Judul buku : Perem­puan yang Meme­san Takdir
Penulis : W. Sanavero
Pener­bit : Mojok
Cetakan : Per­ta­ma, Feb­ru­ari 2018
Tebal : VI + 102 hala­man
ISBN : 978–602-1318–65‑2

Buku dapet beli bos!

Kita orang-orang tua tidak bisa meli­hat pin­tu yang dite­mukan oleh mri­pat anak-anak kita. Sebab kita tidak mam­pu men­ja­di mere­ka, dan mere­ka jan­gan sam­pai men­ja­di kita. Rentang wak­tu anak-anak kita bukan­lah rentang wak­tu kita. Enti­tas dan medan juang mere­ka bukan­lah enti­tas dan medan juang kita …” Emha Ain­un Nadjib.

Perem­puan dan kehidu­pan­nya meru­pakan bahasan yang dap­at memukau banyak orang. Berba­gai polemik dan stig­ma yang menye­limu­ti perem­puan men­ja­di top­ik menarik untuk diperbin­cangkan. Perem­puan dalam lingkun­gan patri­arkal dike­nalkan seba­gai sosok yang lemah, emo­sion­al, dan memi­li­ki der­a­jat di bawah laki-laki. 

Sehing­ga perem­puan memi­li­ki batasan-batasan untuk bertin­dak, berper­i­laku, dan mengek­spre­sikan keing­i­nan­nya. Berba­gai stig­ma pun muncul yang men­gak­i­batkan hilangnya kebe­basan perem­puan dalam men­jalani takdir hidupnya.

Perem­puan yang Meme­san Takdir” menyuguhkan kumpu­lan prosa yang menarasikan perem­puan dalam menye­la­mi takdirnya dari berba­gai sudut pan­dang. Men­guak sisi lain perem­puan yang berani melawan kon­struk sosial ben­tukan masyarakat. Kese­muanya dis­ajikan dalam 16 prosa yang telah dike­mas den­gan elok oleh W. Sanavero.

Prosa per­ta­ma dibu­ka den­gan “Kata-Kata dan Cer­min”. Mengisahkan perem­puan man­tan mod­el yang patah hati. Sela­ma tiga ratus hari ia hidup dalam kesendiri­an dan kesun­yian menikmati getirnya kerind­u­an. Tak puas den­gan takdir dalam hidup­nya, ia men­cip­takan duni­anya sendiri beser­ta takdir yang juga dibu­at­nya sendiri. Ia men­cip­takan tokoh-tokoh yang diang­gap seba­gai anak-anaknya. 

Anak-anak ini­lah yang men­e­mani kesun­yian­nya, men­ja­di teman bicaranya sela­ma tiga ratus hari. Hing­ga akhirnya muncul kebera­ni­an­nya untuk kem­bali menam­pakkan diri dan mengabaikan luka di hatinya yang masih mem­bekas. Semua kare­na anak-anaknya, kare­na tulisan­nya. Den­gan menulis ia tak hanya mam­pu menorehkan takdir dalam tokohnya, namun dalam hidup­nya pula.

Aku ingin keper­awananku kem­bali, per­ta­ma. Selebi­h­nya aku ingin men­ja­di ibu, ked­ua.” (hal. 13) Dua kali­mat per­ta­ma yang dit­uliskan dalam prosa ked­ua yang berjudul “Bun­ga Aster”. Bun­ga aster yang selalu basah keti­ka hujan menggam­barkan tokoh Daisy atau biasa dipang­gal Desi. Gadis desa yang telah kehi­lan­gan keper­awanan­nya. Di mana dalam masyarakat keper­awanan diang­gap seba­gai mahko­ta berhar­ga bagi perempuan.

Sia­pa yang tak bisa men­ja­ganya sam­pai pernika­han dialah perem­puan terku­tuk yang hina. Di desanya ham­pir semua perem­puan adalah jan­da, dan para pemu­da lebih memil­ih menikahi jan­da ketim­bang perem­puan yang telah hilang keperawanannya. 

Mes­ki keper­awanan Daisy tak bisa kem­bali, namun Daisy akan bisa men­ja­di seo­rang ibu. Sebab ia akan menikah den­gan Lanang, yang terny­a­ta seo­rang duda.

Berikut­nya saya tak akan mem­ba­has prosa keti­ga. Namun lang­sung mel­on­cat ke prosa nomor sem­bi­lan. Bagi saya sendiri prosa ini meru­pakan prosa pal­ing menarik dari keli­ma belas prosa lain­nya. Berjudul “Kopi Perempuan”. 

