Loyang-loyang kon­glom­erasi ham­pir penuh. Tepung terigu, tepung beras, telur, gula pasir, mente­ga, dan bahan lain telah ter­cam­pur rata. Mix­er baru itu berhasil, melumatkan kege­lisa­han orang-orang atas keti­dakadi­lan yang ter­ja­di. Lele­han cok­lat juga mem­bu­at piki­ran mere­ka ter­al­ihkan lebih cepat, melu­pakan keke­ce­waan di malam sebelumnya.

Pagi ini pertem­pu­ran Cup-cake akan segera ter­ja­di. Kuali besar (baru beli) dan open man­u­al telah terse­dia di depan aula uta­ma. Dua orang perem­puan yang kelu­ar mem­be­li bahan ado­nan, telah kem­bali den­gan tiga kre­sek di tan­gan­nya. “Mau bikin apa yu…?” Tanya salah seo­rang dari dalam kamar tamu.

Mau bikin kue Brow­n­is sama Cup-cake… Tolong ban­tu siap­ken kom­por gas­nya, loyang-loyang di belakang bawak­en ke depan, kita akan prak­tek sendiri saja. Pani­tia benar-benar tidak menye­di­akan fasil­i­ta­tor untuk meng­gan­ti materi yang gagal.” Ani berlalu sem­bari mem­bawa tis­sue dan tim­ban­gan ke depan aula.

Dua puluh perem­puan itu berkumpul, mel­ingkari semua bahan, tengge­lam dalam khusyuk ibadah­nya mem­bu­at kue. Tujuh laki-laki yang ter­sisa mem­ban­tu meli­hat, mungkin juga berdo’a, agar yang dilakukan oleh para perem­puan­nya tidak mer­a­cu­ni orang banyak. Sem­bari menye­man­gati, mere­ka juga mem­bawakan barang-barang yang dim­inta Ani, kemu­di­an menyiapkannya.

Pros­esi dim­u­lai. Satu per­satu bahan dima­sukkan ke baskom alu­mini­um untuk diratakan. Ini mirip mer­atakan keka­cauan yang sem­pat kami buat malam itu. Mer­atakan piki­ran-piki­ran kami yang sen­ga­ja mem­bu­at para Bro­ker kelimpun­gan men­cari pem­be­nar. Mes­ki pada akhirnya kami harus kalah den­gan satu gebrakan tan­gan di meja, satu kali­mat yang lan­tang digertakkan.

***

Malam itu set­ting eval­u­asi dibu­at. Selu­ruh peser­ta berkumpul di sebuah masjid, mengutarakan kegan­ji­lan demi kegan­ji­lan. Pelati­han yang mere­ka jalani sela­ma ham­pir dua ming­gu, nyatanya memang penuh keti­dak­je­lasan. Baik pani­tia, CV yang men­ja­di penang­gung­jawab pelati­han, dan pihak-pihak lain yang terkait di dalamnya.

Ada beber­a­pa hal yang sam­pai sekarang belum dipenuhi oleh pihak CV dan pani­tia.” Abi mem­u­lai per­caka­pan, tegas.

Per­ta­ma, beber­a­pa kali kita mem­inta susunan kepani­ti­aan dan transparan­si dana, tapi tidak diin­dahken oleh mere­ka. Apa susah­nya menun­jukkan esti­masi dana pada peser­ta? Apa sulit­nya meny­er­ahkan sele­baran susunan pani­tia pada kita?”

Ten­tu tidak sulit. Run­down acara kita juga tidak jelas. Beber­a­pa materi dan prak­tek pent­ing jus­tru tidak ter­lak­sana. Ini pelati­han macam apa?” Sam­bung Alam.

Pelati­han macam ini memang memakan banyak dana, teman.” Sahut Najla, sem­bari mem­be­narkan kaca­ma­ta minus tiganya.

Semua mulut diam seje­nak, men­gal­ihkan pan­dan­gan menu­ju Najla. Ham­pir-ham­pir tidak memer­cayai apa yang baru mere­ka den­gar, dari lisan perem­puan berdarah Jawa itu. Beber­a­pa dari mere­ka mengerutkan dahi, yang lain geleng-geleng, masih eng­gan percaya.

Jadi mak­sud­mu? pelati­han ini wajar? Tidak ada yang salah disi­ni? Tidak merasa dipecun­dan­gi? Orang macam apa kamu?” Abi memelo­totkan mata.

Den­gan enteng dan san­tun Najla mengim­buhkan kali­mat­nya, “Biarkan aku meneruskan uca­panku! Hmmm… Tapi jelas ada sis­tem yang salah disi­ni. Sis­tem yang langgeng, yang tidak per­nah bisa diusik, kare­na pun­ya banyak mas­sa untuk mem­ben­tenginya. Dari total 114 juta sekian yang kita kelu­arkan, masih ada sisa 40 juta sekian.”

Tapi, kawan… Kita tidak bisa ter­paku den­gan itu. kita harus ingat satu hal. Kena­pa pelati­han kita dibu­at san­gat men­dadak? Bukankah ini ada hubun­gan­nya den­gan agen­da-agen­da di bulan Desem­ber dan Jan­u­ari? Lengsernya rek­tor, para wak­il rek­tor, para pung­gawa birokrasi? Tapi entahlah.” Usla menyela.

