Den­gan nov­el sejarah yang ked­ua, Laut Berceri­ta (2017), Leila mener­i­ma peng­har­gaan SEA Write Award 2020, peng­har­gaan tahu­nan untuk karya sas­tra se-Asia Teng­gara. Ini berar­ti Leila men­da­p­atkan peng­har­gaan kali ked­ua untuk anak sas­tra sejarah­nya. Sebelum­nya, Pulang (2012), nov­el yang juga berlatar sejarah, men­da­p­at peng­har­gaan Kusala Sas­tra Khat­ulis­ti­wa 2013 untuk kat­e­gori prosa. Ked­u­anya diter­bitkan oleh Gramedia.

Nov­el ini ditun­jukkan Leila kepa­da mere­ka yang dihi­langkan dan tetap hidup sela­manya. Persem­ba­han yang mem­ber­i­tahukan kepa­da pem­ba­ca, bah­wa Laut Berceri­ta ini diangkat dari kisah nya­ta kehidu­pan maha­siswa aktivis yang dihi­langkan pada zaman Orde Baru. Gaya realis digu­nakan Leila untuk mendeskrip­sikan keja­di­an-keja­di­an pada suatu wak­tu, pada suatu tem­pat. Sudah nam­pak saat pem­ba­ca meli­hat daf­tar isi. Sub­judul selu­ruh­nya beru­pa tem­pat dan tahun, seper­ti “Sayegan, 1991” hing­ga “Di Depan Istana Negara, 2007”. Ini mene­gaskan bah­wa nov­el yang meskipun fik­si, tapi datanya beru­pa fak­ta sejarah.

Keku­atan nov­el fik­si-sejarah ini ter­letak pada kekayaan data dan ketepatan deskrip­si gagasan, pen­gala­man, ser­ta perasaan pada ked­ua tokoh uta­manya, Laut dan Mara. Leila melukiskan keja­di­an-keja­di­an secara pararel, mem­perku­at kesan peng­hay­atan, hing­ga men­goy­ak psikol­o­gis pem­ba­ca, untuk kemu­di­an mem­per­tanyakan kebe­naran­nya pada diri pem­ba­ca sendiri. Data dimainkan den­gan amat epik, hing­ga ramuan cer­i­tanya nyaris nya­ta. Saya sendiri─yang terkon­struk oleh pela­jaran sejarah sekolah─dibuat bertanya-tanya saat mem­ba­ca narasi demi narasi, deskrip­si demi deskrip­si, suart demi surat, tem­pat hing­ga peri­s­ti­wa, benarkah sejarah ini ada?

Genre fik­si-sejarah bukan hal baru dalam khaz­anah sas­tra Indone­sia, sebelum­nya sudah ada nama besar, Pramoedya Anan­ta Toer─tokoh yang juga baru saya kenal di luar bangku kuli­ah. Pram, sas­trawan real­isme-sosialis yang kon­dang den­gan Trilo­gi Pulau Buru. Mungkin ter­ma­suk Leila yang mengekor pada Pram untuk berpe­gang pada real­isme-sosialis dan seo­lah ia mengami­ni Pram, bah­wa tin­dakan meng­ha­pus jejak tokoh-tokoh radikal dari catatan sejarah sama saja melan­jutkan kebi­jakan poli­tik kolo­nial yang ingin berusa­ha mem­ban­gun narasi bangsa yang pal­su. Lewat nov­el ini, Leila berusa­ha menun­jukkan keny­ataan bah­wa perg­er­akan maha­siswa pun­ya akar yang kuat itu dipen­garuhi oleh mekarnya ger­akan radikal.

Terba­gi men­ja­di 2 bab, ceri­ta dipa­parkan dalam dua sudut pan­dang. Orang per­ta­ma pelaku uta­ma, Biru Laut Wibisana. Laut mencer­i­takan ten­tang sep­ak ter­jal­nya men­ja­di maha­siswa aktivis di era Orde Baru. Lalu orang per­ta­ma pelaku sampin­gan, diwak­ilkan Asmara Jati, adik kan­dung Laut. Mara pada per­an­nya mencer­i­takan sosok Laut versinya, juga narasi beru­pa upaya pen­car­i­an Laut. Lewat Mara-lah, Leila menampilkan suara infe­ri­or dari sejarah yang pin­cang, sejarah yang berusa­ha ditut­up-tutupi adanya.

