Judul Buku     : Ceri­ta Bumi Tahun 2683

Penulis            : Aesna

Pener­bit         : Mojok

Ter­bit             : 2018 

Hala­man         : 96

Ego­isme mem­bu­at semua orang ingin ter­li­hat pal­ing sig­nifikan di antara kalan­gan mere­ka sendiri. Hanya burung-burung yang cic­i­tan­nya kecil sekali –kare­na takut keber­adaan mere­ka ketahuan oleh manu­sia– yang dap­at mence­gah niatku untuk mem­inta kepa­da Tuhan agar aku (bumi) diledakkan saja dan dimus­nahkan dari tata surya. Seti­daknya, itu akan mem­bu­at peruba­han besar dalam buku sejarah umat manu­sia.” ‑Aes­na-

Bumi ialah tem­pat ter­jadinya inter­ak­si dan hubun­gan antara makhluk hidup yang san­gat kom­pleks. Meliputi rantai makanan dan eko­sis­tem makhluk hidup, yakni manu­sia, hewan, tum­buhan sam­pai den­gan spe­si­fik teren­dah dalam uru­tan ilmu tak­sono­mi. Jika salah satu kom­po­nen terse­but mus­nah, maka kese­im­ban­gan ten­tu akan ter­gang­gu teruta­ma kehidu­pan yang bera­da di bumi. Narasi kepilu­an bumi berhasil dituangkan dalam ben­tuk nov­el oleh Aes­na, maha­siswa Juru­san Far­masi di Uni­ver­si­tas Muham­madiyah Surakar­ta. Nov­el terse­but berjudul “Ceri­ta Bumi Tahun 2683” yang diter­bitkan bulan Okto­ber 2018 lalu oleh pener­bit Mojok.

Buku “Ceri­ta Bumi Tahun 2683” mengisahkan bagaimana keadaan bumi yang mer­ana dan rusak parah. Hutan di muka bumi diratakan oleh manu­sia, bahkan hutan Afri­ka yang berfungsi seba­gai rim­ba ked­ua di bumi tidak luput dari ker­aku­san manu­sia. Hutan terse­but disu­lap men­ja­di rumah bor­dil dan taman budaya sek­su­al seba­gai tem­pat oknum manu­sia memu­ja sek­su­al­i­tas dan matinya nilai-nilai kemanu­si­aan. Oleh sebab itu, bangsa aves yang masih berta­han hidup memil­ih berim­i­grasi ke hutan Kali­man­tan, satu-sat­un­ya jeng­gala yang masih tersisa.

Keadaan terse­but san­gat rel­e­van den­gan keadaan sekarang, kita meli­hat indus­tri sudah berkem­bang pesat pas­carev­o­lusi indus­tri tahun 1750. Saat ini sudah mema­su­ki teknolo­gi 4.0 yang ditandai den­gan muncul­nya inter­net. Perkem­ban­gan teknolo­gi mem­pun­yai pen­garuh besar bagi masyarakat. Teknolo­gi dicip­takan untuk mem­per­mu­dah manu­sia menye­le­saikan peker­jaan­nya, tapi jika tidak digu­nakan seba­gaimana mestinya bukan tidak mungkin teknolo­gi itu jus­tru akan merugikan. Sum­ber daya dikeruk sebanyak-banyaknya tan­pa peduli aki­bat yang tim­bul sesudahnya. 

Makhluk hidup mulai ter­pec­ah belah. Den­gan sendirinya, mere­ka mem­bu­at komu­ni­tas mas­ing-mas­ing. Sulit bagi Bur­bur mencer­na apa yang ter­ja­di, pada­hal ia telah mem­pela­jari semua ensik­lo­pe­dia dari selu­ruh dunia. Buku-buku itu hanya mem­predik­si bah­wa bumi tahun dua ribuan ke atas akan men­gala­mi ben­cana-ben­cana besar. Ben­cana itu seper­ti kejatuhan mete­or seuku­ran seten­gah kali bulan, air laut naik lima meter yang menye­babkan beber­a­pa pulau tengge­lam, dan cahaya yang bakal semakin nakal. Namun, mengin­gat kemam­puan manu­sia salam lini masa teknolo­gi, bur­bur yakin mere­ka akan dap­at mengatasinya.

