Gedung putih. Ser­ba putih dan ter­atur, rapi. Lan­tai mengk­i­lat, per­abot mewah, hala­man luas, licin. Seti­daknya itu yang kuli­hat dari balik jen­dela, yang nam­pak begi­tu indah. Aku mere­nung sendiri, meli­hat sek­i­tar yang men­jadikanku liyan. Uku­ran jen­dela tem­patku memelo­tot ham­pir ser­a­tus kali tubuhku. Berlapis besi yang dibu­at mirip rangka­ian bun­ga mel­ingkar di semua bagian kaca.

Tidak ada keing­i­nan dalam otakku dilahirkan di tem­pat suci dan megah ini. den­gan orang-orangnya yang rapi, ber-jas, sep­a­tu mengk­i­lat, baik laki-laki ataupun perem­puan­nya. Keme­janya seper­ti baru, selalu. Tidak per­nah ter­li­hat gem­bel seper­ti di seberang pagar kokoh. Pemisah aba­di yang terus melanggengkan jarak mewah dan kumuh. Kuli­hat di balik pagar pem­bat­as, ada si kumuh men­didik anaknya untuk mem­ben­ci si kaya. “Orang kaya selalu som­bong nak. Jan­gan kau jadi kaya.” Tapi aku merasa tidak nya­man, bera­da di atas orang-orang rapi ini. Bere­but predikat rapi untuk dise­but terpandang.

Tiba-tiba aku merasa ter­an­cam dan tergeli­tik ke bawah, mele­wati pen*s, sam­pai ke ujung eko­rku. Tan­pa bisa ku kon­trol, kujatuhkan sebu­tir tahi. Berwar­na hitam pekat, dan hanya sedik­it putih di pangkal. Naas benar, tahiku men­ge­nai sep­a­tu mengk­i­lat seo­rang pria berdasi. Dia sedang meli­hat ade­gan ran­jang sep­a­sang spe­sies homo sapi­ens, di ben­da kotak yang mirip talenan.

Tak kusang­ka, dia mengutuk-ngutukiku, “an(sensor)ing si(u)lan, dasar binatang si(u)lan, mati saja kau.…”  teri­ak pria yang tak bisa kutak­siri usianya.

Sumpah ser­a­pah­nya lebih han­cur dari keme­ja camp­ing di seberang pagar ting­gi tadi. Tidak seper­ti paka­ian­nya yang rapi dan ter­hor­mat. Mulut dan otaknya tidak lebih berhar­ga dari tahi yang kujatuhkan baru­san. Ah, bukan lagi dia yang merasa menye­sal, aku yang lebih menye­sal kare­na tidak bisa men­gontrol tahiku yang berhar­ga, hanya untuk ter­jatuh di sep­a­tu orang kaya sombong.

Kemu­di­an aku men­gelu­arkan den­gung suara khasku. Orang dis­ana, di bawah sana, yang menden­gar suaraku ter­gang­gu. aku, dan mere­ka ten­gah bera­da di ruan­gan seten­gah lingkaran, den­gan meja pan­jang dan lebih mewah dari yang lain. Yaa.. kami ada dalam ruang seten­gah lingkaran bert­ingkat. Matanya liar men­cari, mulut­nya tak jauh beda den­gan si(u)lan si pengumpat, yang menyumpahi aku dan tahiku. Sekarang aku benar-benar terancam.

Namaku Cicav, si cicak kekar. Seti­daknya dalam bangsaku, mere­ka men­gang­gap­ku kekar dan berani. Aku­lah pejan­tan tang­guh yang men­gaw­i­ni banyak cicak beti­na di gedung megah ini.

Bukan yang per­ta­ma ini saja aku lari tung­gang lang­gang dicari si kaya. Usi­aku lebih tua enam tahun ting­gal di istana dari dia. Sak­ing lamanya aku ting­gal di istana, aku tahu raha­sia ker­a­jaan. Aku­lah si perekam. Aku tahu semua ten­tang si Kaya VI dan si Kaya VII yang saat ini men­ja­di raja.

Aku masih men­gen­dap di balik luk­isan raja. Telin­gaku terasa pen­gap di sini. Orang-orang di balik sana terus mem­bin­cangkan suara bis­ing pem­ban­tu rumah tang­ga provin­si, dan pem­ban­tu umum ibu kota negara Indone­sia seben­tar lagi. Begi­tu jika tidak salah, selalu seper­ti itu arah pem­bicaraan mere­ka. Ada yang semakin beringas menyuarakan pen­da­p­at, ada juga yang tidak bersel­era men­gatakan satu kat­a­pun. Mungkin sudah muak, jen­gah meli­hat dra­ma yang memang diatur sedemikian rupa. Dib­ingkai den­gan kein­da­han dan keme­wa­han, sen­tuhan ter­akhir adalah jan­ji-jan­ji yang muluk.

Aku juga tak lagi bersel­era meli­hat set­tingan indah itu. Kupu­tuskan untuk kem­bali mer­ayap menu­ju kamar para office boy, mening­galkan orang-orang yang juga mengutukiku. Kule­wati jen­dela indah yang tadi, ter­li­hat dewa Ra meny­eret mata­hari menu­ju peraduannya.

Sam­pailah aku di kamar uku­ran 3x4 yang penuh sesak oleh barang-barang. Apala­gi almari besar di samp­ing kanan. Namun di balik almari itu­lah akhirnya aku berseme­di. Beber­a­pa cat tem­bok terkelu­pas, tak tersen­tuh nalar, ada ruan­gan buruk rupa di dalam gedung indah dan megah ini. Di sini aku meng­gauli biniku.

Untuk apa pun­ya pemer­in­tah kalau hidup terus-teru­san susah?”

Aku hanya berdoa dalam semediku, semoga saja, sia­pa-pun yang ter­pil­ih akan mem­beri kebaikan. Bukan hanya untuk war­ga Jakar­ta, tetapi juga kepa­da bangsa cicak seper­tiku. Sebab aku memi­li­ki banyak isteri, ini hanya berlaku pada bangsaku. Bangsaku tak per­nah bela­jar paham fem­i­nism. Sebab tak per­nah ada yang merasa di atas atau di bawah, selalu saja damai dan setara.

Tan­pa banyak suara, ada seo­rang paruh baya di ruan­gan yang kutem­pati, menyu­lut rokok, Mulai memindahkan barang-barangnya. Apa yang dia lakukan? Tak sem­pat aku memikirkan lebih lan­jut. Tiba-tiba dia men­dorong almari yang men­ja­di bilik persem­bun­yianku. Aku ter­gencet, dan sekarang sekarat.

Desem­ber 2016

Meyaki­ni berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menya­mar seba­gai manu­sia biasa.