Buman­tara kian tengge­lam. Awang-awang nang terkun­ci mega lebih meningkatkan hawa cengk­er­am. Bersama cemeti dewa di belakang bongka­han muram. Lak­sana berse­dia mem­bu­mikan minu­man. Dan jujur saja, kelam sekadar men­jahili rembulan.

Amri­ta gemar suasana ini, bergan­den­gan bersama keny­ataan meng­hay­ati sir­atan. Benar sih, Awan hitam tak sehangat pag­utan tetapi cuku­plah mener­bitkan ten­ter­am. Berawan pula tak beraro­ma mashyur, melainkan apa ya menyegarkan? 

Amri­ta nya­man. Sung­guh ter­tumpuk pan­dan­gan nya­ta di bayang-bayangnya yang tak tertawa. Lamun tan­pa minta diri geledek men­jem­put pak­sa arwah dari angan-angan. Duar…

Berkat geledek Amri­ta berhasil ter­pikir arsenik pada sukrosa. Seti­ap yang Amri­ta lakukan sama den­gan kesesa­tan. Kehadi­ran­nya ialah sebuah kecatatan. Suaranya pun meru­pakan sebuah dosa. 

Amri­ta muda tak sem­pat mem­inta di keduni­akan. Amri­ta pula tak per­nah meng­haruskan bapak apa pun. Jan­gankan menghen­da­ki sesu­atu, menat­ap indra pengli­hat bapak saja tak pelupuk mata.

Lela­ki den­gan semer­bak bal­sam yang men­duri itu, ker­ap berpose beku padanya. Hangus dada tan­pa latar belakang pada wak­tu Amri­ta bera­da pada pengli­hatan­nya. Beber­a­pa kali sese­o­rang yang diju­lu­ki bapak mer­am­pas kelayakan Amri­ta bersama meni­adakan kemes­tian­nya, menunaikan tekanan, sam­pai-sam­pai menggagahinya.

Lela­ki itu rajin men­ge­nakan kamisa. Men­gon­sum­si minyak wan­gi biar mam­pu men­cabut nyawa bal­sam. Lan­tas menarik diri bermain judi berbu­ru keberuntungan.

Jan­gan buat gaduh atau mem­bu­at masalah mening­galkan bapak.” Begi­t­u­lah yang ker­ap bapak sab­dakan sebelum bertindak.

Amri­ta gadis beru­mur 9 tahun, menan­ti pada kawasan tamu ser­aya memen­jara kan­tuk. Lela­ki itu yang rajin men­go­lah kon­sum­si untuknya ser­ing kem­bali lewat kon­disi ger­ing hulu. Akan tetapi hari ini tak seba­gaimana wajarnya. Jika kebanyakan bapak pulang pukul 2 dini hari, akan tetapi hing­ga binar baskara mene­gur, bapak tak kun­jung datang.

Amri­ta memu­tuskan tak angkat kaki ke seko­lah dan menung­gu bapak di pekarangan rumah. Meng­in­ves­ti­gasi pohon rambu­tan yang menen­gok nasib gar­ing di siku hala­man. Sial­nya, peri­ode kema­rau berkun­jung, akan tetapi din­gin atmos­fer kon­sis­ten menusuk tulang. Sayangnya, Amri­ta tetap kukuh tak mem­perke­jakan baju hangat hanya meman­faatkan kaos tip­is beser­ta celana pen­deknya. Mau bagaimana, Amri­ta telah memakan per­i­hal seperi ini seti­ap hari lan­taran Bapak kelu­ar­ga tung­gal­nya yang kurang ajar telah mem­bu­at­nya jatuh cinta.

Pagi men­jem­put malam dan bapak tak kun­jung balik. Amri­ta lapar dan letih. Sela­ma ber­jam-jam ia menan­ti. Hawa adem di temani magh yang sedang berpes­ta mem­bu­at­nya sakit.

