Dimensipers.com — Tela­ga Buret meru­pakan salah satu tela­ga yang ter­letak di Desa Sawo, Keca­matan Cam­pur­darat, Kabu­pat­en Tulun­ga­gung. Tela­ga Buret men­ja­di des­ti­nasi wisa­ta yang ter­da­p­at kawanan monyet, rusa, dan pohon lang­ka seper­ti gan­tung pucung dan munung. Keis­time­waan lain dari tela­ga ini adalah airnya yang tidak per­nah men­ger­ing meskipun di musim kema­rau. Oleh kare­na itu masyarakat sek­i­tar meman­faatkan­nya untuk memenuhi kebu­tuhan sehari-hari.

Kelom­pok Sadar Wisa­ta (Pok­dar­wis) setem­pat mengge­lar Fes­ti­val Kenduri Bonorowo dalam rang­ka meme­ri­ahkan Hari Ulang Tahun (HUT) Tulun­ga­gung ke-814.

Untuk meme­ri­ahkan HUT Tulun­ga­gung, buk­ti kami dan beber­a­pa ele­men masyarakat yang juga ikut peduli dalam HUT Tulun­ga­gung,” ungkap Kar­si selaku Ket­ua Pok­dar­wis Tela­ga Buret sekali­gus tuan rumah acara.  Kar­si menam­bahkan jika fes­ti­val terse­but juga diban­tu oleh Brigade Nusan­tara Tulun­ga­gung. Fes­ti­val ini dis­e­leng­garakan sela­ma tiga hari bertu­rut-turut, mulai dari tang­gal 22–24 Novem­ber 2019

Rangka­ian acara dim­u­lai pada Jumat, (22/11/2019). Arak-arakan ben­dera mer­ah putih sep­a­n­jang 814 meter oleh siswa di setem­pat dan masyarakat sek­i­tar, seba­gai pem­bu­ka acara fes­ti­val. Arak-arakan dim­u­lai dari Bal­ai Desa Gedan­gan sam­pai Tela­ga Buret seba­gai pusat acara. Kemu­di­an dilan­jutkan den­gan berba­gai rangka­ian acara lain­nya seper­ti pam­er­an budaya dan sejarah, pam­er­an pro­duk wisa­ta lokal, page­laran seni tra­di­sion­al, dan juga bedah sejarah.

Pada Ming­gu, (24/11/2019) dige­lar diskusi bedah sejarah yang men­gusung tema “Per­ad­a­ban Tepi­an Rawa Pur­ba Tulun­ga­gung Sela­tan” yang dipan­tik oleh Dwi Cahy­ono selaku peng­giat sejarah dan arke­olog dari Malang. Dalam diskusi ini, Dwi mem­ba­gi materi diskusi men­ja­di dua, per­ta­ma lingkun­gan dan ked­ua budaya yang ada pada zaman dahulu. 

Pada masa adanya rawa pur­ba, Dwi men­gatakan jika kurang lebih ter­da­p­at 4 sub area rawa di Tulung­gung sela­tan. Par­ta­ma pal­ing sela­tan, yaitu Rawa Bedalem atau Rawa Ben­ing. Nama Bedalem berasal dari nama pulau tem­pat rawa itu bera­da. Jejak sejarah­nya beru­pa makam yang berna­ma Sentono Bedalem.

Rawa yang ked­ua di daer­ah Cam­pur­darat, di sana tanah­nya sedik­it men­jorok ke air, sehing­ga keti­ka hujan turun daratan ini akan menghi­lang. Konon daer­ah perte­muan terse­but  dise­but Rawa Cam­pur. Cam­pur yang berar­ti cam­pu­ran antara wilayah perairan den­gan wilayah daratan

Keti­ga adalah Rawa  Gesikan yang berdekatan den­gan daer­ah Boy­olan­gu. Nama Gesikan meru­pakan var­i­an dari kata gasek yang memi­li­ki arti tem­pat yang ker­ing tan­pa genan­gan air. Pada masa lalu keti­ka rawa-rawa ini masih ada, men­ja­di tem­pat berlabuh­nya per­ahu-per­ahu dan kemu­di­an hari tem­pat itu diju­lukan Pelabuhan Rawa. 

