(Simo, Kedung­waru, Tulungagung)

Kabut meng­gan­tung di gunung. Men­tari meng­in­tip di timur. Para lela­ki men­gangkat bahu ̶  berde­cak kagum pada peman­dan­gan itu ̶ lalu menyian­gi sawah den­gan kegem­bi­raan. Telun­juk mere­ka menun­juk ham­paran anuger­ah yang menyala di depan mata. Padi men­gun­ing di sep­a­n­jang ham­paran dan istri mere­ka menum­buk robusta.

Dukuh Simo berdiri kokoh di padi dan kopi. Sun­gai Ngrowo men­galir di tepi ̶  men­gairi sawah dan ladang. Gubuk ber­ja­jar di jalan berbatu. Atap lon­tar mem­bat­asi hujan dan bilik. Ban­gu­nan itu berkom­bi­nasi den­gan jati dan rotan.

Deru mesin ter­den­gar. Cakrawala menam­pakkan segerom­bol jip berpenumpang pasukan.

Komu­nis!” pekik seo­rang lelaki.

Apa?”

Lari! Ndis”, tarik Daryan. Langkah mere­ka berjibaku den­gan lumpur.

Apa?”

Tan­pa basa-basi ked­ua lela­ki itu melom­pati pem­bat­as. Riak air memer­cik ke semua sisi dan men­cip­takan gede­bum. Mere­ka bersusah payah melin­tasi sun­gai yang airnya men­galir keruh. Tubuh ked­ua lela­ki itu basah. Di seberang, peman­dan­gan aneh ter­li­hat ̶ segerom­bol jip merangsek ke dukuh mereka.

Kena­pa mem­bawaku ke sini, Yan?” tanya Gend­his yang eng­gan melangkahkan kakinya. Mata bere­ka berte­mu. Argu­men telah berg­erom­bol di benak mere­ka. Semua ter­pec­ah oleh rim­bunan bam­bu yang mem­beri gemerisik tatkala angin melewatinya.

Daryan merasakan jan­tungnya meledak-ledak. “Bodoh!”, timpalnya.

Ini tem­pat tera­man. Jika komu­nis meli­hat­mu mere­ka pasti men­em­bak­mu, Ndis.”

Tiba-tiba sebuah tem­bakan mele­jit. Pelu­ru sena­pan meng­hatam ruas bam­bu. Tem­bakan ked­ua menyusul, meno­hok betis Gend­his dan memun­cratkan darah ke Daryan. Den­gan sigap, Daryan mem­bo­pong per­ja­ka itu ke hutan.

Ten­tara itu akan mem­bunuh kita!” rengek Gendhis.

Kena­pa masuk ke sini, Yan?”, lan­jut­nya. “Aku bahkan tidak bisa melihatmu.”

Kege­la­pan menye­limu­ti mere­ka. Sinar men­tari tak mam­pu men­em­bus rerim­bunan daun bambu.

Diam!”, Daryan mengikat luka lela­ki itu den­gan ikat kepalanya. Tan­gan­nya merasakan kucu­ran darah yang merem­bes ke kain tersebut.

Kita aman, Ndis, itu Daryan. Asal tau saja, bam­bu ini men­ga­ha­lan­gi pelu­ru itu. Saya yakin mere­ka tidak akan berani kesini.”

Daryan men­cip­takan ger­akan aneh, “Tung­gu ya, Ndis”, katanya sem­bari menepuk pun­dak lawan main­nya. Lalu, dia per­gi seo­rang diri.

Gend­his mer­aung. Bibirnya tak hen­ti memang­gil nama Daryan. Lela­ki itu berusa­ha mengiku­ti langkah cepat lela­ki yang lain.

Pin­tar­lah sedik­it, Yan”, dia meng­gerutu. “Jika mere­ka tidak berani kesi­ni, apa yang mem­bu­at­mu berpikir aku berani ke sini. Hutan ini angk­er. Kau pasti tau men­ge­nai siluman macan putih yang jahat itu, kan?” Gend­his bicara seo­rang diri. Kemu­di­an Lela­ki itu men­jer­it. Seketi­ka gera­man dan auman mengge­ma di hutan.

Hari­mau!”, sen­tak Gend­his. Dia menga­mati kege­la­pan yang mel­ingkupi dirinya. Dia men­co­ba lari, tapi hutan itu seper­ti kelam­bu tan­pa pintu.

