Kon­disi Indone­sia memang sudah banyak men­gala­mi peruba­han sejak sebelum merde­ka hing­ga saat ini. Hal terse­but sedik­it banyak memen­garuhi sikap kri­tis pers maha­siswa ter­hadap berba­gai per­soalan yang ada sekarang. Ter­lebih lagi den­gan kon­disi kebe­basan pers yang sudah ter­jamin. Pers umum pun kian tum­buh pesat sehing­ga melahirkan suatu per­tanyaan masihkah pers maha­siswa dibutuhkan?

Mem­bicarakan soal pers maha­siswa tidak akan per­nah jauh dari masa Orde Baru (ORBA). Mengin­gat sela­ma masa itu pers maha­siswa mengam­bil per­anan pent­ing. Per­an pent­ing di ten­gah-ten­gah situ­asi yang ter­tut­up dan mengekang. Mere­ka berani men­gungkap fak­ta-fak­ta pent­ing yang didi­amkan oleh pers umum. Ketaku­tan akan ter­an­cam­nya kelang­sun­gan hidup men­jadikan pers umum berlaku stag­nan. Menyikapi hal terse­but pers maha­siswa mengam­bil alih.

Pada era ter­bu­ka dan bebas seper­ti sekarang ini, keberan­ian saja tidak cukup. Pers umum yang mulai ter­bit sete­lah pas­ca ORBA  jauh lebih berani dan bahkan lebih nekat. Tidak hanya dalam beropi­ni, tetapi juga dalam men­gungkap­kan fak­ta. Per­an pers maha­siswa makin lama makin bergeser. Aktivis maha­siswa mengam­bil alih per­an pent­ing seba­gai penyalur lidah rakyat.

Sebanyak apapun per­tum­buhan pers di Indone­sia, pers maha­siswa tetap men­ja­di war­na lain yang men­ja­di bagian dari pers Indone­sia itu sendiri. Pers maha­siswa tetap kon­sis­ten den­gan prin­sip­nya yaitu jur­nal­isme ker­aky­atan. Di ten­gah hiruk pikuk perkem­ban­gan pers yang beror­i­en­tasi pada keun­tun­gan, pers maha­siswa masih tetap pada ben­tuknya sedi­akala yaitu Nir­la­ba (tidak beror­i­en­tasi pada keuntungan).

Pers maha­siswa masih men­jun­jung ting­gi jur­nal­isme ker­aky­atan. Jur­nal­isme yang menya­jikan infor­masi tan­pa dal­ih untuk men­da­p­atkan keun­tun­gan. Hal ini­lah yang men­dasari perbe­daan antara pers secara umum den­gan pers maha­siswa. Tidak adanya kepentin­gan ekono­mi di balik pers maha­siswa disinyalir mam­pu mem­per­ta­hankan prin­sip inde­pen­den yang dipegang teguh oleh pers mahasiswa.

Den­gan prin­sip inde­pen­den yang terus dipegang teguh oleh pers maha­siswa mem­bu­at­nya terus dibu­tuhkan untuk menya­jikan infor­masi secara men­dalam dan menya­jikan par­a­dig­ma alter­natif. Di ten­gah-ten­gah kon­glom­erasi media saat ini, pers maha­siswa men­ja­di alter­natif lain seba­gai tem­pat meru­juk infor­masi yang lebih objek­tif. Hal ini terkait den­gan tujuan dari pers maha­siswa yang tidak beror­i­en­tasi kepa­da keun­tun­gan ekono­mi sema­ta sehing­ga hara­pan­nya tidak mudah ter­in­ter­ven­si oleh kepentin­gan lain.

Masalah aktu­al yang meng­ham­piri pers maha­siswa sekarang ham­pir men­jadikan­nya kehi­lan­gan per­an di ten­gah masyarakat. Untuk meng­hadapi sis­tu­asi yang kian mengge­serkan pers maha­siswa per­lu adanya ker­ja keras. Pers maha­siswa tetap dibu­tuhkan meskipun saat ini kon­disi Indone­sia sudah lebih demokratis. Kon­disi negara yang sudah men­jamin kebe­basan pers bisa dise­but men­gun­tungkan. Hal terse­but kare­na pers maha­siswa bisa bebas mengkri­tisi berba­gai ketim­pan­gan.  Pada artinya adalah tidak hanya ter­paku pada satu per­masala­han saja dan tidak ada ketaku­tan akan dicabut izin ter­bit­nya secara paksa.

Para aktivis pers maha­siswa tidak per­lu bersusah-payah meliput, apala­gi ikut-iku­tan men­gungkap fak­ta berskala nasion­al. Sebab kalau itu yang dilakukan, aktivis pers maha­siswa pasti akan kalah ber­saing den­gan media umum yang memi­li­ki modal kuat dan ditun­jang tena­ga yang pro­fe­sion­al. Pers maha­siswa cukup menyam­paikan opi­ni den­gan sudut pan­dang lokal. Artinya berdasar pema­haman dan cara pikir komu­ni­tas­nya ter­hadap masalah-masalah nasion­al yang sedang muncul. Den­gan demikian, mes­ki mem­bicarakan prob­lem nasion­al, pers maha­siswa bisa benar-benar mem­bu­mi, tum­buh dan berkem­bang dari komunitasnya.

