Syah­dan, ada sebuah teori, berdasarkan pen­gala­man, bah­wa di masyarakat yang ter­bi-asa- den­gan aksara, orang ramai tak mudah diha­sut. Orang akan lebih mam­pu meny­i­mak kem­bali dan men­gu­raikan infor­masi yang didapat.”
GM

Kali ini kita berbicara pasal Bahasa Indone­sia seba­gai bahasa yang diakui dan digu­nakan den­gan suka rela. Pada 28 Okto­ber 1928 telah diku­man­dan­gkan sumpah oleh para pemu­da Indone­sia. Sumpah ini diikrarkan untuk mem­per­erat hubun­gan antar pemu­da sesama Indone­sia dari berba­gai suku, aga­ma, ras, dan budaya. Den­gan diikrarkan­nya sumpah pemu­da Bahasa Indone­sia lahir, diakui dan sah digu­nakan den­gan senang hati teruta­ma oleh para pemi­lik bahasanya. Namun, di sisi lain terkait tepat lahirnya Bahasa Indone­sia men­u­ai berba­gai pen­da­p­at yang berbeda.
Bahas Indone­sia yang per­ta­ma kali digu­nakan adalah bahasa Melayu. Beber­a­pa alasan men­ja­di per­tim­ban­gan, hing­ga bahasa Melayu men­ja­di pil­i­han. Di antara alasan yang ada seper­ti 1) Bahasa melayu cukup mudah untuk dipa­ha­mi, dan 2) Pada wak­tu itu bahasa melayu digu­nakan seba­gai lin­gua fran­ca (bahasa per­hubun­gan). Ahmad dan Hen­dri dalam bukun­ya (2015:10) menge­mukakan pada zaman Sri­wi­jaya bahasa Melayu berfungsi seba­gai bahasa kebu­dayaan, bahasa per­hubun­gan, bahasa perda­gan­gan, dan bahasa res­mi kerajaan.
Seir­ing perkem­ban­gan zaman bahasa Indone­sia men­gala­mi tang­ga demi tang­ga pen­guba­han. Pen­guba­han ini ten­tun­ya dalam rang­ka per­baikan bahasa kita Bahasa Indone­sia. Menu­rut Ahmad dan Hen­dri (2015:14–22) pada 1901 dis­usun ejaan res­mi bahasa melayu oleh Ch. A. Van Ophui­jsen yang dimu­at dalam kitab logat Melayu (selan­jut­nya dise­but Ejaan Van Ophui­jsen). 19 Maret 1947 diresmikan Ejaan Repub­lik (Ejaan Soe­wan­di). Pada 1954, ejaan Melin­do (Melayu Indone­sia) mulai diru­muskan, baru pada 1959 sele­sai diru­muskan. 16 Agus­tus 1972, Pres­i­den Soe­har­to meresmikan peng­gu­naan Ejaan Bahasa Indoen­sia yang Dis­em­pur­nakan (EYD) melalui pida­to kenen­garaan. 31 Agus­tus 1972 Menteri Pen­didikan dan Kebu­dayaan mene­tap­kan Pedo­man Umum Ejaan Bahasa Indone­sia yang Dis­em­pur­nakan dan Pedo­man Umum Pem­ben­tukan Isti­lah res­mi berlaku di selu­ruh Indone­sia. 26 Novem­ber 2015 Badan Pengem­ban­gan dan Pem­bi­naan Bahasa Indone­sia men­gubah EYD men­ja­di Pedo­man Umum Ejaan Bahasa Indone­sia (PUEBI ) (Bobo.id). Per­al­i­han EYD men­ja­di PUEBI dilakukan berdasarkan Per­at­u­ran Menteri dan Kebu­dayaan (Per­me­ndik­bud) RI Nomor 50 Tahun 2015 ten­tang Pedo­man Umum Ejaan Bahasa Indone­sia (OKEZONE NEWS).
Namanya saja Bahasa Indone­sia, seper­ti hal­nya dikatakan di awal, ten­tun­ya san­gat akrab digu­nakan oleh masyarakat­nya. Teruta­ma dalam rang­ka berko­mu­nikasi, baik beru­pa pro­mosi (iklan), pengu­mu­man, poster, maupun slo­gan. Berba­gai ben­tuk komu­nikasi terse­but biasanya berwu­jud papan nama seba­gai media penyam­pai kepa­da pem­ba­ca, may­ori­tas adalah untuk media luar ruan­gan. Men­ga­pa media? Ya, kare­na papan nama terse­but men­ja­di per­an­tara penyam­pai bagi pem­ba­ca yang diu­ta­makan untuk menge­tahui infor­masi yang dimaksud.
