Berlari, lalu tangkap. Itu yang selalu aku lakukan bersamanya sebelum mata­hari ter­be­nam. Memang mele­lahkan, tetapi kami menikmatinya sam­bil menung­gu per­ahu Ayah untuk siap berla­yar. Seti­ap hari kami per­gi menangkap ikan bersama den­gan para nelayan. “Apa nan­ti malam kita menangkap banyak ikan? semoga cua­canya baik-baik saja.“, itu yang digu­mamkan oleh Yohan, kakakku. Ayah sibuk mele­takkan pukat, kan­tong, ser­ta memerik­sa keadaan mesin per­ahun­ya, untuk memas­tikan apakah mesin­nya dalam keadaan baik-baik saja. Men­je­lang malam, para nelayan mulai bersi­ap untuk berbu­ru ikan. Sebelum menu­ju per­ahu, kami selalu berdoa ter­lebih dulu untuk kese­la­matan dan semoga bisa menangkap ikan yang banyak.

Yohan, hari ini pasti tangkap ikan yang banyak seper­ti dulu.” Kata Ayah sam­bil ber­jalan menu­ju perahu.

Jan­gan khawatir, aku dan Roy siap mem­ban­tu, Yah. Tena­ga kita kan cukup banyak untuk nangkap ikan di selu­ruh laut ini.”

Aku pun segera melom­pat ke per­ahu. Kami menai­ki per­ahu dan segera menyalakan mesin­nya. Per­ahu siap berla­yar. Ayah men­garahkan per­ahu kami menu­ju Utara bersama nelayan lain­nya, sisanya menu­ju arah yang berlawanan. Banyak dari mere­ka yang memil­ih arah lain­nya kare­na jarang sekali ada kawanan ikan. Ada mitos yang men­gatakan kalau daer­ah itu banyak roh leluhur yang berse­mayam di sana dan memakan semua ikan. Benar-benar kony­ol. Aku sama sekali tidak merasakan keber­adaan roh-roh itu ada di sini. Laut­nya juga masih terasa ten­ang seper­ti biasa. Aku meli­hat Yohan di ping­gir per­ahu sedang mer­apikan pukat kan­tong untuk berbu­ru malam ini. Ten­tu saja aku ikut mer­apikan pukat itu.

Hei, saudaraku, seper­tinya sebe­lah sini masih kusut,” sam­bil mengam­bil bagian yang kusut itu.

Kau selalu teliti seper­ti biasanya. Ter­i­ma kasih, Roy.”

Ayolah, saudaraku, itu bukan masalah yang sulit.” 

Hei, bisakah kau ramal apakah badai akan datang?”, tanya Yohan.

            Dia mulai lagi. Per­tanyaan yang muncul seti­ap kami akan menangkap ikan. Ten­tu saja tidak ada badai hari ini. Sudah kukatakan beru­lang kali kalau aku ahli dalam mera­mal cua­ca. Ku lihat lan­git malam ini masih ter­li­hat banyak bin­tang kecil di sana. Tidak ada awan hitam. Kekhawati­ran­nya bisa men­gubah suasana ini men­ja­di tidak berwar­na. Tetap saja, Ayah tidak ter­li­hat khawatir sama sekali. Menangkap ikan demi kebu­tuhan hidup memang lebih pent­ing baginya. Mes­ki akan ada badai besar. Sete­lah menangkap banyak buru­an, kami segera kem­bali ke pan­tai den­gan nelayan lain­nya. Sam­pai di pesisir, aku tidak meli­hat rom­bon­gan nelayan yang dari arah yang berlawanan den­gan kami. Jarang sekali dari daer­ah itu untuk kem­bali ke sini lebih lama. Semoga saja mere­ka kem­bali den­gan selamat.

            Sete­lah turun dari per­ahu, Ayah dan Yohan lang­sung mem­bawa ikan-ikan­nya ke pasar lokal sek­i­tar pan­tai untuk dijual sedan­gkan aku menu­ju rumah untuk beri­s­ti­ra­hat. Hari ini san­gat mele­lahkan. Tangka­pan hari ini lumayan banyak hing­ga aku mulai men­gan­tuk lalu ter­lelap di tem­pat tidurku.  Semoga besok kami bisa menangkap ikan sebanyak hari ini. Pastinya tidak akan badai yang muncul. 

            Aku ter­ban­gun dari tidurku. Rumah terasa sepi. Tidak ada tan­da-tan­da Yohan maupun Ayah di sini. Seper­tinya mere­ka belum kem­bali ke rumah. Aku meli­hat lan­git sudah berwar­na jing­ga gelap melalui jen­dela lebar. Dan per­ahu Ayah tidak ter­li­hat. Sial. Aku lang­sung berlari menu­ju ping­gir pan­tai untuk menge­jar mere­ka. Aku sudah tidur bera­pa lama hing­ga lan­git sudah sore? Seper­tinya sudah ter­lam­bat untuk menge­jar mere­ka. Salah satu nelayan yang bera­da di sana men­gatakan bah­wa Ayah sudah berangkat lagi untuk menangkap ikan. Men­ga­pa Ayah harus berbu­ru lagi? Bukan­nya hari ini harus beri­s­ti­ra­hat seper­ti biasanya?  Aku mulai berfi­rasat buruk. Semoga bukan itu yang ter­ja­di, tetapi lan­git semakin gelap dan lebih gelap dari biasanya. Aku menung­gu mere­ka kem­bali di pan­tai dan berharap mere­ka lebih cepat kembali.

 Tidak mungkin! Angin­nya benar-benar tidak bersahabat.

Sial. Badai datang lagi. Men­ga­pa mere­ka belum ter­li­hat? Harus­nya Yohan sudah tahu bah­wa badai besar akan datang. Angin­nya semakin ken­cang dan hawa sek­i­tar terasa pen­gap. Aku harus menung­gu mere­ka untuk benar-benar kem­bali. Tetang­gaku yang tidak berla­yar hari ini menyu­ruhku untuk menung­gu mere­ka di rumah­nya. Badai hari ini lebih men­gerikan, tetang­gaku tahu bah­wa badai nan­ti san­gat dah­sy­at sehing­ga hari ini ia tidak berla­yar. Dia menyu­ruhku untuk bermalam di rumah­nya hing­ga Ayah pulang. Dia mem­beriku selimut dan ban­tal, tak lupa susu hangat  sebelum tidur. 

Sudah behari-hari Ayah dan Yohan belum kem­bali. Per­ahu mere­ka tidak per­nah ter­li­hat lagi dan aku mulai merindukan mere­ka. Dan sekarang aku kehi­lan­gan kelu­ar­gaku lagi. Aku rindu berlari sep­a­n­jang pan­tai den­gan Yohan, mem­ban­tu Ayah mem­per­si­ap­kan per­ala­tan untuk menangkap ikan, dan makan bersama dari hasil tangka­pan. Tiba-tiba tetang­gaku meng­ham­piriku sam­bil men­gelus kepalaku. 

Roy, kau harus kuat meng­hadapinya. Kau bisa ting­gal den­ganku seba­gai kelu­ar­ga baru­mu. Aku akan selalu men­jaga­mu sama seper­ti ayah­mu dan Yohan. Tak per­lu khawatir lagi untuk kehi­lan­gan kelu­ar­ga. Kau anjing yang kuat.” Katanya sam­bil aku men­gibaskan eko­rku. Akhirnya, ada lagi kelu­ar­ga yang mau menerimaku.