Hing­ga akhirnya pagar besi mel­on­go den­gan kasar. Seo­rang lela­ki men­cam­pakkan dan masuk sem­bari meny­eret bapak. Amri­ta bangk­it dari duduknya berlari men­datan­gi bapak.

Bapak!” serun­ya bodoh berbaur resah. Men­ga­pa paman itu men­gan­tarkan gemasku pada bapak?

Sayangnya, niat untuk meringankan bapak berakhir den­gan tolakan lela­ki terse­but. Mem­bu­at Amri­ta jatuh ter­sungkur mem­ben­tur pohon jam­bu. Amri­ta kecil menangis, meli­hat bapak diam kesak­i­tan den­gan wajah babak belur.

Amri­ta berangkat ketaku­tan ser­aya berlari masuk rumah mem­bu­tu­ti paman meny­eret bapak. Di ruang tamu, paman terse­but memukuli bapak dan mencerca.

Dasar bajin­gan! Kau kem­anakan uangku, hah?” 

Tam­paran dan ten­dan­gan bertubi-tubi dilayangkan untuk bapak. Amri­ta berusa­ha menarik kaki paman terse­but namun beru­lang kali ia harus terhempas.

Dasar boc­ah sialan! Kau anak bajin­gan ini?” tanya paman tak berperasaan. Bapak yang telah babak belur berusa­ha bangk­it dan menarik kaki temannya.

“Jan­gan! Jan­gan anakku!”
“Sia­pa nama­mu, nak?”
“Per­gi Am!”

Sang paman tertawa. Lan­tas menarik Amri­ta dan merangkul lehernya sem­bari berjongkok menat­ap bapak yang terkapar.

“Den­gan apa kau membayar?” 

Bapak meringis merasakan lela­ki terse­but menarik ram­but­nya agar ia mendongak.

Lihat anakmu. Aku tak tahu kau memi­li­ki putri secan­tik ini. Jan­gan menangis nak. Kau mau menye­la­matkan bapak­mu, hero kecil?”

Amri­ta tak kom­pe­ten akan suasana kon­disi yang ber­jalan. Ia sekadar mer­at­ap. Ia ingin isti­ra­hat. Dunia tak per­nah berbaik hati padanya. Men­ja­di anak perem­puan bukan­lah keing­i­nan­nya, namun hidu­plah yang memak­sanya. Ia mem­bu­tuhkan Tuhan. 

Tuhan, Dewa sia­papun itu kumo­hon tolong aku. Aku selalu menan­ti tapi kem­ana kau sela­ma ini? Bila engkau benar ada tolong aku, aku menung­gu­mu den­gan hitun­gan 1 sam­pai 5. Kumu­lai 1 … 2 … 3 … 4 … 5.“
Hing­ga bersama suara kecil Amri­ta berka­ta, “Bunuh saja lela­ki ini, dia yang mem­bu­at per­jan­jian den­gan masalah, dia juga yang harus menang­gungnya. Aku sudah cukup menderi­ta. Tolong aku, biarkan aku memil­ih men­ja­di yatim piatu.”
“Amri­ta! Dasar Jalang, anak yang tak tahu ter­i­ma kasih!”
“Haha­ha, sudah dra­manya? Pulanglah ke Jahanam, ter­i­ma kasih atas budak man­is ini”

Lan­tas paman terse­but berdiri men­cari tali. Ia men­e­mukan sebuah lak­ban hitam dan mulai mengikat ser­ta menut­up mulut bapak menan­cap­kan pisau den­gan lihainya. Keti­ka paman jahat ten­gah nya­man menyik­sa bapak, Amri­ta menyay­at perge­lan­gan tan­gan­nya guna menye­la­matkan diri tuan barun­ya. Sejum­lah menit akan datang jarum jam tak ber­saing lagi den­gan deru nafas kecuali den­gan paman yang berlom­ba menandin­gi iblis.