Sejarah mulanya dari sudut pan­dang mas­ing-mas­ing indi­vidu, ting­gal pow­ernya seku­at apa yang kelak dibu­at “layak” untuk dikon­sum­si pub­lik di masa kini juga men­datang, lagi-lagi sesuai kebu­tuhan pemer­in­tah. Laut Berceri­ta secara dom­i­nan men­dongkrak real­i­tas kehidu­pan sejarah dari dimen­si sosial-poli­tik, tepat­nya pada masa rez­im Orde Baru. Nov­el ini men­guak keberan­ian dalam mem­bela kead­i­lan dan kebe­naran, arah ger­ak maha­siswa aktivis, gejo­lak perkem­ban­gan jur­nal­is­tik, sek­su­al­i­tas, hing­ga per­i­hal makanan.

Mati­lah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali”

Pada ver­si Laut, Leila men­gawalinya den­gan pro­log miris yang lang­sung meno­hok bagi pem­ba­ca. Di sebuah laut, berakhirlah per­juan­gan Laut. Ia dibuang ke laut usai dia­ni­aya ter­lebih dahu­lu oleh pihak militer. Laut dan teman-teman seper­juan­gan­nya melawan kedik­ta­toran pen­guasa lewat demon­strasi yang berakhir pada penangka­pan, pena­hanan, pen­ga­ni­ayaan, sam­pai pem­bunuhan. Sekelom­pok ini mem­per­juangkan kead­i­lan den­gan cara melakukan aksi dan diskusi untuk lep­as dari Orde Baru yang dip­impin Soe­har­to sela­ma puluhan tahun den­gan sewe­nang-wenang. Bahkan masyarakat benar-benar dibungkam oleh pemer­in­tah. Sehing­ga keti­ka ingin mem­bicarakan isu-isu yang sen­si­tif, mere­ka harus meng­gu­nakan metafora.

Tapi aku tahu satu hal: kita harus meng­gun­cang mere­ka. Kita harus meng­gun­cang masyarakat yang pasif, malas, dan putus asa agar mere­ka mau ikut mem­per­bai­ki negeri yang sung­guh korup dan beran­takan ini, yang san­gat tidak meng­har­gai kemanu­si­aan ini, Laut.” (Chu­dori, 2017: 182)

Ceri­ta bergulir di saat Biru Laut masih men­ja­di seo­rang maha­siswa pada tahun 1991. Dia memil­ih untuk kuli­ah di UGM, Yogyakar­ta. Bersama teman-teman­nya, Laut ting­gal di kon­trakan di daer­ah Sayegan seba­gai tem­pat diskusi dan ren­cana ger­akan Wina­tra. Tem­pat­nya jauh dari man­a­pun, akses yang dip­il­ih agar mere­ka aman dari incar­an intel. Di kon­trakan itu­lah mere­ka melak­sanakan diskusi-diskusi men­ge­nai buku Laclau atau Ben Ander­son, dan Pramoedya Anan­ta Toer. Mere­ka sekali­gus menyusun pro­pa­gan­da untuk melakukan demon­strasi. Den­gan berbekal penge­tahuan ser­ta meli­hat kon­disi yang semakin memuakkan, para aktivis mulai melan­car­kan ger­akan­nya. Mere­ka mulai men­dampin­gi petani Blang­guan dalam mem­per­juangkan hak-haknya yang telah direnggut penguasa.

Rep­re­sen­tasi cara memimpin negara saat itu dipegang kuat oleh militer, pelarangan berdiskusi, tidak adanya kebe­basan berek­spre­si dan poli­tik. Diskusi diang­gap suatu hal yang mem­ba­hayakan posisi Orde Baru. Diskusi bagai suatu hal krim­i­nal, sehing­ga kon­trol oleh intel akan selalu menyelusup. Penyekalan para aktivis ter­ja­di secara berta­hap, bahkan ser­ingkali penyekalan ter­ja­di di tem­pat umum. Para aktivis dis­ekap dalam markas, intro­gasi yang diwar­nai den­gan penyik­saan seo­lah-olah telah men­ja­di runi­tias sela­ma berbu­lan-bulan lamanya sebelum mere­ka benar-benar akan dihi­langkan dari kehidupan.

