (Buk­it Bun­da, Buk­it Jomblo, Buk­it Tele­tub­bis). Sug­uhan yang ditawarkan pun buk­it den­gan nuansa pepo­ho­nan rin­dang yang asri dan bera­da pada ket­ing­gian ter­ten­tu. Selain itu disi­ap­kan pula jejer­an tem­pat duduk di bawah pohon bagi pen­gun­jung yang kele­la­han. Bahkan pada Buk­it Tele­tub­bis, mere­ka menyi­ap­kan bone­ka Tele­tub­bis sung­guhan untuk dia­jak swapoto.

Mis­al­nya saja di Tulun­ga­gung Jawa Timur, di sini ter­da­p­at banyak ekopari­wisa­ta yang dikelo­la secara mandiri, kelom­pok maupun oleh Dinas Pari­wisa­ta Tulun­ga­gung. Tulun­ga­gung ham­pir memenuhi semua kat­e­gori ekopari­wisa­ta kare­na tem­pat­nya yang kebanyakan wilayah pegu­nun­gan. Ada waduk Wonore­jo, Ranu Gum­bo­lo, Gunung Bud­hek, Buk­it Jomblo, Bumi Perkema­han Jurang Sen­g­gani, Air Ter­jun Alas Kan­dung, dan puluhan pan­tai Tulun­ga­gung yang masih ter­letak di ping­gi­ran buk­it. Ham­pir semuanya san­gat ramai dikun­jun­gi saat libu­ran ataupun tidak. Pen­gelo­la ekopari­wisa­ta ini san­gat senang kare­na ten­tu saja tem­pat mere­ka selalu ramai dikun­jun­gi. Selain menam­bah omset peng­hasi­lan ten­tu saja mere­ka mem­pun­yai tujuan untuk mengek­spos tem­pat wisa­ta ini.

Lagi-lagi den­gan dal­ih untuk mem­pub­likasikan wisa­ta daer­ah­nya sehing­ga mele­git­i­masi pem­bukaan lahan. Semen­tara itu mere­ka melu­pakan bagaimana kon­ser­vasi alam juga harus men­girin­gi dibukanya ekopari­wisa­ta ini. Pen­gelo­la wisa­ta hanya ter­fokus untuk menarik pen­gun­jung sebanyak-banyaknya dan melu­pakan edukasi yang seharus­nya bisa dilakukan oleh pen­gelo­la wisa­ta. Sehing­ga pem­bukaan ekopari­wisa­ta tidak jarang malah merusak alam. Ten­tu saja hal ini ter­ja­di kare­na pen­gun­jung hanya mement­ingkan uru­san mere­ka sendiri yaitu mengam­bil gam­bar. Mere­ka tidak peduli apa dampak ter­hadap alam yang diin­jak-injak tan­pa ampun, semen­tara pihak pen­gelo­la begi­tu acuh tak acuh.

Lebih mudah­nya begi­ni den­gan eupho­ria wisa­ta yang hanya memer­du­likan pengam­bi­lan gam­bar yang insta­gram­able. Sehing­ga banyak ter­ja­di perusakan alam­nya, seti­daknya beber­a­pa kali per­nah saya men­gun­jun­gi tem­pat ekopari­wisa­ta yang sedang – boom­ing. Biasanya tem­pat wisa­ta macam ini akan men­gala­mi kerusakan yang lumayan parah pada satu hing­ga lima bulan pertamanya.

Pem­bukaan lahan hutan demi ekopari­wisa­ta juga mem­pun­yai pen­garuh yang besar dalam perusakan alam. Bagaimana hutan yang tadinya seba­gai pelin­dung dari long­sor, ban­jir dan lain seba­gainya harus dite­bang untuk mem­bu­at jalan bagi pen­gun­jung ekopari­wisa­ta. Dan kese­muanya seper­ti klise, sebab belum ada atu­ran untuk men­ja­ga eko­sis­tem lingkun­gan tem­pat ekopari­wisa­ta baik untuk pen­gun­jung maupun pen­gelo­la sendiri. Sehing­ga pen­gun­jung bisa seme­na-mena memenuhi has­rat berfo­to ataupun sekedar mengunjungi.