Mungkin bisa berkai­tan, tapi kita harus fokus pada sia­pa-sia­pa dalang di sini. Ada banyak pung­gawa kam­pus yang ter­li­bat. Bukankah CV ini didirikan oleh para alum­ni dari organ­isasi ekstra itu? Nah, kita bisa mela­caknya. Tapi kita tidak pun­ya banyak wak­tu.” Ani dan Usla sal­ing pan­dang, mem­be­narkan penu­tu­ran Alam.

Per­caka­pan-per­caka­pan itu terus berlan­jut. Dua jam den­gan pem­ba­hasan yang mele­bar, dikeru­cutkan, dan kemu­di­an mele­bar lagi, hing­ga pada akhirnya mere­ka memu­tuskan beber­a­pa hal untuk mere­ka gugatkan pada malam evaluasi.

Sete­lah mere­ka memi­li­ki kesep­a­katan, 10 menit berikut­nya mere­ka men­ga­jak para pani­tia untuk eval­u­asi bersama. Satu pani­tia mem­bu­ka per­caka­pan, mem­ba­has agen­da ke Dinas Kelau­tan dan Perikanan yang gagal terlaksana.

Dua pani­tia kemu­di­an menyusul masuk ke dalam aula dan mem­ban­tu orang per­ta­ma men­jawab per­tanyaan demi per­tanyaan yang para peser­ta lon­tarkan. Di bagian ter­akhir, menan­tu pemi­lik rumah, yang juga salah satu anggota CV mem­beri pen­je­lasan, terkait hal-hal yang tidak mam­pu dije­laskan oleh para pani­tia muda.

Sal­ing mem­ba­likkan ujaran kemu­di­an perde­batan kecil, mem­bu­at forum malam itu mene­gang. Tiba-tiba dari arah depan, gebrakan meja  diirin­gi ujaran keras itu ter­den­gar nyaring, mem­ban­gunkan para peser­ta yang ham­pir-ham­pir kehi­lan­gan kesadarannya.

Semua orang di forum ter­diam, tidak melan­jutkan tun­tu­tan demi tun­tu­tan dan kegan­ji­lan yang sebelum­nya berhasil mere­ka sep­a­kati, untuk dis­am­paikan kepa­da pihak penye­leng­gara pelati­han. Eval­u­asi kemu­di­an berlan­jut murung, hing­ga tidak mem­beri hasil yang diinginkan Ani dan kawan-kawannya.

***

Usla men­gaduk-aduk ado­nan kuenya den­gan kasar. Men­co­ba mem­be­namkan kege­ti­ran, tapi tidak sang­gup. Hal itu jus­tru mem­bu­at perasaan­nya cam­pur aduk tidak keru­an. “Beginikah rasanya men­ja­di orang yang tahu tapi tidak mam­pu berbu­at apa-apa?”

Muncul dari arah belakang Najla den­gan Ani mem­beri tahu Usla, bah­wa Cup-cake per­ta­ma telah matang sem­pur­na. Semua men­ci­cipi, mer­ayakan keber­hasi­lan mere­ka, mes­ki tan­pa ten­tor atau semacamnya.

Ini memang hal kecil. Tapi seti­daknya den­gan ini kita tahu bah­wa tan­pa mere­ka, kita bisa.” Ani men­co­ba mem­bu­juk Usla agar melu­pakan seje­nak kege­ti­ran­nya. “Tahu­lah kita sedang diang­gap bodoh oleh mere­ka. Mungkin seper­ti bebek yang digem­bala. Murung­mu tidak akan menye­le­saikan apa-apa.”

Sebe­narnya kita bisa. Jika saja modal itu dibebankan kepa­da kita, baik indi­vidu atau kelom­pok untuk mem­bu­at satu pro­duk, yakin… kita sudah mam­pu. Sayangnya kita ter­lam­bat ambil sikap.” 

Sem­bari itu, Mere­ka mela­hap wadah-wadah kecil berisi kue padat den­gan rasa cok­lat. Perte­muan antara lem­but dan asin yang kurang seim­bang, mem­bu­at beber­a­pa pen­ci­cip mengedikkan bahu, berusa­ha menikmati nano-nano pada Cup-cake di gengga­man.

Kesekian kalinya, gin­cu-gin­cu mer­ah itu kem­bali mem­bu­at senyum pak­sa mere­ka tam­pak lebih pan­tas. Tapi tetap tidak bisa memu­ngkiri keter­pa­sun­gan yang mere­ka ala­mi. Men­ja­di ser­ba salah keti­ka mere­ka telah pun­ya cukup keberan­ian mengutarakan, tapi tidak mam­pu menun­jukkan buk­ti apapun.

Seti­daknya, Cup-cake kita pagi ini sedik­it man­is ketim­bang keny­ataan yang harus kita rat­api sekarang.” 

Riz­ka Umami

Seo­rang Pen­ga­song ‘Sur­re­al’

Facebook