Kare­na peri­s­ti­wa penangka­pan para aktivis masih saja mengge­layu­ti Yogyakar­ta, mem­bawa-bawa fotokopi buku karya Pramoedya Anan­ta Toer sama saja den­gan menen­teng bom: kami akan diang­gap berba­haya dan pengkhi­anat bangsa.” (Chu­dori, 2017: 20)

Pemer­in­tah seba­gai pen­guasa mem­berikan peringatan kepa­da para aktivis supaya tidak lagi meng­gu­gat pemer­in­tah. Mere­ka yang meng­gu­gat berar­ti men­ja­di pengkhi­anat. Sela­ma ini Orde Baru ser­ingkali dia­gung-agungkan oleh masyarakat awam bahkan gen­erasi muda sekalipun seba­gai zaman keemasan. Hege­moni pemer­in­tah telah men­gakar pada ide­olo­gi dan budaya masyarakat. Leila mencer­i­takan secara gam­blang peri­s­ti­wa-peri­s­ti­wa kelam di balik kokohnya Orde Baru yang sela­ma ini bungkam untuk dibicarakan oleh masyarakat umum. Tekanan atas beber­a­pa keis­time­waan yang diberikan mem­bu­at masyarakat men­ja­di gelap mata sehing­ga mengiku­ti atu­ran yang telah dite­tap­kan. Ini men­jadikan pemer­in­tah den­gan mudah menang­gu­lan­gi arah ger­ak para aktivis. Di mana pada saat itu para pem­berontak berhasil ditan­gani den­gan baik seper­ti hal­nya PKI, juga penghi­lan­gan secara pak­sa para aktivis yang berpiki­ran kri­tis. Bahkan dalam beror­gan­isasi diarahkan untuk mengekor Golkar, par­tai dom­i­nan pada Orde Baru.

Mere­ka yang dihi­langkan ber­pusat pada ceri­ta Biru Laut, Sek­jen ger­akan Wina­tra yang dipan­dang sub­ver­sif sebab meng­gu­gat rez­im otori­tar­i­an di masa Orde Baru yang nyaris tan­pa demokrasi. Awal tahun 1998, bermu­la pada Aksi Tanam Jagung Blang­guan, kon­flik antara petani den­gan ten­tara. Lahan per­tan­ian raky­at Desa Blang­guan digusur secara pak­sa untuk lati­han gabun­gan ten­tara. Laut dan beber­a­pa teman­nya dicu­lik secara berpisah. Di suatu tem­pat, Laut dis­ekap, dipukuli habis-habisan, diin­jak den­gan sep­a­tu berg­e­ri­gi, dan dis­etrum oleh orang-orang ber­sei­bo, agar berse­dia men­jawab sia­pakah yang berdiri di balik ger­akan aktivis dan ger­akan maha­siswa. Sekali lagi, ini meng­gun­cang jiwa saya, bagaimana mungkin tin­dakan lebih dari krim­i­nal ini terjadi?

Biru Laut bersama 12 aktivis hilang tak jelas nasib­nya, dan 9 aktivis lain­nya menghirup udara bebas menang­gung trau­ma berkepan­jan­gan. Dalam hal ini, pemer­in­tah dicer­i­takan sedik­it men­gala­mi peruba­han, ter­buk­ti mere­ka melepaskan sem­bi­lan aktivis yang telah ditawan sela­ma berbu­lan-bulan. Semacam ini bak upaya kendali pemer­in­tah untuk men­ja­ga nama baiknya. Hing­ga tidak lama sete­lah peri­s­ti­wa pem­be­basan terse­but, Soe­har­to den­gan suka rela melengserkan diri dari jabatan­nya seba­gai presiden.