Per­lu adanya pem­bi­naan ter­hadap keber­adaan ekopari­wisa­ta ini, selain dari pihak pen­gelo­la, dinas pari­wisa­ta dan per­hutani juga. Pem­bi­naan disi­ni adalah melakukan kajian ulang ter­hadap dampak yang dihasilkan ekow­isa­ta tan­pa dibaren­gi kon­ser­vasi alam­nya. Ter­lebih lagi pen­gun­jung hanya mem­per­oleh foto sete­lah berkun­jung ke tem­pat ekopari­wisa­ta ini. Pada­hal pen­gun­jung bisa saja mem­per­oleh edukasi ten­tang pemeli­haraan lingkun­gan yang baik. Ini­lah yang sela­ma ini dilu­pakan pihak pen­gelo­la ekopari­wisa­ta, tidak adanya kelebi­han ekopari­wisa­ta yang ditawarkan selain tem­pat menarik untuk berfo­to. Ten­tu ekopari­wisa­ta akan lebih menarik jika dibaren­gi edukasi kepa­da orang-orang terkait kon­ser­vasi alam.

Ekofem­in­is Men­ja­di Jawaban

Ekofem­in­is meru­pakan paham ten­tang lingkun­gan atau alam den­gan berlan­daskan fem­i­nisme. Fem­i­nisme sim­bol per­lawanan yang sela­ma ini digaungkan kaum perem­puan juga mam­pu men­em­patkan diri dalam tatanan lingkun­gan. Bagaimana kon­sep dom­i­nasi yang sela­ma ini memar­ji­nalkan kaum perem­puan juga ter­ja­di kepa­da alam. Sela­ma ini kita menge­tahui bah­wa alam selalu dis­im­bolkan seba­gai ibu, sehing­ga sifat keperem­pua­nan dilekatkan padanya. Semen­tara itu sela­ma ini yang telah men­dom­i­nasi kuasa atas perem­puan ialah laki-laki. Seba­gaimana kon­sep keibuan tadi, maka laki-laki merasa kuasa atas alam dan boleh melakukan apa saja.

Sela­ma ini alam diek­sploitasi tan­pa ampun oleh kaum laki-laki tan­pa mem­per­hatikan dampak eko­sis­tem­nya. Seba­gaimana keber­adaan ekopari­wisa­ta meru­pakan wujud pen­guasaan laki-laki atas alam. Tidak dibarenginya ekopari­wisa­ta den­gan kon­ser­vasi juga dise­babkan men­tal dom­i­nasi laki-laki yang kurang atas has­rat mer­awat seba­gaimana yang dim­i­li­ki perem­puan. Laki-laki hanya merasa per­lu men­gua­sai dan mengam­bil untung didalamnya.

Disi­ni ekofem­in­is menawarkan bagaimana cara mer­awat alam yang seharus­nya dilakukan oleh manu­sia keselu­ruhan. Buah piki­ran ekofem­in­is dap­at dit­er­ap­kan untuk men­dukung ekopari­wisa­ta yang saat ini telah mas­sif ter­ja­di. Sehing­ga tidak hanya uru­san bagaimana mem­per­oleh keun­tun­gan dari pem­bukaan lahan-lahan itu namun juga cara untuk mer­awat alam­nya. Apa-apa yang per­lu dilakukan dis­amp­ing ter­ja­di eksploitasi lahan semen­tara kebu­tuhan-kebu­tuhan lain nan­ti­nya akan san­gat berdampak ter­hadap alam. Akan san­gat mudah bagi manu­sia untuk merusak alam seba­gaimana yang sudah ter­ja­di, namun dibu­tuhkan ketrampi­lan pula untuk merawatnya. []

Manu­sia dan ker­ak-ker­ak bumi, sama berg­er­aknya. Hanya, manu­sia itu lebih absurd