Judul : Asimetris

Pro­duk­si : Watch­doc – Eks­pe­disi Indone­sia Biru

Pro­duser : Indra Jati, Dand­hy Laksono

Durasi :  68 menit

Resen­sor : Nur Fitriyani

Berdasarkan infor­masi dari Bal­ai Infor­masi Per­tan­ian 1990 men­erangkan bah­wa tana­man kela­pa saw­it memi­li­ki nama latin (Elaeis guineen­sis Jacq) saat ini meru­pakan salah satu tana­man perke­bunan yang men­dudu­ki posisi pent­ing di sek­tor per­tan­ian pada umum­nya, dan bidang perke­bunan khusus­nya, hal ini dise­babkan kare­na dari sekian banyak tana­man yang meng­hasilkan minyak atau lemak, kela­pa saw­it yang meng­hasilkan nilai ekono­mi terbe­sar per hek­tarnya di dunia.

Meli­hat pent­ingnya tana­man kela­pa saw­it dewasa ini dan masa yang akan datang, seir­ing den­gan meningkat­nya kebu­tuhan pen­duduk dunia akan minyak saw­it, maka per­lu dipikirkan usa­ha pen­ingkatan kual­i­tas dan kuan­ti­tas pro­duk­si kela­pa saw­it secara tepat agar sasaran yang diinginkan dap­at ter­ca­pai. Salah satu di antaranya adalah meng­galakkan petani kela­pa saw­it untuk lebih pro­duk­tif dalam memeli­hara dan mema­nen kela­pa sawit.

Film ini seti­daknya mem­bawa kita meli­hat fenom­e­na yang mungkin oleh seba­gian masyarakat tidak menge­tahui bagaimana sesung­guh­nya nasib para petani saw­it dalam lingkaran kehidu­pan, berkec­im­pung den­gan tana­man saw­it. Melalui film ini kita diper­li­hatkan adanya keti­dak­simetrisan antara pesat­nya indus­tri perke­bunan saw­it den­gan petani yang men­ja­di pro­dusen kela­pa saw­it. Men­ga­jak penon­ton meli­hat sejum­lah kon­tradik­si yang tim­bul dalam perkem­ban­gan indus­tri perke­bunan saw­it melalui satu per­tanyaan yang men­dasar: Men­ga­pa masyarakat yang hidup di sek­i­tar area perke­bunan terse­but adalah penyum­bang angka kemiski­nan, semen­tara jika kita lihat pen­ca­pa­ian indus­tri­al di sana jus­tru melangit?

Jika kita telaah den­gan meng­gu­nakan logi­ka pem­ban­gu­nan, seharus­nya petani­lah yang pal­ing sejahtera kare­na secara ter­i­to­r­i­al di mana mere­ka bera­da dekat den­gan sum­ber sek­tor pro­duk­tif di Indone­sia. Petani menanam dan memeli­ha­ranya sam­pai siap untuk dipa­nen dan dijual. Seharus­nya, dari sedik­it gam­baran terse­but petani lebih sejahtera namun fenom­e­na yang ditun­jukkan dalam film terse­but menggam­barkan seba­liknya. Nahas­nya keti­dak­bere­san yang dita­mpilkan adalah kenyataan.

Tana­man kela­pa saw­it terbe­sar ada di tiga pulau yakni Kali­man­tan, Sumat­era, dan Papua. Keti­ga pulau terse­but meru­pakan area perke­bunan saw­it terbe­sar dari 11 juta hek­tar lahan saw­it yang ada di Indone­sia. Luas lahan yang demikian besar itu dikua­sai oleh beber­a­pa perusa­haan besar, baik perusa­haan nasion­al dan multinasional.

Di ten­gah-ten­gah mem­be­sar dan tum­buh­nya kor­po­rasi perke­bunan kela­pa saw­it di Indone­sia, secara bersamaan menye­babkan pros­es alien­asi juga terus berlan­jut. Di Pam­ing­gir, Kali­man­tan Sela­tan, ham­pir seperem­pat war­ganya kelu­ar dari desa men­cari peker­jaan kare­na tidak mam­pu men­gak­ses sarana kehidu­pan yang layak dari tana­man kela­pa saw­it miliknya yang berskala kecil. Masyarakat men­geluh den­gan ongkos pro­duk­si yang begi­tu ting­gi, dan yang mam­pu men­gak­ses­nya adalah indus­tri besar.