Suara mobil ter­bang melin­tas. Suara desin­gan pir­ing ter­bang berte­knolo­gi sen­trifu­gal ter­den­gar, dis­er­tai den­gan laser-laser ter­pan­car dari daratan. Lalu dari cahaya-cahaya laser makanan-makanan ditrans­fer ke plan­et lain guna mem­bu­at kehidu­pan baru.” (hal. 14)

Namun, agaknya hara­pan­nya sia-sia, dari narasi itu bisa digam­barkan beta­pa cang­gi­h­nya teknolo­gi pada masa itu. Manu­sia benar-benar diman­jakan, tetapi di sisi lain keluhan tokoh Bur­bur seakan mem­ber­i­tahu pem­ba­ca agar manu­sia tidak hanya memikirkan kepentin­gan prib­a­di dan memu­ja teknolo­gi, sebab men­ja­ga bumi supaya terus lestari adalah tugas bersama.

Aes­na, secara tak lang­sung men­ga­jak pem­ba­ca larut dalam peri­s­ti­wa demi peri­s­ti­wa melalui per­juan­gan Pem­bawa Kabar, Bur­bur, Rin­dang dan kawan-kawan yang penuh per­go­lakan di seti­ap judul ceri­ta. Ter­lebih keti­ka berhada­pan den­gan makhluk pal­ing rakus, yakni manu­sia. Buku ini ter­da­p­at lima belas judul ceri­ta yang diper­ankan oleh Bumi, Pem­bawa Kabar, Bur­bur, dan Rin­dang. Pem­bawa Kabar adalah salah satu tokoh yang men­ja­di pemimpin bangsa burung, ia meman­du per­jalanan bangsa burung untuk mem­ban­gun per­ad­a­ban baru. Ia selalu men­da­p­atkan kabar pent­ing untuk dis­am­paikan kepa­da bangsa burung.

Ada juga Bur­bur, burung Kasum­ba yang diang­gap seba­gai ilmuwan. Ia men­gala­mi trau­ma pas­ca peperan­gan ter­hadap manu­sia lima puluh tahun yang lalu. Peri­s­ti­wa itu yang mem­bu­at kelu­ar­ganya dan semua burung sejenis­nya mati. Itu­lah sebab­nya Bur­bur selalu berdu­ka dan putus asa. Bubur dicer­i­takan seba­gai kaum intelek kare­na gemar mem­ba­ca. Ia menge­tahui infor­masi ten­tang banyak hal dari ensik­lo­pe­dia dari selu­ruh dunia. Kelak salah satu buku yang ia baca ten­tang leg­en­da men­ge­nai peruba­han wujud burung akan ter­buk­ti sete­lah keper­gian burung Albatros.

Burung Alba­tros, jenis burung yang sudah diang­gap punah dan digadang-gadang seba­gai burung suci sekali­gus burung leg­en­daris yang ter­catat dalam kitab suci bangsa burung. Rin­dang, begi­tu namanya. Ia meru­pakan burung beti­na yang san­gat kuat, sayap­nya bero­tot dan kokoh sehing­ga dap­at men­cabut akar tum­buhan yang besar. Oleh kare­na itu bangsa burung menyukainya ter­ma­suk Bur­bur dan Pem­bawa Kabar. Rin­dang seperi mag­net yang mengem­ba­likan seman­gat bangsa burung di ambang kehan­cu­ran yang sedang mere­ka hadapi. 

Bangsa aves ten­gah mem­ban­gun per­ad­a­ban kem­bali den­gan memindahkan tum­buhan dari hutan Kali­man­tan, sete­lah semua habi­tat dirusak oleh manu­sia. Bumi di masa ini, tahun 2683 men­gala­mi kerusakan parah. Tanah hijau men­ja­di coke­lat dan ger­sang dilalap api yang seme­na-mena. Entah itu ulah manu­sia ataupun kare­na bumi tidak tahan den­gan panas­nya mata­hari yang menyen­gat. Hutan-hutan itu diratakan seba­gai dal­ih manu­sia mem­ban­gun per­ad­a­ban mod­ern. Gedung ting­gi diban­gun, teknolo­gi cang­gih dicip­takan seper­ti manu­sia tidak butuh lagi den­gan sum­ber daya alam. Keny­ataan bah­wa teknolo­gi cang­gih apapun jika menyamp­ingkan kelestar­i­an lingkun­gan itu akan merugikan makhluk hidup lain. Spe­sies tum­buhan punah, hewan kehi­lan­gan habi­tat­nya pun juga yang sedang diala­mi oleh Bur­bur dan kawan-kawan.