Di mana seo­rang tokoh yang belakan­gan saya ketahui adakah laki-laki berte­mu den­gan perem­puan di sebuah kedai kopi. Perem­puan yang benar-benar apa adanya, bersikap masa bodo, dan ‘bebas’ dari nilai keperem­pua­nan yang dija­ga oleh seba­gian besar perempuan. 

Tan­pa malu-malu ia hujan-hujanan di jalan depan kedai. Kemu­di­an den­gan paka­ian yang masih basah masuk ke dalam kedai, lang­sung duduk di meja si laki-laki dan meme­san menu Lady Caf­fee yang diu­cap­kan meng­gunkan bahasa Indone­sia ‑men­ja­di ‘Kopi Perempuan’-.

Si laki-laki begi­tu her­an men­e­mui perem­puan seper­ti dia. Ter­lebih keti­ka ia men­gelu­arkan kotak rokok yang kemu­di­an dis­eodor­kan ke depan­nya. Si laki-laki yang tidak merokok tak bisa mena­han ambisi untuk bertanya. “… men­ga­pa kamu memi­li­ki kotak rokok itu? Ah, mak­sud­ku men­ga­pa kau merokok? Perem­puan, kebanyakan san­gat men­ja­ga nilai.” (hal. 56) 

Memang perem­puan yang merokok selalu men­da­p­at stig­ma dari masyarakat. Mere­ka diiden­tikkan den­gan pelacur, perem­puan bar, atau perem­puan yang hobi nongkro­ng dan pulang malam. 

… Sam­pai berte­mu, jam sekian di sini. Aku selalu pesan Kopi Perem­puan. Dan, jika kamu seo­rang penulis, tulis saja aku perem­puan per­okok yang men­da­p­atkan izin Tuhan.” (hal. 58) Ucap si perem­puan yang diirin­gi kepergiannya. 

Uca­pan ter­akhir itu mem­bu­at si laki-laki kem­bali ke kedai keesokan harinya. Begi­tu pun esoknya lagi. Namun perem­puan yang ditung­gun­ya tak per­nah nam­pak kem­bali lagi.

Selan­jut­nya “Tan­pa Ruang” men­ja­di prosa keti­ga belas dalam buku ini. Mencer­i­takan nasib perem­puan Jawa yang tak bisa lep­as dan bebas dari kebu­dayaan yang telah men­darah dag­ing. “Keti­ka pagi, perem­puan-perem­puan Jawa harus ban­gun sebelum mata­hari ter­bit. Jika tidak, mere­ka hanya akan men­ja­di perem­puan buah bibir tetang­ga dalam sekali belan­ja, bahkan beber­a­pa men­ja­di aib ibu mer­tua …” (hal. 75) 

Di sini jelas digam­barkan bah­wa men­ja­di seo­rang perem­puan harus­lah mematuhi nilai dan nor­ma yang berlaku dalam masyarakat. Ser­ta siap sedia melayani sua­mi kapan pun sua­mi mau. 

Dalam prosa “Tan­pa ruang” menggam­barkan bah­wa tak ada lagi ruang bagi perem­puan untuk kenya­manan dan kebe­basan­nya. Teruta­ma bagi mere­ka yang telah bersua­mi. Ham­pir selu­ruh hidup­nya harus digu­nakan untuk mengab­dikan diri kepa­da suaminya. 

Mulai harus ban­gun pagi untuk menyi­ap­kan kopi dan sara­pan. Bahkan keti­ka malam masih harus meladeni has­rat pur­ba suaminya. Tak peduli ia sedang lelah atau tidak. Ter­lebih bagi perem­puan yang juga memi­li­ki peker­jaan selain seba­gai ibu rumah tang­ga. Men­jadikan beban gan­da baginya. Belum lagi keti­ka sang sua­mi tidak puas den­gan pelayanan­nya. Den­gan dasar si sua­mi memi­li­ki hier­ar­ki lebih ting­gi dari pada istrinya, ia akan seme­na-mena menyalahkan istri. Mes­ki hanya ketele­do­ran kecil yang tak disengaja.