Dampak buruk adanya komod­i­tas kela­pa saw­it ini begi­tu dirasakan oleh masyarakat, tidak hanya berdampak pada ekol­o­gis tetapi juga secara sosial dan ekono­mi. Kela­pa saw­it mem­bu­tuhkan air dalam jum­lah yang san­gat banyak, men­ca­pai 12 liter/pohon. Pros­es per­tum­buhan­nya pun juga acap­kali dirangsang memakai pestisi­da, zat fer­til­iz­er, dan bahan kimia lainnya.

Selain itu, meli­hat posisi kela­pa saw­it saat ini banyak diin­car dan sedang gen­car-gen­car­nya pemer­in­tah mem­bu­ka lahan perke­bunan saw­it di daer­ah-daer­ah yang dirasanya sub­ur dan cocok untuk menanam kela­pa saw­it, tim­bul kon­flik agraria yang mewar­nai per­jalanan pem­bukaan kela­pa saw­it. Kebanyakan kegiatan pem­bukaan lahan kela­pa saw­it dilakukan den­gan metode tebang habis agar menghe­mat biaya dan wak­tu. Aki­bat­nya banyak makhluk hidup yang ting­gal di dalam­nya pun men­ja­di terganggu.

Kon­flik agraria yang mewar­nai kehadi­ran perke­bunan kela­pa saw­it yaitu pada tahun 2017, Badan Restorasi Gam­but yang diben­tuk tahun 2016 oleh Jokowi men­catat ada 650 kon­flik agraria ter­ja­di di Indone­sia dimana 1/3 dari­padanya meru­pakan kon­flik perke­bunan kela­pa saw­it. Kon­flik agraria ini pun mem­bu­at banyak masyarakat lokal diberba­gai daer­ah men­ja­di kor­ban krim­i­nal­isasi oleh kor­po­rasi besar.

Film ini menyam­paikan berba­gai sudut pan­dang, merekam kepin­gan ceri­ta masyarakat yang berjuang mem­per­ta­hanakan tanah dari kor­po­rasi. Mulai dari petani yang bek­er­ja di lahan perusa­haan hing­ga yang memi­li­ki kebun sendiri. Ada juga komu­ni­tas-komu­ni­tas yang meno­lak inves­tasi jenis ini dan memil­ih jalan lain untuk dap­at berta­han hidup. Mes­ki tak sedik­it pula yang meny­er­ah dan akhirnya meng­gan­tungkan hidup­nya di lahan yang ditana­mi sawit.

Asimetris merekam den­gan baik bagaimana indus­tri ini meng­giurkan sehing­ga pemer­in­tah menggen­jot habis-habisan lahan milik masyarakat untuk dibu­ka perke­bunan saw­it. Ini yang men­ja­di per­tanyaan tia­da habis­nya dan bahkan masalah  ini akan terus berlan­jut tan­pa adanya solusi yang tepat oleh pemer­in­tah: Jika Indone­sia adalah peng­hasil minyak kela­pa saw­it terbe­sar, namun kena­pa masyarakat­nya tidak per­nah sejahtera? Sebe­narnya bagaimana pola yang diatur oleh pemer­in­tah? Apa yang mem­be­leng­gu sehing­ga masyarakat tidak per­nah sejahtera dan berbad­ing ter­ba­lik den­gan posisi indus­tri saw­it yang meja­di indus­tri yang mendominasi?

Ketim­pan­gan-ketim­pan­gan tergam­bar dan terekam dalam film ini. Sejatinya jika pemer­in­tah ingin meningkatkan perekono­mi­an negara, harus­lah juga dap­at mense­jahter­akan raky­at­nya. Pemer­in­tah seharus­nya bisa berfikir dari mana dap­at mem­per­oleh kela­pa saw­it jika tidak dari lahan tan­gan-tan­gan petani. Bagaimana kasus agraria akan berku­rang jika pemer­in­tah seba­gai pemangku kebi­jakan hanya meman­dang hukum seba­gai for­mal­i­tas, ker­ing akan imple­men­tasi secara kontekstual.

Ania

penyu­ka sas­tra, trav­el­ing, berkhay­al, pengge­mar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).