Bangsa burung men­e­mukan seman­gat baru dari sosok Rin­dang. Namun sayangnya kegem­bi­raan itu tidak berlang­sung lama. Seo­rang pem­bu­ru telah mele­satkan pelu­ru tepat men­ge­nai ked­ua bola mata Rin­dang, lan­tas men­gak­i­batkan tubuh­nya ter­sungkur ke tanah. Tidak bera­pa lama tubuh itu men­gelu­arkan seberkas cahaya dan berubah men­ja­di sosok perem­puan yang san­gat can­tik. Sia­pa sang­ka bah­wa sebe­tul­nya Rin­dang adalah dewi burung yang diu­tus men­ja­di penye­la­mat bangsa burung. 

Pelu­ru mey­ombongkan keber­hasi­lan yang dap­at dica­pai otak manu­sia den­gan adanya per­ad­a­ban-per­ad­a­ban pesat, alat-alat cang­gih dan kehidu­pan yang ser­ba instan. Tidak per­lu lagi pohon dan bun­ga ala­mi, cukup digan­ti den­gan bun­ga-bun­ga plas­tik tan­pa harus repot mer­awat dan menyi­ram­nya. Bahkan cic­i­tan burung adalah hal sia-sia yang akan meng­gang­gu wak­tu isti­ra­hat­nya. Seo­rang pem­bu­ru yang mem­perke­nalkan namanya seba­gai pelu­ru itu lan­tas memak­sa Rin­dang agar mencer­i­takan raha­sia bangsa burung den­gan men­jamin kese­la­matan­nya. Namun, pada akhirnya Pelu­ru jus­tru mele­cehkan Rin­dang seba­gai perempuan.

Kesedi­han dan kemara­han bangsa burung ter­lebih Bur­bur bera­da dalam pun­caknya keti­ka manu­sia rakus berna­ma Pelu­ru itu mer­am­pas kesu­cian dewi mere­ka den­gan cara pal­ing tidak manu­si­awi. Mema­sukkan obat bius buatan manu­sia mod­ern yang men­gak­i­batkan tubuh Rin­dang tam­pak lebih tua. Kulit yang sem­u­la sehat bugar men­ja­di kisut dan tam­pak lebih tua. Keku­atan­nya pun melemah per­sis nenek-nenek yang tidak ber­daya. Keti­dak­ber­dayaan itu mem­bu­at Pelu­ru semakin liar menikmati tubuh Rindang. 

Bangsa burung yang tidak tahan meli­hat tingkah manu­sia yang sudah seper­ti binatang, mem­ben­tuk for­masi dan men­jatuhkan batu besar men­ge­nai kepalanya. Pem­bawa Kabar ter­cengang terny­a­ta Pelu­ru juga berasal dari bangsa burung yang reinkar­nasi men­ja­di manu­sia, tetapi ia tidak lagi peduli den­gan bangsa burung. Sete­lah keja­di­an itu, tepat esok harinya bola api mem­bakar selu­ruh hutan ter­akhir Kali­man­tan dan menan­dakan berakhirnya kehidu­pan flo­ra di muka bumi.

Pada intinya, buku ini men­gangkat tema envi­ron­men­tal­ist (berke­naan den­gan lingkun­gan) dan  memi­li­ki kete­bal­an men­ca­pai 96 hala­man saja. Namun, jan­gan salah, den­gan jum­lah hala­man yang cukup ringkas ini, per­lu per­ha­t­ian ekstra untuk mema­ha­mi seti­ap kata yang dit­uliskan dalam ceri­ta terse­but. Penulis meny­isip­kan kata-kata yang memang jarang kita jumpai seper­ti ‘’fer­omon’’, ‘’solilokui’’, dan ‘’intron’’. Hal ini dimungkinkan seba­gai pen­garuh latar belakang penulis sendiri seba­gai akademis yang meneku­ni dunia far­masi. Selain itu, hal ini bisa juga berkai­tan den­gan kege­maran­nya dalam ben­tuk fabel yang terin­spi­rasi oleh “Ani­mal Farm” karya George Well. 