Kon­struk budaya yang terke­san ‘mem­bat­asi’ ger­ak permpuan juga dicer­i­takan dalam prosa berikut­nya “Run­duk”. Seo­rang perem­puan berdarah biru yang pulang dari per­an­tauan ter­peran­gah meli­hat keadaan lingkun­gan­nya. “Blo­ra, tang­gal demikian tahun sekian.” (hal. 79) Perem­puan-perem­puan ber­jalan meng­gu­nakan lutut dan kepala yang menun­duk, melak­sanakan rit­u­al-rit­u­al sim­bo­lik, mem­bu­at ramu-ramuan tra­di­sion­al, dan men­ge­nakan konde. 

Bahkan tak hanya perem­puan ketu­runan Jawa, namun ia juga men­da­p­ati perem­puan ketu­runan Belan­da yang sejak kecil ting­gal di sana juga melak­sanakan tra­disi terse­but. Melestarikan budaya leluhur di ten­gah ter­jan­gan arus modernisasi. 

Ia mem­bayangkan beta­pa perem­puan-perem­puan seper­ti mere­ka tak tahu banyak ten­tang dunia luar. Mere­ka ter­alien­asi, terku­rung dalam ranah domestik. Masih dipegang teguh­nya kebu­dayaan dan adat isti­a­dat men­jadikan sub­or­di­nasi ter­hadap perem­puan terus tum­buh den­gan suburnya.

Seti­daknya itu­lah cup­likan lima prosa yang ter­da­p­at dalam buku ter­bi­tan Mojok ini. Keli­manya memang tak dap­at mewak­ili keselu­ruhan isi buku. Sebab seba­gian prosa men­gan­dung mak­na yang per­lu penaf­sir­an kritis. 

Seti­daknya dari lima prosa terse­but dap­at dike­tahui bagaimana seti­ap tokoh menyikapi takdir dalam kehidu­pan mere­ka. Cara tokoh menaf­sirkan kehidu­pan dari berba­gai sisi, baik cin­ta, pernika­han, kelu­ar­ga, budaya, dan hun­gan den­gan Tuhan. 

Sete­lah melalui pere­nun­gan pan­jang, saya sedik­it men­er­ka-ner­ka men­ge­nai judul buku sete­bal 108 hala­man ini. Men­ga­pa Sanavero mem­berinya judul Perem­puan yang Meme­san Takdir? 

Jika kita cari dari enam belas prosa di dalam­nya, tidak ada yang berjudul demikian. Hing­ga saya berkes­im­pu­lan bah­wa Sanavero mengam­bil inti keselu­ruhan ceri­ta dalam kumpu­lan prosanya. “Perem­puan yang Meme­san Takdir” adalah gam­baran beta­pa perem­puan ingin memil­ih garis hidup­nya sendiri. 

Namun bukan berar­ti tidak ter­i­ma den­gan takdir pem­ber­ian Tuhan. Mak­sud­nya memil­ih men­jalani hidup den­gan men­ja­di diri mere­ka sendiri. Diri perem­puan yang alami­ah. Men­ja­di manu­sia seu­tuh­nya. Bukan manu­sia den­gan takdir atau kodrat ben­tukan budaya masyarakat. Yang mana jadi peng­ha­lang hak hidup mereka. 

Sejauh yang saya tahu bah­wa sela­ma ini kehidu­pan perem­puan selalu dibe­leng­gu den­gan nilai-nilai. Baik dari segi aga­ma maupun budaya. Namun saya rasa nilai-nilai ‘keperem­pua­nan’ dari segi budaya banyak yang kurang rel­e­van jika dit­er­ap­kan dalam kehidu­pan perem­puan masa kini. Sebab kehidu­pan sekarang telah ter­lam­pau jauh dari kehidu­pan leluhur yang men­cip­takan kebu­dayaan tersebut. 

Di mana kebu­dayaan terse­but jus­tru akan mem­bat­asi ranah ger­ak perem­puan dan men­jadikan mere­ka makhluk inferior. 

Melalui buku bersam­pul kun­ing yang berilus­trasikan seo­rang perem­puan, Sanavero juga menggam­barkan hiruk pikuk per­juan­gan perem­puan dalam men­jalani garis hidup­nya. Men­je­laskan beta­pa tang­guh mere­ka dalam melawan budaya kaum patriarkal. 

Menun­jukkan bah­wa perem­puan bukan kaum yang lemah dan bermu­tu ren­dah. Tidak hanya bisa hidup di bawah takdir yang telah dipesankan, namun mam­pu memil­ih jalan­nya sendiri untuk men­ca­pai takdir ter­baik dalam hidupnya. []