Hidup bukan­lah apa den­gan apa yang dip­il­ih. Tetapi, hidup bermuara dalam masa kea­paan yang ter­pil­ih. Boleh saja angin mengisi esok­mu. Boleh saja sejuk mengisi lalu­mu. Cuman, tepat pada men­ga­pa kita ada di keber­adaan ini.

Pejalan ruang ham­pa tak semu­dah meni­up­kan napas pada sang man­tan. Lebih dari hal terse­but. Ia mele­bur bagaikan detik yang tak dikua­sai jarum. Hing­ga lahap pada masa-masa kepedulian.

Lentara, tak hanya menghias. Pada langkah­nya ter­da­p­at rapalan jagad yang meny­atu pada jiwa. Men­em­bus keti­dak­sadaran den­gan har­moni sayang yang sem­pur­na. Nah, sedan­gkan kita apakah sempurna?

Lentera, menanyakan sebuah ungkap cahaya di dalam pur­na kesang­gu­pan hati. Iya, memer­cayai sebuah keber­ta­hanan yang lupus pada ketaku­tan tersebut.

Hanya ada ketaku­tan yang tidak dike­tahui saja itu dungu.

Lentera, bercum­bu den­gan masa dan ruang seba­gai pelengkap kemes­raan mere­ka. Bila tak sang­gup, ia putuskan pada angkasa yang mem­ben­tang luas. Lewat udara ia lampiaskan kecemburuannya.

Lentera, sebuah kebin­gun­gan yang men­gaung seper­ti raja hutan yang mur­ka. Melebi­hi sam­baran petir di gunung Himalaya. Tak ter­dirikan pada defin­isi kenaifan. Sebab, laut masih tak kun­jung surut.

Lentera, menya­pa pada seti­ap kenan­gan yang dilu­paan. Ia sung­guh bijak, yang kadang penye­but lentera itu sendiri, tak sebi­jak kenan­gan yang dihadirkan. Ia ter­bang meng­ga­pai udara kasih pada cin­ta untuk sayang …

Sebuah langkah keheningan yang dira­sukkan pada racun kasih di dalam can­du, lentera.…

Isro­fil Amaryk

Seo­rang yang Ingin Bercan­da Serius Ten­tang Gatra Tuhan”