Pada tang­gal 23 April 1998, Aswin menele­ponku pada suatu sub­uh. Alex sela­mat. Dia sudah pulang ke Pamakayo. Aku begi­tu teke­jut hing­ga ham­pir saja ter­jatuh dan segera bertumpu pada pegan­gan kur­si. Hari masih agak gelap. Men­dadak saja semua kan­tuk tergi­las oleh beri­ta ini. Menu­rut Aswin, Mama Rosa, ibun­da Alex mem­ber­i­takan itu den­gan suara ter­pu­tus-putus kare­na jarak jauh Pamakayo. Tak jelas men­ga­pa Alex dilepas oleh para pen­cu­liknya ke kam­pung hala­man­nya. Yang pent­ing, Alex dalam keadaan sehat dan tak banyak bicara.” (Chu­dori, 2017:249)

Tokoh-tokoh dalam Laut Berceri­ta memang fik­tif, tapi hal fak­ta­lah yang men­gin­spi­rasi ter­cip­tanya ceri­ta ini ada. Bah­wa refor­masi 1998 itu nya­ta, pen­cu­likan aktivis itu benar-benar ter­ja­di, dan peri­s­ti­wa 1965 itu masih meng­han­tui. Mem­ba­ca Laut Berceri­ta terasa seper­ti sedang mem­ba­ca sejarah yang dihi­langkan. Sejarah seo­lah-olah telah dima­nip­u­lasi den­gan san­gat rapi. Bagaimana tidak, gen­erasi muda saat ini awam ter­hadap peri­s­ti­wa pelik yang telah ter­ja­di di negeri sendiri. Sejarah yang dinam­pakkan dalam pela­jaran seko­lah sebatas pen­ja­ja­han yang dilakukan oleh Kolo­nial­isme Belan­da maupun Jepang, ser­ta per­lawanan pahlawan dalam men­gusir pen­ja­jah. Sete­lah peri­s­ti­wa pen­ja­ja­han berakhir, gen­erasi muda saat ini tidak tahu bah­wasanya pem­bodohan telah ter­ja­di di tan­gan pres­i­den yang berkuasa saat Orde Baru berdiri kokoh. 

Kekuasaan yang digu­nakan oleh para ahli san­gat ter­li­hat jelas, yaitu keahlian dalam mem­berikan kenya­manan pada kelas menen­gah atas maupun bawah. Ide­ologiyang ter­tanam di masyarakat menye­babkan mere­ka tidak memikirkan dampak yang akan dise­babkan oleh adanya beber­a­pa lisen­si yang diberikan. Keke­jian pada Orde Baru seakan-akan tidak per­nah men­da­p­atkan per­ha­t­ian lebih di mata masyarakat saat ini. Fram­ing yang ter­struk­tur mem­pen­garuhi dugaan baik masyarakat, sehing­ga mere­ka lebih pada pem­bicaraan ten­tang prestasi yang telah di raih pada rez­im Soe­har­to terse­but. Bahkan satire “Pang­gah enak zamanku to?” beredar luas di masyarakat.

Laut yang sebatas dike­tahui hilang oleh kelu­ar­ganya, sedan­gkan pem­bunuhan yang ter­da­p­at pada pro­log nov­el secara per­la­han-lahan ditun­jukkan motif dan latar belakangnya. Pem­ba­ca akan kesuli­tan memu­tuskan bagaimana nasib Laut pada kehidu­pan non­fik­si, apakah berakhir di laut seper­ti pro­log, ataukah masih ada hara­pan hidup seper­ti yang dihara­p­kan kelu­ar­ganya. Meskipun plot berlon­catan dan meng­gang­gu ske­ma pem­ba­ca dalam mema­ha­mi cer­i­tanya. Namun sedik­it demi sedik­it men­do­brak fak­ta di balik dia­gung-agungkan­nya Orde Baru.

Menen­gok ke dunia nya­ta, hal seru­pa diala­mi oleh Mugiyan­to dan teman­nya yang ter­gabung dalam kelom­pok Sol­i­dar­i­tas Maha­siswa Indone­sia untuk Demokrasi (SMID). Mugiyan­to meru­pakam salah satu kor­ban yang dibebaskan. Pada 23 Mei 2016, CNN Indone­sia men­gangkat kisah Mugi yang men­gala­mi pen­cu­likan. Suatu malam, pada 13 Maret 1998, Mugi dijem­put pak­sa oleh 10 orang yang masuk ke kon­trakan. Dua orang berser­agam loreng dan 8 orang berpaka­ian sip­il. Kala itu Mugi baru sele­sai mengiku­ti perte­muan den­gan organ­isasi sol­i­dar­i­tas untuk Tim­or Leste dari Aus­tralia di kawasan Menteng, Jakar­ta Pusat, mewak­ili SMID untuk men­gu­rus bidang hubun­gan internasional.

