Suratku untuk-Mu
Wahai Tuhan penguasa segala Engkau menciptakan semua Pasti ada maksud tujuannya Sebenarnya, kanker ini untuk apa?
Aku: Bagian Darimu
Tadah Ruah Asmara Ada kerutan di kening sujudku Yang terbiasa bisu menunggu Turunnya tangis kepada malam Hilang akalku untuk rangkai kartika Yang muncul dan berakhir merangkai kata ketika
Sebilah Rasa Sadar
Kala ibadahku sudah goyah Tasbihku telah diam Sujudku mulai jarang
Harga Nyawa Tak Lagi Ada
Aku melihat bayangku dari pintu kaca itu Tak ada lagi yang dapat kugenggam, uang receh pun habis tak tersisa Utang kian menumpuk Kupertaruhkan semua raga hingga ambruk Tutup satu, buka yang baru
Puisi, Juli, dan Sapardi
/1/ Pada puisi, ia mengabdi Diserahkannya segenap ruh diri kepada larik kata itu Pada puisi, ia mengabadi Diikhlaskan yang fana diserap rima puisi-puisi itu.
Menggugat Suara Pesuruh
Saat keresahan bergema nyaring di sudut-sudut jalan menggelegar bak nyanyian serentak Di balik kursi berbalut kulit hitam tiada yang mendengar Frekuensi ketidakpercaayan melintas batas melodi yang diserahkan Seakan hilang tak sanggup menembus gendang telinga para pesuruh yang terhormat
Sila yang Terlupa
Sudahkah kau ingin menolak melupa Hari lahirnya dasar negara Yang membawa negara menjadi tertata Hingga berkumandang suara merdeka
Aku Belum Pernah Mati
Kau pikir siapa Tuanmu? Kau lupa siapa Tuhanmu? Apa kau amnesia siapa pelopormu? Kalian lahir dari rahimku
Sapardi Lupa Pernah Lahir
Kehidupanku bak ragu yang menggerutuDi antara sekat rintihan hujan di bulan JuniKau mengenggam angan yang telah lama usaiKematian Sapardi sungguh berat bagi mereka yang terwakilkan kata-katamuTak ada kisah menyeramkan kecuali kata-kata membuat dia menetes
Sang Hijau Tanpa Haknya
Aku dulu dikenal akan hamparan kehijauan Nan dikenal akan hamparan pepohonan Menjadikan sebagai mata kebutuhan Semenanjung hati setiap insan Tempat yang penting dalam kehidupan ini