Ya Tuhan”, Gend­his mer­ingkuk seo­rang diri. Semi­lir angin mera­suk ke dalam tulang-belu­lang lela­ki itu. Piki­ran­nya terus mer­a­cau. “Ya, Tuhan”, dia mer­in­tih. “Tia­da tuhan selain Engkau, Ya Allah”, pujinya.

Lela­ki itu menangis. Dia teringat sha­lat dan mati.

Mata­hari tak ter­li­hat bahkan dia tak tahu kem­anakah arah barat. Seketi­ka cahaya putih meman­car diantara ruas bam­bu. Gend­his mengiku­ti pan­car­an itu. Sebuah batu besar bersi­nar dalam kege­la­pan ̶ sebe­sar seuku­ran anak dom­ba. Ben­tuknya aneh dan  tak berat­u­ran, yang semakin mem­per­je­las bah­wa itu adalah batu.

Watu murup diantara rerim­bunan bambu

Maha suci Allah,” bisiknya.

Gend­his men­gusap tubuh­nya den­gan debu. Bibirnya berge­tar mengu­man­dan­gkan lafal azan. Kemu­di­an salat untuk wak­tu ashar dan men­gang­gap batu terse­but adalah penun­juk arah kiblat.

Wak­tu berlalu. Cahaya itu mati. Gend­his mer­ingkuk dalam pedih dan kesendiri­an. Kemu­di­an sinar itu kem­bali. Gend­his menunaikan sha­lat­nya lagi ̶ Magrib  ̶ hing­ga dia kem­bali Ashar.

Tiba-tiba sebuah cahaya berkedip di tem­pat yang jauh. “Ndis, Gend­his!” suara Daryan mengge­ma. Son­tak, lela­ki itu mer­aung. Mem­inta lela­ki lain men­e­mukan­nya disini.

Syukurlah”, bisiknya. Daryan mem­bo­pong Gend­his mele­wati hutan bam­bu. “Komu­nis sudah per­gi. Simo aman, Ndis, kata Daryan”.

Gend­his merasakan udara mema­su­ki paru-parun­ya. Di seberang sun­gai, dia meli­hat Dukuh Simo menam­pakkan bekas huru-hara yang besar.

Maaf mening­galka­n­mu kemarin, Ndis. Asal tau saja, aku berusa­ha men­car­imu. Tapi baru sore ini aku menemukanmu.”

Tidak apa-apa”. Akhirnya dia bicara. Gend­his mencer­i­takan pen­gala­man­nya di hutan.

*****

Sejak itu, Mbah Gend­his mem­beri nama batu itu seba­gai watu murup yang berar­ti batu bersi­nar, tutur Pak Karyo. Dia menge­bulkan asap sigaret di bilik. “Keja­di­an itu ter­ja­di di tahun enam lima, Nduk. Saat itu adalah seran­gan PKI di bulan oktober.

Lela­ki seten­gah baya itu menyeruput kopinya. Bibirnya komat-kamit. Tatkala dia kem­bali berceri­ta, “Batu itu benar-benar mam­pu menan­dakan wak­tu sha­lat, Nduk. Seo­lah azan, lalu mati.”

Asri merasakan aro­ma mist­ik disini.

Batu itu sung­guh religius”, ceri­ta Pak Karyo. Namun sejak itu, hutan terse­but di babat oleh orang desa. Masyarakat berani meman­faatkan tum­buhan itu, ya kare­na Mbah Gend­his. Gubuk yang awal­nya ter­bu­at dari jati, kemu­di­an di gan­ti den­gan bam­bu. tapi ̶ dia meng­gan­tung kali­mat­nya. “Keti­ka hutan itu gun­dul, sinar mata­hari meny­i­nari batu itu. Sejak itu watu murup tidak per­nah bersi­nar sedikitpun.”

Luar biasa,” hanya kali­mat itu yang mam­pu kelu­ar. Asri merasakan doron­gan besar atas keja­di­an terse­but. Dia bang­ga pada dukuh asalnya.

Ya, Pak karyo men­gang­guk. Oleh kare­na itu, mari, kita cin­tai dukuh ini, Nduk.”

Per­caka­pan itu berakhir den­gan ters­ingkap­nya seba­gian sejarah dukuh.

 

**Tamat

**Fik­tif belaka

-