Pers maha­siswa sete­lah dihadap­kan pada prob­lem keter­bukaan dan kebe­basan, kini juga ditun­tut untuk menyikapi perkem­ban­gan teknolo­gi infor­masi. Perkem­ban­gan inter­net yang pesat, telah men­cip­takan par­a­di­gr­na baru dunia media mas­sa. Seba­gai bagian dari komu­ni­tas media mas­sa, pers maha­siswa pasti terke­na imbasnya.

Kini, ada belasan majalah maha­siswa (berba­hasa Indone­sia) seti­ap kali ter­bit selalu di online kan. Fak­ta ini menun­jukkan, bah­wa para aktivis pers maha­siswa san­gat cepat men­gan­tisi­pasi perkem­ban­gan teknolo­gi inter­net. Hanya saja, kecepatan dan kesi­ga­pan belum­lah cukup. Yang tak kalah pant­i­ng adalah bagaimana secara tepat meman­faatkan perkem­ban­gan inter­net. Tan­pa ketepatan, maka peng­gu­naan teknolo­gi inter­net akan sia-sia. Pal­ing cepat hal itu sekadar men­ja­di gaya hidup saja.

Inter­net seba­gai sarana media infor­masi memi­li­ki dua kelebi­han, yaitu kecepatan dan daya jangkau. Den­gan hanya mem­bu­at situs web yang diisi oleh materi edisi cetak maka aktivis pers maha­siswa hanya meman­faatkan daya jangkaun­ya saja. Itu pun kalau ala­mat situs dike­tahui oleh banyak orang. Sadang fak­tor kecepatan sama sekali tidak dis­en­tuh. Pada­hal kalau fak­tor kecepatan ini benar-benar diman­faatkan oleh maha­siswa, maka efek dari pro­duk pem­ber­i­taan maha­siswa akan terasa benar.

Lewat inter­net manu­sia memang ten­gah mem­perke­cil dunia. Ten­tu aktivis pers maha­siswa tidak ingin ket­ing­galan dalam pros­es terse­but. Pal­ing tidak, mere­ka den­gan inter­net bisa meny­atukan dunia maha­siswa dan kam­pus yang berte­baran di berba­gai kota. Bukankah hal ini meru­pakan cita-cita seti­ap aktivis (pers) maha­siswa? Dalam pros­es ini­lah para aktivis pers maha­siswa bisa men­jalankan tugas­nya secara mak­si­mal tan­pa dihan­tui oleh perasaan takut. Oleh kare­na itu hasil ker­janya tidak bisa diter­bitkan kare­na ter­batas­nya dana.

Inter­net memang men­ja­di salah satu alter­natif bagi kalan­gan aktivis pers maha­siswa yang ter­ob­sesi untuk mem­pro­duk­si karya-karya jur­nal­is­tik. Sejauh ini obsesi itu tidak ter­salur lan­taran ter­batas­nya dana pro­duk­si. Sehing­ga ser­ing ter­ja­di artikel sudah berkumpul tetapi tidak bisa dic­etak kare­na tidak ada dana. Inter­net juga bisa mem­beri kepuasan tersendiri bagi para aktivis pers maha­siswa, kare­na karyanya san­gat mungkin diba­ca oleh banyak orang. Den­gan media online, san­gat mungkin slo­gan dit­ulis sendiri dan diba­ca sendiri akan tidak berlaku lagi.

Untuk men­gatasi masalah ini, maka lem­ba­ga-lem­ba­ga pers maha­siswa yang ada bisa secara bersama-sama mem­bu­at satu situs yang berisi ten­tang beri­ta kam­pus. Den­gan banyaknya lem­ba­ga yang ter­li­bat dalam pengisian situs terse­but, maka updat­ing beri­ta bisa ter­ja­ga. Masalah­nya apakah lem­ba­ga-lem­ba­ga pers maha­siswa mau secara bersama-sama mem­ban­gun satu situs web buat menyalurkan beri­ta-beri­ta kam­pus yang mere­ka bikin sendiri?

Biaya pro­duk­si untuk mem­bu­at media online boleh dibi­lang murah meskipun hal ini tidak sepenuh­nya benar. Bila selu­ruh anggaran pro­duk­si itu ditang­gung sendiri mengin­gat banyaknya pihak yang menawarkan serv­er gratis. Namun, namanya juga barang gratis ten­tu saja kual­i­tas­nya tidak ter­jamin. Kare­na itu, kalau ingin mem­ban­gun situs web apala­gi untuk news online maka masalah ini harus diper­hatikan. Ter­jamin kon­ti­nu­itas dan ter­hin­dar dari anca­man hack­er.

Upaya berfikir agar dap­at ter­salurkan pada orang lain mem­bu­tuhkan per­juan­gan. Per­juan­gan dalam mene­gakkan kead­i­lan diper­lukan wadah untuk menam­pung semua pemiki­ran. Berfikir kri­tis san­gat­lah diper­lukan untuk mene­gakkan kead­i­lan. Kare­na seba­gai pen­ga­jaran apa arti sebuah pene­gak kebenaran. []

Ania

penyu­ka sas­tra, trav­el­ing, berkhay­al, pengge­mar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).