Ide ceri­ta seru­pa yang juga mengam­pa­nyekan ten­tang kelestar­i­an lingkun­gan hidup per­nah dirilis tahun 2008 dalam film ani­masi yang dipro­duk­si oleh Pixar Ani­ma­tion Stu­dios den­gan judul “WALL.E”. Film ani­masi yang dis­u­tradai oleh Andrew Stan­ton ini mencer­i­takan ten­tang rusaknya bumi aki­bat sam­pah-sam­pah elek­tron­ik dari perusa­haan rak­sasa Buy N Large (BnL) yang men­gua­sai per­erkono­mi­an di bumi, ter­ma­suk pemer­in­ta­han. Sam­pah-sam­pah itu men­gan­cam kelang­sun­gan hidup manu­sia. CEO BnL, Shel­by Forth­right mem­bu­at arma­da kapal luar angkasa ekseku­tif yang dise­but Axiom untuk men­gangkut manu­sia agar men­gungsi di plan­et buatan. Kapal itu menye­di­akan seti­ap keper­lu­an manu­sia, dan dilen­gakapi den­gan robot-robot yang semuanya ber­jalan secara otomatis. 

Sedang di bumi, hanya ter­sisa satu robot yang berna­ma WALL.E. Ia dipro­gram untuk mem­ber­sihkan sam­pah-sam­pah di bumi. Sela­ma ker­janya, WALL.E men­e­mukan sebuah bib­it tum­buhan, yang kemu­di­an ditanam dalam sebuah sep­a­tu bekas. Sete­lah bib­it tum­buhan berhasil dima­sukkan ke dalam holo­gram detec­tor, pesawat Axiom menu­ju ke bumi den­gan kecepatan cahaya. Manu­sia dan robot bek­er­ja sama dalam mem­per­bai­ki kehidu­pan di Bumi. Seir­ing ber­jalan­nya wak­tu, bumi kem­bali nor­mal seper­ti sedi­akala yang divi­su­alkan pada luk­isan-luk­isan yang ter­da­p­at pada kred­it penut­up film ani­masi ini.

Keja­di­an yang digam­barkan pada ked­ua karya terse­but mengin­gatkan kita akan banyak hal men­ge­nai bumi, ter­ma­suk jika kita mengabaikan lingkun­gan sek­i­tar. Hal ini juga menan­dakan, bah­wa masih ada kepedu­lian ter­hadap lingkun­gan yang dicer­minkan lewat karya mere­ka. Namun, kesadaran akan pent­ingnya men­ja­ga lingkun­gan seharus­nya dim­i­li­ki semua orang. Jika tidak, aki­bat lebih buruk dari rusaknya lingkun­gan hidup bukan­lah hal yang tidak mungkin terjadi.

Pada akhirnya, beta­pa pula makin cang­gih teknolo­gi merekah, jika pen­ge­naan­nya melen­ceng, maka dunia bisa kucar-kacir dibu­at­nya. Seba­gaimana yang ter­surat di atas, teknolo­gi maju dan berkem­bang bertu­juan untuk mem­ban­tu aktiv­i­tas manu­sia men­ja­di lebih mudah dan seder­hana. Namun, jika alter­natif itu kemu­di­an dis­ala­har­tikan dan merugikan berji­bun manu­sia, maka ada yang tak beres di sini. 

Ceri­ta Bumi Tahun 2683” coba mem­beri gam­baran, sekali­gus menyindir kuat ten­tang laju teknolo­gi yang dis­alah­fungsikan. Den­gan poli­tik, ego dan keser­aka­han seo­rang tokoh, sekelom­pok manu­sia mam­pu mem­beran­gus bumi men­ja­di dataran yang nahas dan ger­sang. Sekali lagi, kiranya pem­ba­ca harus cukup bijak jika kemu­di­an coba menye­ja­jarkan hal ini den­gan gen­car­nya upaya pemer­in­tah mena­pa­ki rev­o­lusi indus­tri 4.0. Bah­wasan­nya,  mer­am­bah ke dalam dunia teknolo­gi akan mem­buahkan hasil yang posi­tif sela­ma pelaku cer­das dan paham akan por­si penggunaannya.[]