Penulis : Jostein Gaarder
Pener­bit : Mizan
Pen­er­jemah : Andityas Prabantoro
Proof­read­er : Eti Rohaeti dan Firmansayah
Desain­er Sampul : Andreas Kusumahadi
Genre : Fik­si, young adult, moti­vasi, sick lit, fan­ta­sy, don­geng, spir­i­tu­al, filsafat
Diter­bitkan : Juni 2015 (Edisi Ked­ua, Cet: 1)
Jum­lah halaman : 210
Nomor ISBN : 978–979–433-886–5
Kolek­si : Per­pus­takaan LPM DIMeNSI 

…rasanya aku merasa segala sesu­atu jauh lebih baik sete­lah aku sak­it. Seo­lah-olah dunia ini ter­li­hat lebih jelas keti­ka kita bera­da di tepi­annya.” Cecil­ia Skotbu

Cecil­ia men­ja­di tokoh uta­ma dalam cer­pen karya Jostein Gaarder berjudul Dunia Cecil­ia. Cer­pen yang seba­gian besar berisi dia­log antara Cecil­ia dan malaikat, Ariel nama malaikat sur­gawi – penyebu­tan Gardeer – itu.

Menya­jikan berpikir men­dalam ten­tang hakikat ke-ada-an dan peng-ada-an. Dalam ben­tuk nov­el, men­jadikan berpikir ten­tang fil­safat lebih menarik dan men­galir, den­gan bahasa yang ringan –walaupun ter­jema­han. Nov­el ini menya­jikan pemiki­ran yang jauh dari ranah mainstream.

Menyuguhkan pemiki­ran yang kelu­ar dari com­mon sense. Mis­al­nya dalam dia­log antara Cecil­ia dan malaikat sur­gawi Ariel ten­tang ruh. Manu­sia memi­li­ki banyak ruh, den­gan pen­guatan argu­men ‘bagaimana men­je­laskan memikirkan sesu­atu yang tak ingin dipikirkan?’

Cecil­ia digam­barkan seo­rang gadis yang beran­jak rema­ja dan menderi­ta sak­it parah. Tak dije­laskan penyak­it apa yang sedang dinikmati Cecil­ia, sebab nov­el ini bukan menekankan kepa­da itu, melainkan pada dia­log yang kemu­di­an dise­but Gardeer seba­gai dia­log sur­ga dan bumi.

Cecil­ia juga istiqom­ah menulis. Diari Cina –penyebu­tan di nov­el – tem­pat ia menuliskan beber­a­pa kali­mat refleksinya. Di Diari Cina jugalah pada akhirnya ia merangkum dia­log antara dirinya den­gan malaikat.

Cecil­ia memi­li­ki kelu­ar­ga yang taat pada aga­ma. Oleh sebab itu, latar dari keselu­ruhan ceri­ta adalah saat Natal. Sebab Cecil­ia sak­it, ia selalu berbar­ing di ran­jang loteng di lan­tai atas. Men­gasah indera-indernya. Sam­pai dia per­caya bisa meli­hat apa yang ter­ja­di di ruang bawah hanya den­gan mendengar.

Dia­log yang dis­ug­uhkan den­gan kemasan khas fil­safat. Men­cari kebe­naran sam­pai sedalam­nya. Hing­ga akhir ceri­ta, hanya Nenek –ibu dari ibu Cecil­ia – yang menden­garkan dan menang­gapi ceri­ta-ceri­ta dan pen­gala­man metafisikanya den­gan Ariel. Namun Nenek tidak per­nah tau Cecil­ia berdia­log den­gan sebuah malaikat.

Menu­rut Ariel – sudah hidup beribu-ribu tahun – Neneklah orang dewasa yang masih memi­li­ki seman­gat anak-anak. Nenek memang orang dewasa yang bijak­sana. Taat dan ser­ing mem­ba­ca bibel.

Aku sela­manya nggak mau jadi dewasa. jadi, aku nggak bakal mati! Nggak pernah!”

Kemu­ra­man menya­put wajah si malaikat. Ia berka­ta, “Kau harus  berusa­ha untuk tidak putus hubun­gan den­gan anak kecil di dalam dirimu. Nenek tidak. Ia bahkan selalu bisa menirukan wajah badut hanya untuk mem­bu­at­mu tertawa, iya, kan?”

Per­tanyaan-per­tanyaan kekanak-kanakkan seper­ti “lebih dulu mana? Ayam atau telur?” dikem­bangkan men­ja­di “lebih dulu mana? Orang dewasa atau anak-anak?”. Orang dewasalah yang melahirkan anak-anak atau seba­liknya, anak-anak yang tum­buh men­ja­di orang dewasa?

Ariel, malaikat sur­gawi –men­gaku tidak per­nah berdus­ta – men­gatakan kepa­da Cecil­ia bah­wa Adam dan Hawa muncul dalam keadaan anak-anak. Kemu­di­an digo­da ular untuk memakan buah penge­tahuan, maka mere­ka ‘tum­buh’ men­ja­di dewasa den­gan darah dan dag­ing yang makin ‘tum­buh’ pula.

Semakin banyak mere­ka makan, semakin dewasa mere­ka jadinya. Begi­t­u­lah, mere­ka per­la­han-lahan terusir dari sur­ga masa kanak-kanak mere­ka. Anak-anak nakal itu begi­tu lapar akan penge­tahuan sam­pai-sam­pai akhirnya mere­ka harus kelu­ar dari surga.”

