Sara­pan kali ini tidak terasa nikmat. Sebab adikku yang memasak. Mungkin ini adalah kali per­ta­ma ia mema­su­ki dapur. Mem­bu­at kami sekelu­ar­ga men­ja­di kelin­ci per­cobaan masakan­nya yang han­cur. Dag­ingnya dipo­tong besar-besar, alot dan keras. Bum­bun­ya apala­gi, ter­lalu banyak saos.

Sejak kemarin aku men­ja­di murung. Sebab teman bicara dan bercan­da –pem­ban­tuku- pulang. Itu­lah satu-sat­un­ya alasan adikku memakai celemek.

Pem­ban­tu itu begi­tu baik. Saat mama dan papa bek­er­ja, ia selalu menghiburku dan mem­bu­at tersenyum. Namanya mBok Wati, kupangi­il mBok saja. mBok mem­bu­at hari-hariku sele­sai pulang seko­lah dari SMA men­ja­di riang. Ia cer­i­takan masakan­nya yang baru dan selalu enak, atau ia bakal berceri­ta ten­tang tikus yang ia kejar atau kecoak yang mem­bu­at­nya melom­pat. Banyak sekali cer­i­tanya. Tak habis-habis dan mem­bu­atku tertawa, kadang malah men­gu­curkan air mata kare­na ceri­ta mBok ten­tang kam­pungnya. Ten­tang kehidu­pan yng kejam dan tak kenal ampun. Tapi mBok selalu sabar dan tabah.

Adikku, Apti namanya. Ia tidak suka dicer­i­tai. Dia juga adik kelasku di SMA yang sama. Apti ser­ing men­gu­rung diri di kamar, memu­tar musik sep­a­n­jang siang. Sorenya saat makan, ia mem­bawa makanan­nya masuk kamar. Kemu­di­an melan­jutkan menden­garkan musik. Atau entah apa yang dilakukan olehnya di dalam kamar sendiri­an, den­gan vol­ume musik yang mam­pu mem­bu­at tetang­ga yang sedang putus cin­ta menghunus katana.

Biarkan gadis itu. Den­gar-den­gar ia cem­bu­ru padaku, sebab mBok lebih mem­per­hatikanku dari­pa­da dirinya. Saat meli­hat aku dan mBok sedang berceri­ta di ruang depan, ia selalu melem­par pan­dan­gan kemu­di­an per­gi sete­lah kami memang­gilnya. Ia tak mau datang, entah apa yang ter­ja­di den­gan piki­ran­nya. Sete­lah itu bakal ter­den­gar keras-keras suara musik dari kamarnya yang memang dis­en­ga­ja. Aku dan mBok berpan­dan­gan, kami berd­ua men­datan­gi kamarnya. Menge­tuk dan mBok memang­gil den­gan lem­but. Tak ada jawa­ban, Apti selalu pura-pura tak den­gar atau pura-pura tidur. Apti jelas den­gan sen­ga­ja mem­biarkan kami bera­da di luar, seper­tinya tak ada sama sekali di hari-harinya jad­w­al untuk menyukai kami berdua.

Sudahlah mBok, biarkan saja.”

mBok meme­las, meny­er­ah. Ia kemu­di­an mem­inta diri untuk men­gu­rus dapur. Memasak.

Sup dag­ing ya, mBok.” Pin­taku manja.

mBok cubit pipiku. Aku merasa malu, sudah sebe­sar ini tetap saja diang­gap perem­puan yang masih kanak-kanak. Sup itu adalah ter­akhir kali aku merasakan masakan mBok sebelum ia pulang ke kam­pung tan­pa pamitan.

**

Esok hari datang terge­sa-gesa. Bal­a­pan den­gan rasa marahku kare­na mBok tiba-tiba per­gi. Men­ga­pa ia sete­ga ini, apakah ada uru­san yang lebih men­dadak dari­pa­da mem­ban­gunkanku di ten­gah malam kemu­di­an pami­tan untuk pulang.

Mama dan papa pulang pagi ini, mere­ka menanyakan kem­ana mBok.

Sudah pulang, ma,” kata Apti, “tadi malam aku tidak tidur, mBok minta diri. Ada uru­san men­dadak katanya. Tak berani ban­gunkan kakak, katanya kasian baru tidur.”

Mama dan papa mengiyakan.

Nan­ti mama tel­fon rumah­nya, ada apa pulang tan­pa pamit.”

Aku tau bah­wa mBok pulang juga dari Apti, ia seper­ti gadis kelelawar yang tidur sep­a­n­jang siang kemu­di­an ter­ja­ga pada malamnya.