Teman Mugi lain­nya adalah Nezar Patria. Pada 4 Feb­ru­ari 2008, Tem­po men­gangkat ceri­ta yang dit­ulis Nezar dalam artikel “Di Kuil Penyik­saan Orde Baru”. Nezar Patria ini men­gungkap­kan pen­gala­man­nya seba­gai aktivis yang pada Maret 1998 sem­pat dicu­lik, diin­tro­gasi, dan disik­sa sela­ma berhari-hari. Maka teranglah, selain penghi­lan­gan, pen­cu­likan dan penyik­saan para aktivis pada 1998 adalah fak­ta, meskipun luput dike­tahui publik.

Ter­lepas dari temuan dua tokoh terse­but, Laut Berceri­ta sekali lagi adalah nov­el fik­si. Leila memang men­gawali nov­el ini melalui riset, namun kepu­tu­san alur ceri­ta tetap pada pil­i­han suka-suka penulis sendiri. Abstrak­si jalan ceri­ta dan peri­s­ti­wa sejarah yang melatar­be­lakanginya, seper­tinya memang sen­ga­ja ditun­jukkan penulis kepa­da mas­ing-mas­ing persep­si pem­ba­ca. Ten­tang nasib akhir Laut di pro­log, Leila mem­perte­gas bah­wa ia telah gugur melalui epi­log. Lewat surat wasi­at Laut kepa­da Mara─meskipun nam­pak mus­tahil dit­ulis oleh orang yang telah tiada─memperlihatkan bagaimana Laut sudah mem­predik­si kema­tian­nya sendiri, ia sadar ia tak akan hidup sete­lah pen­ga­ni­ayaan sadis dan karam di dalam laut.

Bagaimana­pun embel-embel sejarah yang ingin ditawarkan Leila tidak men­gu­ran­gi iktikad sas­tra sendiri seba­gai medi­um hibu­ran. Lihat bag­i­mana Leila menawarkan larik-larik puitis dari penyair kon­dang, WS Ren­dra. Sajak Seoong­gok Jagung diper­alat Leila seba­gai upaya pen­dekatan kepa­da pem­ba­ca untuk lebih meng­hay­ati alur ceri­ta. Puisi-puisi Ren­dra yang tak ter­lepas dari kekri­ti­san sosial-poli­tik itu men­gawali kisah per­lawanan Laut dan aktivis lain bersama Petani Blang­guan. Sajak Seong­gok Jagung seo­lah yang men­ja­di pijakan bagi para aktivis untuk melakukan per­lawanan. Laut yang ter­su­lut jiwa per­lawanan­nya sete­lah teringat puisi itu, ia men­gusulkan agar aktivis melawan den­gan aksi Tanam Jagung Blang­guan. Mere­ka berangkat melawan den­gan mene­r­i­akkan yel-yel dari bait-bait puisi itu penuh gelo­ra. Puisi-puisi lain­nya juga diikut­ser­takan seba­gai suatu pen­gan­tar ceri­ta di awal sub bab. Tak hanya mem­per­alat puisi, lagu digu­nakan seba­gai upaya untuk lebih intim dalam ceri­ta. Lagu-lagu kem­bali diputar, ingatan kem­bali dike­nang, lagu itu berusa­ha mem­bu­ka layar masa lalu yang di dalam­nya memu­at rente­tan keja­di­an di masa lalu.

Bab ked­ua buku ini meng­gu­nakan sudut pan­dang Asmara Jati, adik kan­dung Biru Laut. Duka psikol­o­gis meng­han­tui kelu­ar­ga Laut. Bagaimana Mara kehi­lan­gan kakaknya, kekasi­h­nya, pada wak­tu yang berdekatan. Kehi­lan­gan Laut, mem­bu­at orang tua Laut hidup dalam penyangkalan. Semua tokoh  yang ter­li­bat pada bagian ked­ua ini dilukiskan penuh sim­pati, tingkah laku hing­ga perasaan mere­ka dap­at dipahami. 

