Dimensipers.com 11/10. Dewan Ekseku­tif Maha­siswa (DEMA) Fakul­tas Syari­ah dan Ilmu Hukum (FASIH) Insti­tut Aga­ma Islam Negeri (IAIN) Tulun­ga­gung mengge­lar diskusi rutin yang dina­makan “FASIH Men­ga­ji”. Diskusi kali ini men­gusung tema “Kon­sol­i­dasi Demokrasi dalam Men­gatasi Diskrim­i­nasi dan Kek­erasan Etnik Rohingya”. Diskusi berlang­sung pada Jumat (6/10/2017) dan dim­u­lai pukul 10.20 WIB. Bertem­pat di gedung Sai­fudin Zuhri lan­tai satu.

FASIH Men­ga­ji selalu mengam­bil tema peri­s­ti­wa yang sedang boom­ing. Salah sat­un­ya men­ge­nai kon­flik Rohingya. Hal ini dikare­nakan FASIH Men­ga­ji baru kem­bali (ber­jalan) dan masih beber­a­pa kali perte­muan. Selain itu, diskusi ini meru­pakan salah satu ben­tuk kepedu­lian dari DEMA FASIH.

Sebe­narnya kon­flik Rohingya sudah muncul mulai tahun 2012. Namun saat itu hal terse­but belum men­cu­at ke pub­lik. Di era zaman yang gen­car den­gan  kecang­gi­han teknolo­gi seper­ti sekarang beri­ta apapun bisa diak­ses. Titik pun­cak kon­flik terse­but ter­ja­di awal Sep­tem­ber tahun 2017 dan saat itu momen­tum Idul Adha. Ter­ja­di diskrim­i­nasi dan pem­ban­ta­ian etnik Rohingya yang ada di Myanmar.

Dalam isu ini ada dua premis (dugaan). Per­ta­ma, kon­flik ini dilatar­be­lakan­gi kare­na aga­ma. Ked­ua, kare­na poli­tik dan ekono­mi. Seba­gai maha­siswa, ten­tun­ya harus bijak untuk mengam­bil sebuah kes­im­pu­lan. Tidak ser­ta mer­ta mengam­bil sebuah beri­ta yang barangkali hoax. Oleh kare­na itu sep­a­tut­nya men­cari ref­er­en­si atau riset yang ter­per­caya. Pal­ing tidak keteran­gan ulang data-data yang per­lu diam­bil seba­gai pertimbangan.

Kon­flik Rohingya ini banyak menim­bulkan penaf­sir­an. Ada orang yang mem­berikan state­ment bah­wa kon­flik yang ada di Rohingya itu adalah kon­flik aga­ma. Tetapi yang nomer dua, juga ada yang mem­berikan state­ment bah­wa kon­flik Rohingya itu dilatar­be­lakan­gi poli­tik dan birokrasi Myan­mar. Kita akan menyam­paikan dari hasil riset (penelit­ian) dari South Asia Demo­c­ra­t­ic Forum (SADF). Berdasarkan riset (SADF; red) bah­wa kon­flik Myan­mar itu kare­na dilatar­be­lakan­gi nuansa poli­tis dan ekonomis.” Ujar Ladin selaku pema­teri dalam diskusi.

Berdasarkan riset dan ilmu man­a­je­men kon­flik (stu­di res­o­lusi kon­flik), bah­wa kon­flik itu ter­ja­di dilatar­be­lakan­gi kare­na adanya ben­tu­ran kepentin­gan. Dalam hal ini adalah kepentin­gan  antara kelom­pok atau indi­vidu. Jika di Myan­mar adalah kepentin­gan pemer­in­tah dan birokrasi.

Myan­mar tidak men­gakui budaya lain ter­ma­suk etnik Rohingya. Walaupun sebe­narnya Rohingya adalah war­ga atau etnik asli dari Myan­mar. Budaya dan karak­ter etnik Rohingya berlawanan den­gan budaya masyarakat Myan­mar yang ke-bud­dhis-an. Kare­na masyarakat Rohingya dipak­sa untuk mengiku­ti budaya dan karak­ter di Myanmar.

Terkait den­gan kon­sol­i­dasi demokrasi, ten­tun­ya seba­gai maha­siswa bisa mem­po­sisikan diri. Men­co­ba untuk memupuk dan merekatkan nilai-nilai demokrasi dituangkan dalam ben­tuk sikap kepedu­lian untuk mere­ka. Kepedu­lian berpikir, kepedu­lian rohani, spir­i­tu­al dan lain-lain. Min­i­mal doa atau men­gadakan diskusi, atau bahkan dalam ben­tuk aksi.

Langkah kita yang konkret dan yang uta­ma adalah bagaimana kita bisa mem­berikan pen­garuh kebi­jakan untuk men­dorong pemer­in­tah untuk men­datangkan hak poli­tik luar negeri. Pengert­ian dari hak poli­tik luar negeri itu tidak ser­ta-mer­ta yang kemu­di­an seper­ti FPI kemarin. FPI yang kemu­di­an meng­galang sim­pati den­gan men­gatakan ‘Sia­pa yang siap berji­had untuk Rohingya ?’ Itu jus­tru malah melang­gar poli­tik luar negeri.” Imbuh Ladin.

Saya yakin bah­wa teman-teman yang datang di sini bisa menyam­paikan kepa­da yang lain apa-apa yang ter­sam­paikan di sini. Jadi, tujuan­nya itu untuk mema­ha­mi bah­wasan­nya apa yang ter­ja­di sebe­narnya itu seper­ti apa. Jan­gan sam­pai kita seba­gai maha­siswa itu hanya sok tahu saja, tapi tidak tahu apa yang sebe­narnya.” Ujar Ros­ti­na selaku pani­tia diskusi.