Pagi yang cer­ah di pulau Seribu Masjid. Kena­pa saya sebut begi­tu? Kare­na banyak masjid­nya. Sep­a­n­jang jalan keti­ka kami berangkat dari ban­dara menu­ju Asra­ma Haji, seti­ap jalan ada masjid. Belum lagi keti­ka kami sam­pai di kam­pung dan pelosok desa, bahkan dalam satu kam­pung ada dua masjid. Sehing­ga kare­na banyaknya masjid di Lom­bok dibu­at­lah gedung Islam­ic Cen­tre seba­gai sim­bol gelar yang diberikan.

Hari keti­ga di Pan­tai Klui. Usai men­tor­ing dan sele­sai men­jalankan sha­lat Dhuhur. Meli­hat bus yang berje­jer rapi yang sen­ga­ja disi­ap­kan pani­tia untuk mem­bawa kami melan­jutkan site vis­it. Kesem­patan yang tak ter­duga,  kami site vis­it di Vihara Teban­go dan Kam­pung Bud­ha. Seti­daknya ini­lah jalan ceri­ta saya men­ge­nal dan menelisik kehidu­pan anak-anak Budha.

Mes­ki Islam adalah aga­ma may­ori­tas, jum­lah umat Bud­ha di Lom­bok Utara men­em­pati per­ingkat ked­ua sete­lah Islam. Desa Ben­tek keca­matan Peme­nang Kabu­pat­en Lom­bok Utara (KLU)  meru­pakan pesat­nya umat Bud­ha men­jalani roda kehidu­pan. Pesat­nya umat Bud­ha dis­ana sehing­ga dina­mai Kam­pung Budha.

Jalan yang kami tem­puh mele­wati buk­it-buk­it yang ter­ham­par luas lau­tan biru. Mele­wati Gili Trawan­gan, Anjun­gan satu hati, dan Pan­tai Amp­enan. Seti­daknya saya bisa meli­hat wajah-wajah tem­pat ini seper­ti yang ada di lagu Inak Tegin­ing Amak Teganang. Lagu yang mem­bius saya untuk meli­hat Lom­bok lebih jauh.

Per­jalanan lan­jut memakan wak­tu satu seten­gah jam. Namun, wak­tu tidak terasa berg­er­ak kare­na ceri­ta yang ter­lon­tar dari saha­bat saya Hen­dri. Dia banyak mencer­i­takan Lom­bok beser­ta isinya  dari mulai makanan­nya, baju adat, rumah adat, tra­disi nya dan tidak kalah pent­ing tem­pat wisa­ta yang wajib untuk dikun­jun­gi. Tak kalah pent­ing per­soalan keber­aga­man aga­ma yang ada.

Kini ada satu hal yang saya tangkap, yakni men­jalankan aga­ma sekali­gus men­jalankan tra­disi masih mengikat kuat. Dap­at dikatakan tra­disi nenek moyang dulu masih diper­ta­hankan oleh masyarakat suku sasak ini.  Selain itu, pulau Lom­bok juga terke­nal den­gan keelokan laut, budaya, dan sug­uhan wisa­ta bagi para pelan­cong. Di pulau ini­lah  pemu­da-pemu­di nusan­tara diperte­mukan untuk sal­ing berte­mu dan merekatkan tan­gan untuk satu tujuan yaitu per­dama­ian. Lom­bok Youth Campt for Peace Lead­ers, itu­lah wadah kami untuk sal­ing berte­mu dan berjejaring.

Di sini­lah ceri­ta kami ter­tuang untuk sal­ing bertukar wacana, berceri­ta prob­lem wilayah, dan berba­gi pen­gala­man hidup. Sam­pai pada akhirnya wak­tu demi wak­tu merenggut keber­samaan dan menyu­ruh kami untuk kem­bali ke daer­ah asal, untuk mem­per­juangkan dan menga­malkan ilmu yang didapat.

Tidak terasa kami sam­pai di ping­gir jalan, masuk ke kam­pung Bud­ha. Sep­a­n­jang jalan war­ga desa Ben­tek menya­pa kami. Ter­li­hat polos­nya anak kecil, ada pula penyan­dang dis­abil­i­tas, menya­pa saya dan men­ga­jak berfoto.

Lebih lan­jut lagi, saya masuk menelusuri jalan menu­ju kam­pung Bud­ha. Jarak antara pin­tu den­gan kam­pung Bud­ha sek­i­tar 100 meter. Cukup den­gan jalan kaki dan meli­hat peman­dan­gan suasana rumah-rumah war­ga. Rasa senang dan gem­bi­ra bisa bersen­tuhan lang­sung den­gan mere­ka, orang yang berbe­da keyak­i­nan den­gan saya.

