Malam ini aku menaku­ti wani­ta yang ber­jalan seo­rang diri. Kemu­di­an aku menangkap beber­a­pa pemu­da yang mabuk. Wujud­ku ̶ Ari­man ̶ mem­beri keku­atan yang mem­bu­atku seba­gai manu­sia super atau seba­liknya, monster.

Malam ini aku men­gawasi Romafi. Kuden­gar dia orang ter­akhir yang dite­mui Wirat­ma ̶ seti­daknya itu­lah yang dikatakan Ania. Lela­ki putih dan berku­mis itu, acap­kala adalah rivalku. Aku cukup mema­ha­mi karak­ter lela­ki berin­tegri­tas terse­but. Dia adalah lela­ki berkom­pe­ten­si, tapi Wirat­ma men­je­baknya di jalan yang mement­ingkan dirinya sendiri.

Aku mem­perki­rakan sekarang adalah pukul satu. Kaki dan tan­ganku cekatan meman­jat mahoni. Rumah ini mele­bar dan beber­a­pa patung dile­takkan di sudut. Dind­ingnya dis­e­limu­ti lumut dan mawar mem­b­ingkai sem­pur­na. Aku melom­pat. Men­con­gkel jen­dela dan masuk perlahan.

Pupil mataku mele­bar. Ruan­gan gelap, pen­gap dan ter­ci­um aro­ma busuk. Aku melangkah ke sisi yang lain. Lela­ki itu berba­lik. Dia memeluk ban­tal dan tidur. Aku segera mer­am­bat di dind­ing dan berusa­ha men­e­mukan petunjuk.

Eure­ka!” bisikku. Aku mengam­bil buku catatan yang ter­li­hat berbe­da. Kakiku men­em­pel di tem­bok semen­tara ked­ua tan­ganku mem­ba­ca hala­man di buku. “Ya, ini adalah buku yang dicer­i­takan Ania.”

Kemu­di­an mataku menyip­it keti­ka kuli­hat kun­ci yang dim­i­li­ki Wirat­ma. Aku berusa­ha meraih ben­da itu, tapi sesu­atu berg­er­ak dan seketi­ka ali­ran listrik menyen­gat tubuhku. Romafi men­dorongku ke lantai.

Mon­ster,” cecarnya. Dia kem­bali menyetrumku den­gan alat berben­tuk pensil.

Brengsek,” aku mengumpat. Tubuhku terasa lemas. Bahkan, aku tidak merasakan tan­gan dan kakiku.
Romafi berke­dut. Dia takjub meli­hat wujud­ku. “Kau adalah makhluk yang memi­li­ki peny­im­pan­gan DNA,” dia mem­beri infor­masi yang kusadari sem­i­ng­gu yang lalu. Romafi menen­teng tali dan mengikat diriku.

Aku mer­in­tih.

Bangsat!” Lela­ki itu mengumpat. Kau telah meng­han­curkan dan mengam­bil pen­e­muan Pro­fe­sor,” dia meng­hardik. Lalu, “Untunglah Pro­fe­sor telah mem­peringatkanku akan kedatan­gan­mu.” Kali­mat ini ter­den­gar memilukan.

Aku ter­man­gu. Butuh beber­a­pa menit mem­bu­atkan ter­sadar. Lalu aku menun­duk dan men­cip­takan raut wajah berbe­da ̶ aku harap dia tidak menyadari sia­pa aku.

Kena­pa kau mem­bu­at raut wajah semacam itu?” ocehnya. Romafi menat­ap­ku den­gan jijik.
Kemu­di­an aku meng­gan­ti raut wajahku. Kali ini alisku melekuk dan kutun­jukkan semacam seringai.

Apa yang kau lakukan, Mon­ster?” Dia man­at­ap­ku sem­bari meny­orotku den­gan sen­ter. Lalu ter­da­p­at keheningan sesaat, seo­lah dia meng­gali raha­sia terdalam piki­ranku. Kemu­di­an dia ragu dan berka­ta, “Apakah kau Arif?” Akhirnya Romafi menye­but namaku.
Saat itu­lah aku menyadari kebe­naran perkataan Ania, “lekuk wajah sese­o­rang teta­plah sama. Tulang teta­plah tulang dan tengko­rak tidak­lah tum­buh keti­ka dewasa.”
Sial!

Aku men­gangkat tan­gan dan kakiku. Keku­atanku per­la­han kem­bali. Tali ditubuhku ter­pu­tus. Romafi berusa­ha meny­erang den­gan sen­ja­ta yang menyeru­pai sebuah pensil.

Aku menghin­dar. “Gagal!” ujarku. “Sayang sekali, kau tamat.” Tan­ganku men­cengk­er­am lehernya, semen­tara kakiku meng­han­tam sen­ja­ta terse­but. Tubuhku men­dorong lela­ki malang itu ke tem­bok. Dia memekik, tapi tar­ingku menun­jukkan dia akan mati jika dia melakukan hal itu.

Lalu sese­o­rang mengge­dor pin­tu. Kami sal­ing menat­ap dalam piki­ran kalut.

Apakah kau baik, Rom?” tanya sebuah suara di sisi ruangan.

Romafi menat­ap­ku sesaat, lalu berge­gas men­jawab, “Ya, aku baik.” Dia menyadari lirikan mataku. “Aku mohon pergi­lah, Bu!” tambahnya.
“Kau yakin?” suara wani­ta itu kem­bali bertanya.
“Ya,” balasnya.
Kemu­di­an, suara terse­but beru­jar, “Pro­fe­sor sedang menung­gu­mu di depan.”

*****

Sil­fi memikirkan keper­gian Ari­man. Dia menat­ap dirinya di cer­min. “Aku menc­in­tainya. Apapun wujud yang dia mili­ki.” Gadis itu mel­ong­garkan piya­ma dan merebah.

Tan­gan mungilnya men­cengk­er­am botol yang ter­isi seten­gah. Cairan kun­ing yang mengisi dan berdiam di dalam­nya adalah penye­bab peny­im­pan­gan DNA.

Hanya setetes dan manu­sia berubah men­ja­di seekor mon­ster men­gerikan,” tuturnya. Sil­fi menyadari bagaimana cairan itu mem­beri keku­atan tak masuk akal di jang­ka wak­tu yang berbe­da. “Cairan ini adalah kutukan,” imbuh­nya dalam kegelisahan.

Piki­ran­nya terus meliar. Wirat­ma telah berusa­ha meng­hasilkan cairan yang sama, tapi dia hanya meng­hasilkan cairan jing­ga dan berbe­da. Orang itu adalah pem­bu­at cairan terku­tuk dan tak mam­pu mem­bu­at­nya kembali.

Sil­fi merasakan dia berdiri di sisi yang rapuh. “Sekarang yang kubu­tuhkan adalah infor­masi men­ge­nai cairan ini,” deliknya. Sesaat dia berpikir apakah sebaiknya dia mem­buang dan mem­bu­at Arif melu­pakan cairan yang mem­bu­at­nya seba­gai Ari­man. Tapi lela­ki itu mem­per­cayainya seba­gai penjaga.

Sil­fi mem­biarkan kelopak menelan matanya. Lalu pon­sel­nya berder­ing, “Halo,” dia men­gangkat pang­gi­lan tersebut.

Hai, Sil. Aku butuh ban­tu­an­mu,” terang Arif di tem­pat yang lain.

BERSAMBUNG

-