Keem­pat, Rawa Gelap. Nama rawa ini ter­catat dalam Topografi tahun 180-an. Topografi ini sekarang ter­sim­pan di per­pus­takaan nasion­al. Menu­rut penga­matan Dwi, Rawa Gelap ini masih ada kai­tan­nya den­gan daer­ah Lem­bu Peteng. 

Gelap bersi­nomim den­gan kata peteng. Yang menarik ada satu desa dan satu jem­bat­an yang kita kenal den­gan sebu­tan lem­bu peteng yang berasal dari kata peteng yang menun­juk pada rawa yang pal­ing utara (rawa gelap).”terang Dwi.

Keu­nikan dari keem­pat Rawa Pur­ba terse­but adalah lokasinya yang bera­da di ten­gah-ten­gah daratan, bukan di daer­ah yang dekat den­gan per­arairan maupun daer­ah pesisiran.

Rawa Tulun­ga­gung itu dise­but rawa jero kare­na bera­da di daratan. Bukan rawa yang ada di daer­ah pesisir­an, biasanya rawa-rawa  itu ada di darah pesisir­an atau dise­but sag­marin (per­al­i­han daratan kelaut) bukan kawasan itu, makin ke boy­olan­gu lebih mera­suk kedaratan. Tepat dise­but rawa jero atau ped­ala­man,” tam­bah­nya.

Selan­jut­nya Dwi mem­ba­has men­ge­nai tinggalan budaya pada masa lam­pau di Tulun­ga­gung. Seper­ti hal­nya pen­e­muan pemuki­man dalam gua, yang meru­pakan buk­ti kebu­dayaan berbu­ru dan mengumpulkan makanan. Kemu­di­an pen­e­muan fos­il-fos­il manu­sia seba­gai buk­ti adanya zaman perundagian. 

Selan­jut­nya Dwi men­je­laskan bah­wa, Ada pening­galan-pen­ing­galan budaya masa lam­pau yang ada di Tulun­ga­gung sela­tan. Jadi jejak kekunoan dari zaman pra sejarah sejak zaman berbu­ru dan mengumpulkan makanan, sudah kita temui fos­il teruta­ma fos­il manu­sia sejak akhir 1800. Dan kita temui lagi fos­il pada masa perunda­gian yang kita kenal seba­gai homo wajak­ensins 3 dan 4. Lokasinya tidak per­sis den­gan yang per­ta­ma, yang dite­mui gua song gen­tong.

Tulun­ga­gung memang dike­nal men­ja­di salah satu daer­ah di Indone­sia seba­gai lokasi pen­e­muan berba­gai buk­ti prase­jarah. Mengin­gat kon­disi fisik alami­ah­nya yang beru­pa rawa-rawa. Ini­lahyang kemu­di­an men­jadikan Tulun­ga­gung ser­ing ter­ja­di ban­jir keti­ka hujan turun. Oleh Kare­na itu pada masa Pemer­in­ta­han Belan­da, ter­ja­di pen­geringan besar-besaran untuk menang­gu­lan­gi ban­jir dan upaya terse­but berhasil. Sehing­ga mem­bu­at peruba­han ekol­o­gis di kawasan Rawa Purba.

Ini sedik­it gam­baran sisi tabun­gan sejarah. Jadi sete­lah tahun 1985, ter­ja­di peruba­han ekolo­gi yang san­gat luar biasa di Tulun­ga­gung sela­tan, kare­na sejak perten­ga­han 1980 rerawa di Tulun­ga­gung sela­tan itu sta­tus­nya men­ja­di almarhum,” pungkas Dwi sekali­gus seba­gai penut­up acara bedah sejarah.[] (Ttn/Kzn)