Di hada­pan sebuah pan­ci burik biru yang besar, mere­ka akan mencem­plungkan  semua bum­bu itu.…ke dalam san­tan cair dan ten­tu saja iga ser­ta tulang sum­sum kamb­ing yang nan­ti­nya “akan diseruput Mas Laut”, kata Ibu sam­bil men­gaduk-aduk den­gan keseriu­san yang intens.”

Mere­ka mem­biarkan hidup­nya meny­atu den­gan ima­ji­nasi, hara­pan agar kelu­ar­ga mere­ka yang hilang masih tetap ada dalam kese­har­i­an. Mere­ka hidup den­gan mem­bayangkan anaknya akan kem­bali, bagaimana rit­u­al saat menye­di­akan pir­ing dan makanan, mem­ber­sihkan kamar, dan berharap sang anak akan muncul di pin­tu. Dimen­si wak­tu ikut memu­dar aki­bat kon­disi emo­sion­al yang tak lagi terkon­trol sebab keka­lu­tan jiwa. Kelu­ar­ga dari aktivis yang ditung­galkan itu meng­habiskan wak­tun­ya den­gan penant­ian pan­jang, menung­gu dan menung­gu, semen­tara mere­ka hilang tan­pa kejelasan. 

Tidak ting­gal diam, Mara bersama orang tuanya dan kelu­ar­ga aktivis maha­siswa yang hilang terus mem­per­juangkan hak mere­ka den­gan men­em­puh berba­gai cara. Mulai dari ter­gabung dalam Komisi Orang Hilang sam­pai mengge­lar aksi Kamisan di depan Istana Negara. Aksi yang bukan hanya seba­gai tun­tu­tan, melainkan juga seba­gai upaya ter­api bagi kelu­ar­ga yang kehi­lan­gan. Hal ini pula yang dilakukan Mugi bersama kelu­ar­ga maha­siswa yang hilang. Seba­gai orang yang ter­be­bas dari kasus pen­cu­likan aktivis, Mugi turut mem­ban­tu pen­dampin­gan kelu­ar­ga kor­ban dan bergabung den­gan Ikatan Kelu­ar­ga Orang Hilang Indone­sia (IKOHI). Bertahun-tahun tan­pa jawa­ban, tapi aksi masih tetap saja dige­lar. Seti­dak-tidaknya seba­gai peringatan bah­wa mere­ka tidak akan mem­biarkan kebengisan pen­guasa dib­iarkan tan­pa hukuman.

Usai trage­di kemanu­sian 1998, Indone­sia memang refor­masi, namun kead­i­lan masih dike­biri hing­ga kini. Aktivis yang dihi­langkan tak kun­jung tun­tas terusut. Mere­ka masih dalam gaung per­tanyaan yang senan­ti­asa dihara­p­kan kepu­lan­gan­nya. Nov­el ini mem­bu­ka kem­bali penghi­lan­gan pak­sa seba­gai keja­hatan yang ter­lestarikan, sehing­ga mem­bu­ka per­tanyaan dan meng­gu­gat tang­gung jawab kepa­da pemer­in­tah dalam men­gusut kasus ini. Sekali­gus beru­pa sindi­ran kepa­da pemer­in­tah Indone­sia, bah­wa di dunia nya­ta ia tak memi­li­ki keseriu­san untuk men­gungkap keja­hatan HAM dan menelusuri kepas­t­ian nasib aktivis-aktivis yang dicu­lik. Pada­hal hilangnya para aktivis sudah dira­maikan media, bahkan sam­pai diangkat dalam musik dan dra­ma. Sedan­gkan keber­adaan mere­ka terus-menerus dicari jawab­nya oleh mas­ing-mas­ing kelu­ar­ga dan berba­gai lem­ba­ga dalam aksi Rutin Kamisan.