Teringat cer­i­taku den­gan mBok, tak ada Apti yang angkuh itu. Adik yang pen­di­am dan suka iri. Ia selalu men­gu­rung diri, tak banyak bicara, dan yang pal­ing mem­bu­atku ter­her­an: ia memi­li­ki tat­a­pan itu. Matanya seo­lah tak berkedip saat menat­ap aku dan mBok.

mBok selalu bilang bah­wa orang iri selalu ada, tapi kita harus berbaik sang­ka. Berbaik sang­ka mBok? Piki­ran jahat dan ide gila malah yang mam­pir di otakku. Mungkin saja gara-gara Apti. Ia men­gusir­mu di malam saat aku ter­tidur. Men­gan­cam­mu atau bahkan memak­sa den­gan segala pak­sa yang kejam. Bagaimana jika memang benar, mBok? Orang sebaik dirimu tak kubayangkan men­da­p­at per­lakuan demikian. Hatiku teriris.

**

Pada sepo­tong pagi yang belum sele­sai ini, sedik­it lega. Apti kem­bali men­daratkan senyum pada tat­a­pan kelu­ar­ga. Mama ikut senang, papa juga. Kemu­di­an ia beri­tahu semua orang den­gan raut girang bah­wa dirinya mau bela­jar memasak untuk meng­gan­tikan semen­tara mBok.

Ming­gu seko­lah libur. Kami berkumpul dalam kehangatan kelu­ar­ga. Seper­ti kehidu­pan yang lahir dari rahim yang kemarin, diba­lut den­gan kasih dan diusap den­gan sayang. Kehadi­ran mBok serasa di sini. Andai mBok bera­da di lingkaran ini, keba­ha­giaan dan kasih dan sayang makin lengkap dan ken­tal. Kemu­di­an menghirup­nya dalam-dalam dan kita akan berlom­ba sia­pa yang mam­pu meny­im­pan­nya pal­ing lama dalam dada.

Sam­pai keti­dak-hadi­ran­nya di sini, mBok tetap mem­berikan keba­ha­giaan untuk keluarga.

Jan­gan ada yang ke dapur ya.” Pin­ta Apti manis.

Mama dan aku berpan­dan­gan. Ter­her­an kemu­di­an mengiyakan. Apti tidak per­nah ter­li­hat segi­rang itu. Anak kecil ini ter­li­hat juga sisi lucun­ya. Terbe­sit keing­i­nan tidur bersama seper­ti beber­a­pa tahun lalu. Ia selalu mendekam masuk keti­ak saat lam­pu kamar mama suruh matikan. Ia juga yang ban­gun pal­ing siang, aku harus menarik selimut tebal­nya dulu, kemu­di­an mer­ayu bah­wa air hangat yang wan­gi sudah menanti.

kami tersenyum, mengiyakan per­mintaan anak yang baha­gia itu.

Akan Apti buatkan sup kesukaan kakak.” Senyum­nya mam­pir sebelum ia tengge­lam di pin­tu dapur.

Ham­pir selu­ruh pagi ia habiskan. Kemu­di­an ia datang, mem­bawa mangkuk besar beser­ta pancinya. Kewala­han anak kecil itu, mama dan papa segera bangk­it sal­ing melem­par senyum dan mem­ban­tu Apti. Kemu­di­an den­gan linc­ah anak itu mem­bagikan sup dan mem­berikan untuk kami semua.

Papa memu­ji, anak kecil­nya riang dan berse­man­gat. Mama ikut tersenyum. Akupun baha­gia. Apti den­gan penasaran bertanya man­ja, “Bagaimana rasanya?”

Aku ham­pir-ham­pir muntah wak­tu men­ci­cipinya. Rasanya tak karu­an. Kami mena­han rasa tidak enak kemu­di­an tertawa bersama. Apti yang tidak tahu malah memasang wajah angk­er, raut itu malah mem­bu­at kami makin tertawa. Dalam wajah keti­dak­tahuan itu masih ter­sir­at lucun­ya adikku. Serentak kami men­gatakan enak, kemu­di­an kem­bali tertawa bersama. Hanya Apti yang masih kecut tidak mengerti.

Ia makin ter­li­hat lucu. Kemu­di­an kami ter­pak­sa men­gun­yah dag­ing yang alot. Apti jelas tidak tahu bagaimana memasak dag­ing untuk sup.

Besok kakak ajarin masak sup dag­ing, ya.”

Iya iya,” ia makin man­ja, “dag­ingnya di kulkas masih, kak.”

Kece­ri­aan kelu­ar­ga kami tetap berlan­jut sam­pai mama dan papa benar-benar muntah. Piki­ranku salah, mBok memang bera­da di sini. Dis­endoknya sup yang  kebanyakan saos itu oleh papa. Tak ada sama sekali keba­ha­giaan dan kasih sayang seper­ti yang aku angankan. []

Meyaki­ni berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menya­mar seba­gai manu­sia biasa.