Ariel berwu­jud anak-anak. Ham­pir seke­cil adik Cecil­ia –Lars – namun tak beram­but kepala, tak ada bulu mata, alis, ataupun bulu kaki dan bulu yang lain. Sebab Ariel tidak berdarah dan berdag­ing. Kulit­nya putih bersih bahkan sedik­it pucat namun ter­li­hat san­gat lem­but. Den­gan mata biru indah mirip per­ma­ta. Dialah Ruh ilahiyah. Tak laki-laki maupun lawan­nya. Berjubah putih dan berte­lan­jang kaki den­gan langkah ringan seper­ti tak meng­in­jak lantai.

Gardeer menggam­barkan malaikat –mem­in­jam bahasa Xeno­phanes – Antropo­mor­fism atau dalam defin­isi yang lebih bisa menggam­barkan adalah per­son­ifikasi manu­sia. Artinya malaikat jika dia­mati den­gan inder­awi atau dibayangkan den­gan rasio adalah seper­ti manu­sia yang memi­li­ki keku­atan magis.

Ariel adalah anak-anak, ya, sebab anak-anak selalu hal luar biasa. Mere­ka luar biasa meli­hat dunia. Sedan­gkan orang dewasa sudah ter­biasa sehing­ga men­gang­gap biasa dunia yang sebe­narnya luar biasa.

Perde­batan awal mere­ka selain ten­tang anak-anak, ten­tang kelamin. Men­ga­pa hanya dibu­tuhkan dua kelamin untuk men­cip­takan manu­sia baru? Cecil­ia mengi­ma­ji­nasikan ada lebih dari dua kelamin. Semi­sal tiga atau empat jenis. Sehing­ga akan lebih banyak manu­sia yang sal­ing menyayangi.

Pada usia yang masih bisa dibi­lang kanak-kanak, Cecil­ia dibu­at sedemikian rupa oleg Gardeer mam­pu berpikir yang lain dari­pa­da yang lain. Mem­bu­at dia­log den­gan malaikat yang juga kanak-kanak itu men­ja­di menarik untuk terus dibaca.

Cecil­ia masih belum per­caya sepenuh­nya den­gan adanya malaikat. Sia­pa yang ada dan sia­pa yang sebe­narnya tidak ada? Bagi Cecil­ia, malaikat adalah maya. Sedan­gkan bagi Ariel, manu­sialah yang maya dan tak konkret.

Ariel men­gang­gap dirinyalah yang aba­di. Sebab jika Ariel menen­dang sebongkah batu, kakinya men­em­bus batu. Batu tidak nya­ta dan manu­si­a­pun demikian. Manu­sia menu­rut Ariel hanyalah datang dan per­gi, tidak abadi.

Dia­log-dia­log antara malaikat dan Cecil­ia seper­ti meng­gir­ing pem­ba­ca kepa­da per­tanyaan-per­tanyaan lain yang tak ter­je­laskan dalam dia­log. Mem­bu­at bertanya-tanya, atau lebih seder­hananya menyadark­an kepa­da sesu­atu yang sebe­narnya sudah wajar dan memang demikian ter­ja­di. Seper­ti pada per­tanyaan di atas, ten­tang sia­pa yang lebih dulu, ten­tang sebab adam dan hawa terusir dari sur­ga, atau ten­tang den­gan wujud apa mere­ka ke bumi, baik adam dan hawa atau para malaikat.

Mere­ka juga bertukar piki­ran sur­gawi dan duni­awi, mem­ba­has perbe­daan-perbe­daan antara malaikat dan manu­sia. Berbe­da den­gan merasakan alat indera; penge­cap, per­a­ba, pen­den­garan, pen­gen­dus, maupun pengli­hatan. Malaikat tidak meli­hat den­gan mata. Dan merasakan segala hal fisik den­gan indera. Sedan­gkan manu­sia meng­gu­nakan semua indera sebab manu­sia berdarah dan berdaging.

Apa menu­rut­mu kau bisa meli­hat dalam mimpi?”,“Tapi, saat itu kau tidak meli­hat den­gan mata­mu kan?”

Kira-kira seper­ti itu malaikat meli­hat yang digam­barkan di Dunia Cecil­ia. Meli­hat adalah perte­muan antara ben­da den­gan pikiran.

Nov­el ini tidak ter­lalu menggam­barkan jelas pada zaman apa, kare­na menitib­er­atkan pada obrolan antara malaikat dan Cecil­ia ten­tang ke-ada-an dan peng-ada-an.

ada bagian penut­up, Keadaan Cecil­ia tidak digam­barkan jelas, mati atau masih sekarat. Beran­jak dari sak­it parah Cecil­ia, pem­ba­ca akan berpiki­ran bah­wa Cecil­ia mati atau dalam bahasa nov­el ini adalah K E L U A R.

Gardeen hanya menggam­barkan Cecil­ia bisa ter­bang den­gan Ariel dan den­gan ten­ang meli­hat tubuh­nya berbar­ing di kasur.

Secara garis besar, dari nov­el ini manu­sia lebih sem­pur­na diband­ing malaikat. Melahirkan ima­ji­nasi kemu­di­an men­syukuri diri dicip­takan seba­gai manu­sia. Menu­rut hemat saya, buku ini san­gat direkomen­dasikan untuk teman-teman yang ter­tarik den­gan fil­safat yang dibungkus den­gan sastra.[]

Meyaki­ni berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menya­mar seba­gai manu­sia biasa.