Sudah cukup lama, seti­ap Kamis para orang tua, kawan, saudara, sim­pati­san, wartawan berkumpul di hada­pan Istana Negara meng­gu­nakan payung hitam seba­gai sim­bol sekali­gus mem­per­tanyakan ke mana para aktivis yang hilang itu.” (Chu­dori, 2017: 318)

Karya sas­tra pas­ca-Orde Baru, ter­da­p­at semacam kecen­derun­gan eksesif untuk men­do­brak ketabuan dan nilai moral yang berbicara ten­tang kedik­ta­toran pemer­in­tah. Pun per­i­hal sek­su­al­i­tas oleh perem­puan seba­gai sub­jek uta­ma. Yang sam­pai sekarang tetap diang­gap tabu. Ini biasanya dilakukan secara mem­berontak dan seo­lah-olah pen­garangnya den­gan sen­ga­ja men­cari-cari tema dan cara penyam­pa­ian yang menge­jutkan pem­ba­canya. Leila berhasil mendeskrip­sikan sek­su­al­i­tas sedemikian rupa hing­ga pem­ba­ca dap­at merasakan­nya seba­gai suatu hal yang wajar ter­ja­di. Dalam nov­el Laut Berceri­ta sek­su­al­i­tas cukup berper­an. Hubun­gan seks yang dicer­i­takan adalah seks yang adil. Mungkin sekali­gus cara Leila untuk menge­dukasi pem­ba­canya bah­wa seks bukan per­i­hal supe­ri­or-infe­ri­or, seks adalah kenikmatan bersama. Mara dan Alex sal­ing sal­ing bersep­a­kat untuk men­ca­pai tataran kenikmatan yang sama.

Pem­bicaraan men­ge­nai ketabuan sek­su­al­i­tas barang kali digu­nakan sekali­gus seba­gai alat pop­u­lar­i­tas. Bagaimana Ayu Uta­mi men­go­lah tabu sek­su­al­i­tas pada Saman dan Larung, juga nov­el Eka Kur­ni­awan den­gan sek­su­al­i­tas adalah perbin­can­gan dom­i­nan. Jan­gan-jan­gan meny­isip­kan pra­hara sek­su­al­i­tas pada jenis sas­tra semacam ini hanya berfungsi untuk mem­bu­at­nya laku keras, seper­ti lar­is­nya nov­el-nov­el mahakarya nov­el­is-nov­el­is sebelum­nya. Atau memang sen­ga­ja dike­mas sete­lah meli­hat pola pasar, den­gan mem­per­tim­bangkan sel­era pembaca.

Leila melukiskan per­se­tubuhan secara rin­ci, tan­pa unsur mesum. Sehing­ga penyeder­hanaan­nya men­go­lah sek­su­al­i­tas berhasil mem­bu­at pem­ba­ca mem­per­tanyakan nilai-nilai moral yang dipegangnya sekali­gus menyadari beta­pa nilai-nilai terse­but tidak memadai. Apala­gi tang­ga­pan umum bah­wa sek­su­al­i­tas yang di luar pernika­han diang­gap melang­gar nor­ma, meskipun berdasarkan pada keing­i­nan ked­ua belah pihak perem­puan dan laki-laki. Leila tan­pa ragu menarasikan bagaimana Laut melepas keper­jakaan­nya. Seks bagi Laut malah hal yang menge­ce­wakan. Fan­tasi bah­wa seks akan dah­sy­at dan meledak-ledak, nyatanya hanya berlang­sung sepersekian detik. Laut sangsi akan gam­baran ade­gan seks yang ada pada film dan nov­el, ia tidak merasakan seks yang can­tik, bergelo­ra, dan meng­gun­cang. Antite­sis yang melun­turkan kon­struk­si sek­su­al­i­tas seba­gaimana yang ker­ap dijumpai pada film porno.

Seks yang ter­ja­di pada masa per­tum­buhan biasanya menge­ce­wakan kare­na ter­lalu banyak fan­tasi bah­wa hubun­gan seks akan dah­sy­at dan meledak-ledak. Terny­a­ta keti­ka kali per­ta­ma aku men­galaminya bersama pacar per­ta­maku, aku sama sekali tak tahu bah­wa ‘peri­s­ti­wa’ itu bisa sele­sai hanya dalam wak­tu beber­a­pa detik. Bagaimana film-film dan nov­el menggam­barkan ade­gan seks begi­tu rupa sehing­ga terasa can­tik, bergelo­ra, sekali­gus meng­gun­cang? Apakah mungkin seks begi­tu rupa sehing­ga terasa can­tik, bergelo­ra, sekali­gus meng­gun­cang? Apakah mungkin seks sebaiknya hanya dilakukan den­gan orang yang san­gat kita cin­tai?” (Chu­dori, 2017: 120)