Di desa Ben­tek ter­da­p­at tiga aga­ma yakni Islam, Bud­ha, dan Hin­du. Ada umat nas­rani namun hanya orang per­an­tauan yang kemu­di­an mening­glkan kam­pung, sehing­ga tidak ter­catat seba­gai aga­ma tetap di desa.  Selain itu, adat tra­disi yang masih dijalankan beriringan den­gan aga­ma yang dijalankan. Bila ada per­masala­han selalu dis­e­le­saikan den­gan adat. Masyarakat Ben­tek tidak berani melang­gar apa yang sudah berkai­tan den­gan adat. Alih-alih jika melang­gar cemooh dan terusir dari kam­pung seba­gai sanksi.

War­ga desa Ben­tek san­gat ter­bu­ka mem­bu­at hati saya merasa nya­man keti­ka bertanya-tanya meng­gali data. Tol­er­an­si beraga­ma masih dijun­jung ting­gi. Jika ada masalah berkai­tan den­gan aga­ma mere­ka selalu menye­le­saikan dalam Majelis Keaga­maan Desa (MKD) jika saya salah mohon dibenarkan. Adanya ruang tersendiri bagi mere­ka untuk menghin­dari sikap intol­er­an yang mana aki­bat­nya dap­at merugikan banyak pihak.

Sam­pai di Vihara kecil kam­pung Bud­ha saya meli­hat anak-anak kecil yang berkumpul bersama ibu-ibu mere­ka. Sebelum kami datang mere­ka telah melakukan sem­bahyang. Anak-anak kecil pun juga ikut. Anak-anak di kam­pung Bud­ha  san­gat antu­sias mengiku­ti kegiatan keaga­maan atau pun ceramah. Ini­lah keelokkan dari desa Ben­tek. Saya sem­patkan wak­tu yang singkat ini untuk dap­at bercengkra­ma dan berba­gi ceri­ta pada mere­ka. Ceri­ta ten­tang cin­ta tanah air, meng­hor­mati aga­ma lain, mem­ber­i­tahu tem­pat-tem­pat ibadah mas­ing-mas­ing aga­ma, dan moti­vasi bela­jar meraih cita-cita. Bagi saya, bisa merangkul dan berba­gi ceri­ta pada mere­ka tunai sudah ilmu yang saya pun­ya untuk dis­alurkan pada mereka.

Ada rasa malu, takut, cang­gung tergam­bar dalam wajah anak-anak itu. Namun tak butuh wak­tu lama mere­ka akrab den­gan saya layaknya wak­tu yang terus berg­er­ak. Ada rasa baha­gia dap­at berba­gi den­gan mere­ka, anak-anak yang bukan dari asal daer­ah saya. Ada rasa bang­ga dap­at menyen­tuh dan bercengkra­ma den­gan anak-anak itu. Kesem­patan meng­in­jakkan kaki di Lom­bok tidak  saya sia- siakan untuk dap­at berba­gi den­gan mere­ka. Men­ja­di bekal ceri­ta keti­ka nan­ti saya pulang ke tanah Jawa.

Seir­ing wak­tu ber­jalan, jam sudah menun­jukkan pukul 16.04 WITA. Saat­nya saya dan kawan-kawan men­gun­durkan diri, kem­bali untuk melan­jutkkan ren­cana selan­jut­nya. Terbe­sit rasa sedih, saat rasa nya­man dan peduli mulai ter­a­jut. Namun, kami dikalahkan wak­tu sehing­ga kare­na wak­tu­lah men­ja­di akhir ceri­ta saya untuk anak-anak desa Ben­tek. Diper­batasan jalan raya menu­ju kam­pung Bud­ha , anak-anak yang sudah men­e­mani saya mem­berikan salam per­pisa­han dan kami berfo­to bersama. Acun­gan salam damai men­ja­di akhir per­pisa­han ini.

Entah kapan kaki ini dap­at sam­pai di Kam­pung nan rukun ini. Namun seti­daknya ini­lah ceri­ta saya berba­gi kepa­da anak-anak Lom­bok Utara. Semoga kelak mere­ka men­ja­di pemimpin yang dap­at mem­bang­gakan bangsa dan negara. Entah 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi. Tapi yakin­lah bah­wa ilmu akan berkem­bang jila dis­alurkan kepa­da mere­ka. Keper­gian kami diirin­gi den­gan senyum dan tawa kecil mere­ka. Sela­mat jalan dan terus­lah bela­jar, masa depan kalian masih pan­jang. Negara butuh kalian seba­gai pemu­da penerus bangsa, yang nan­ti­nya selalu meneg­gakkan rasa cin­ta pada ibu pertiwi.

Ania

penyu­ka sas­tra, trav­el­ing, berkhay­al, pengge­mar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).