Seba­gaimana paparan di atas, maka secara tidak lang­sung, bahasa Indone­sia menye­bar luas dan berkem­bang secara bebas, tidak ada kon­trol yang pasti dalam peng­gu­naan dan pen­er­a­pan­nya. Sayangnya, sam­pai dewasa ini  masih saja ter­da­p­at kesala­han penulisan yang ter­ja­di pada prak­tik pen­er­a­pan­nya. Seper­tinya ter­li­hat seder­hana, tapi tidak jika ini dilakukan seber­a­pa banyak (tak ter­hing­ga) pen­duduk Indone­sia. Mungkin seten­gah­nya, seper­ti­ganya, seperem­pat­nya, saya kira masih banyak bukan? Ada­pun beber­a­pa kesala­han yang biasanya ter­ja­di pada prak­tiknya adalah kesala­han penulisan kata hubung, kata depan, kata baku dan tidak baku, tan­da baca, dan penulisan huruf kapital.
Berdasarkan penga­matan, beber­a­pa con­toh kesala­han penulisan pada papan nama atau media luar ruan­gan yang digu­nakan masyarakat Tulun­ga­gung (ter­ma­suk di IAIN Tulun­ga­gung) adalah pada iklan, poster, pengu­mu­man, dan slo­gan. 1) Ter­tulis (a) Orig­i­nal Mie Yang Nikmat, ben­er (b) Orig­i­nal Mie Yank Nikmat semestinya Orig­i­nal Mie yang Nikmat. 2) Ter­tu­is DIKONTRAKAN, seharus­nya DIKONTRAKKAN. 3) Ter­tulis DI KONTRAKKAN (RUMAH), seharus­nya DIKONTRAKKAN (RUMAH). 4) Ter­tulis JAM: 06.00 – 21.00, seharus­nya PUKUL 06:00 – 21:00. 5) Ter­tulis DILARANG BERJUALAN DI AREA TANPA IJIN, seharus­nya DILARANG BERJUALAN DI AREA TANPA IZIN. 6) Ter­tulis Sia­pa Yang Bersung­guh-sung­guh Akan Berhasil, seharus­nya Sia­pa yang Bersung­guh-sung­guh Akan Berhasil. 7) Ter­tulis KNALPOT BRONG/SUARA KERAS DI LARANG MASUK, semestinya KNALPOT BRONG/SUARA KERAS DILARANG MASUK.
Mungkin beber­a­pa hal di atas adalah salah satu yang melatar­be­lakan­gi Gunawan Moham­mad (GM) menuliskan artikel­nya yang cukup masy­hur itu Di Man­akah ‘Di’?. “DI SINI AKAN DI BANGUN. Si penulis pem­ber­i­tahuan itu pasti tak tahu ada dua macam “di” dalam kali­mat­nya yang seharus­nya berbe­da. “Di” yang per­ta­ma menun­jukkan tem­pat yang harus dit­uliskan ter­pisah dari kata yang menun­jukkan tem­pat itu.. “Di” yang ked­ua meru­pakan sebuah awalan untuk sebuah kata ker­ja pasif-yang harus mer­a­p­at pada kata yang diawalinya..” (GM).
Beber­a­pa con­toh di atas meru­pakan secu­p­lik dari sekian kesala­han penulisan papan nama yang digu­nakan masyarakat lingkup Tulun­ga­gung, belum lagi Indone­sia. Kesala­han seder­hana seper­ti ini bisa berak­i­bat besar keti­ka diber­lakukan secara kot­inu bahkan tan­pa berikut pen­je­lasan­nya. Seper­ti hal­nya penulisan nama STAIN TULUNGAGUNG yang masih kokoh ter­pam­pang di salah satu ger­bang sela­tan IAIN TULUNGAGUNG. Selain alasan per­al­i­han STAIN men­ja­di IAIN masih baru (kurang lebih 4,5 tahun), nama yang masih dia­badikan ini men­ja­di salah satu aki­bat keti­ka tukang becak atau ker­net bus baru akan paham keti­ka orang menye­butkan ala­mat STAIN TULUNGAGUNG dari­pa­da IAIN TULUNGAGUNG.
Pada akhirnya, berku­rangnya keke­liru­an itu akan hadir keti­ka kita memil­ih untuk mem­bi­asakan diri dan segera men­co­ba berbe­nah (dalam hal ini berak­sara). Badan Pengem­ban­gan dan Pem­bi­naan Bahasa Indone­sia hing­ga dewasa ini telah mele­wati berba­gai revisi secara kon­tinu hing­ga meng­hasilkan PUEBI seba­gai pedo­man masyarakat peng­gu­na dalam hal peng­gu­naan ejaan ataupun berak­sara. Betul sukar kiranya segera meny­er­agamkan prak­tik aksara masyarakat peng­gu­na hanya den­gan PUEBI. GM sebelum­nya telah mengin­gatkan bah­wa “Memang ada yang hilang dalam kebu­dayaan aksara, tapi bisakah kita mengabaikan, beta­pa pent­ingnya kini sikap anali­tis dalam berba­hasa dan berpikir?”. Seti­daknya kita juga peduli ten­tang keber­lang­sun­gan bahasa kita dalam prak­tik sehari-hari. Beta­pa sem­rawut­nya pen­er­a­pan bahasa jika terus dit­er­ap­kan den­gan seke­nanya tan­pa mem­per­je­las bagaimana semestinya, sedan­gkan pedo­man telah tersedia. []