Mem­bin­cangkan Laut Berceri­ta, rasanya eman jika sebatas ter­taut pada pra­hara sosial-poli­tik. Per­spek­tif makanan juga diangkat dalam nov­el ini. Rupa­nya, “makanan” adalah gaya Leila, pada nov­el Pulang, ia juga mem­bin­cangkan per­i­hal makanan. Makanan tradis­on­al, seper­ti gulai tengk­leng dan gudeg tidak hanya dijadikan pelengkap “sekadar ada”, tapi juga ada usa­ha untuk men­ge­nalkan bagaimana makanan itu berpen­garuh pada kon­disi psikol­o­gis tokoh-tokoh dalam ceri­ta. Bagaimana Laut merindukan aro­ma makanan-makanan itu, pun saat ia terku­lai lemah dalam penyeka­pan. Ingatan akan makanan itu mem­bawa Laut pada kenan­gan pada ibu bapaknya. Atau sekadar sepo­tong daun jeruk yang men­gan­tarkan pada kepu­lan asap dapur dan ruti­ni­tas di atas meja makan. 

Demikian yang ter­ja­di pada kelu­ar­ga Laut sete­lah ia hilang. Tra­disi di hari Ming­gu pagi men­goy­ak kon­disi batin Ibu dan Bapak Laut. Mere­ka memasak makan malam sam­bil menung­gu kedatan­gan Laut. Sedan­gkan di sisi lain, Mara remuk hati menyak­sikan tingkah ked­ua orang tuanya. Bahkan bertahun-tahun sete­lah Laut tan­pa kabar. Empat tahun sam­pai Bapak Laut mening­gal, pir­ing makan Laut tak per­nah ters­ingkir dari meja makan.

Kuli­hat, seper­ti biasa, seper­ti pekan-pekan sebelum­nya, den­gan ter­tatih-tatih bapak mulai menut­up meja dan mele­takkan empat pir­ing makan: satu untuk bapak, satu untuk ibu, satu untuk mas laut, dan satu untukku. Aku berpu­ra-pura per­misi untuk ke kamar man­di dan akan segera bergabung lagi den­gan mere­ka. Ibu men­gang­guk sam­bil berpe­san agar jan­gan berla­ma-lama, kare­na barangkali mas laut akan akan datang dan gudeg ini lebih enak dis­an­tap saat masih panas.” (Chu­dori, 2017: 264–265)

Gudeg dalam nov­el ini juga berbicara ten­tang nasib orang kecil. Esai foto jepre­tan Alex tak hanya mem­bangk­itkan sel­era makan Mara, tapi sekali­gus empati atas ker­ja keras si ibu dalam foto yang hanya mem­per­oleh uang seadanya. Alex men­jadikan makanan seba­gai sub­jek potret­nya. Di kamarnya, Alex mema­jang foto ibu pen­jual gudeg ter­tua di Malioboro dan ibu pen­jual jamu di dekat Sayegan. Makanan, lagi-lagi seba­gai alat komu­nikasi Mara kepa­da Laut melalui surat ima­ji­natif. Mara mengi­las balik saat kelu­ar­ga mere­ka di meja makan. Bagaimana si ibu menghi­dan­gkan makanan kesukaan Laut, nasi tim­lo, gulai tengk­leng, gudeg, hing­ga brongkos.

Detik-detik kri­tis sosial-poli­tik telah ter­lalui, has­rat nov­el den­gan sem­brek pra­hara di dalam­nya ten­tu bisa memenuhi has­rat sas­trawi Leila untuk mengisahkan dimen­si-dimen­si lain Indone­sia. Ingatan-ingatan kem­bali dis­adark­an, yang tak sadar diu­payakan ter­sadar. Ting­gal bagaimana Laut Berceri­ta berkem­bang di dunia lep­as dan meng­ger­akkan sejarah-sejarah lewat komen­tar-komen­tar pembacanya.