Hujan dan kenan­gan memang kom­bi­nasi yang indah. Ked­u­anya, sama-sama bisa datang tan­pa harus diun­dang dan ser­ing tak kun­jung hadir mes­ki san­gat dihara­p­kan. Hari yang indah penuh keba­ha­giaan, bisa teti­ba men­ja­di duka. Seketi­ka. Tak per­lu alasan yang rumit.

Hanya kare­na secara tidak sen­ga­ja, berpa­pasan den­gan orang yang sedang melan­tunkan sebuah lagu, mis­al­nya, bisa mem­bangk­itkan kenan­gan men­ge­nai man­tan yang begi­tu dikasi­hi dan ter­pak­sa per­gi. Men­gubah secara radikal senyum dan tawa yang sede­tik lalu berge­ma, men­ja­di kepilu­an mem­bawa ribuan beban duka.

Hujan sore ini pun begi­tu. Sia­pa sang­ka, hari yang sedari pagi dipenuhi terik men­tari, tan­pa men­dung dan per­tan­da apapun, teti­ba saja bergan­ti hujan. Sebe­narnya, perem­puan yang sedang bera­da di perten­ga­han usia 20-an ini pun juga tak mem­ben­ci hujan. Ia bahkan masih ser­ing menari bersama hujan hanya untuk bisa melepas segala penat dan berba­gi curhat bersama hujan. Ia peng­gi­la hujan.

Hanya saja, momen kali ini tidak tepat. Ia baru saja pulang dari acara di kan­tor desa sete­lah sehar­i­an men­ga­jar anak-anak usia seko­lah dasar yang tak pun­ya kesem­patan untuk berseko­lah. Yang mem­bu­at­nya rikuh den­gan datangnya hujan kali ini adalah, kare­na ia men­ge­nakan sete­lan keme­ja putih den­gan rok selu­tut war­na hitam dan tas pung­gung penuh buku. Ia lupa mem­bawa jaket. Kos­tum yang tidak ramah hujan, pikirnya.

Di atas sepe­da, ia men­gayuh sem­bari terus mem­per­hatikan seke­lil­ing jalan. Berharap men­e­mukan gubuk atau pohon yang cukup rin­dang untuknya bert­e­duh. Menye­la­matkan buku-buku yang semen­tara masih ter­lin­dung di dalam tas pung­gung, sekali­gus menye­la­matkan dirinya sendiri. Sebab, baju putih itu semakin tak mam­pu mem­per­ta­hankan kete­bal­an­nya kare­na air hujan. Mem­per­li­hatkan paka­ian dalam bagian atas­nya. Ia ter­lan­jur menang­galkan kaus yang biasa ia kenakan sebelum memakai keme­ja, sebab terik yang sedari pagi sudah men­em­bus angka 25 der­a­jat celcius.

Tapi sayangnya, sep­a­n­jang jalanan yang didom­i­nasi peman­dan­gan per­sawa­han dan hutan-hutan kecil, tak juga ada gubuk yang bisa ia jadikan tem­pat per­lin­dun­gan. Sedang rin­tik, terus mem­berikan seran­gan yang per­la­han menelanjanginya.

Ia sem­pat menyumpahi dirinya sendiri. Andai saja siang tadi, tak harus mener­i­ma undan­gan ke kan­tor desa untuk mem­p­re­sen­tasikan perkem­ban­gan seko­lah alam­nya demi men­cari tam­ba­han biaya, semua kesialan ini tak akan ter­ja­di. Sehing­ga, ia bisa menikmati per­jalanan pulang dipelukan hujan. Tetapi semua itu hanya bera­da dalam penye­salan dan jika-jika yang tak bisa dilawan.

Perem­puan berke­me­ja putih yang sedang bersepe­da di ten­gah hujan ini, adalah seo­rang lulu­san salah satu kam­pus ter­baik di Jakar­ta. Ia telah menye­le­saikan kuiah­nya sejak dua tahun lalu sete­lah men­em­puh pen­didikan sela­ma 7 tahun atau 14 semes­ter dan ham­pir difat­wa Drop Out.

Keti­ka kemu­di­an ia berhasil menye­le­saikan tugas akhir dan men­da­p­at kesem­patan men­ja­di wisu­dawati, ked­ua orang tuanya begi­tu baha­gia dan bang­ga. Mere­ka, yang ting­gal di Ban­dung, sudah sejak dua hari sebelum wisu­da, telah sam­pai di Jakar­ta. Kebe­tu­lan, mere­ka juga pun­ya rumah di sana.

Perem­puan ini, sebe­narnya dim­inta untuk ting­gal di rumah terse­but, tetapi ia meno­lak. Ia lebih memil­ih hidup menye­wa kamar kos dan sesekali tidur di kam­pus. Tan­pa listrik cukup, berka­sur tikar berban­tal buku, kadang tan­gan sendiri. Itu pun sete­lah aksi kejar-menge­jar den­gan satpam.

Ked­ua orang tuanya memang sen­ga­ja datang lebih awal untuk mem­per­si­ap­kan segala keper­lu­an wisu­da. Bahkan, ia dibelikan lima pasang kebaya, hanya untuk menen­tukan mana yang lebih cocok. Ibun­ya memang memi­li­ki sel­era fash­ion yang ting­gi. Mes­ki ia sendiri tak begi­tu peduli apa yang akan ia kenakan. Asal tubuh­nya tertutupi.

Bahkan, ia sem­pat berpiki­ran meng­gu­nakan kaus hitam dan celana jins biru. Toh, akan ter­tut­up oleh baju wisu­da, bukan? Pikirnya.

Ia memang anak yang cukup ban­del menu­rut uku­ran orang tuanya. Sejak ting­gal di Jakar­ta untuk kuli­ah, ia ser­ing kelaya­pan kelil­ing Jakar­ta. Bukan di mall atau café atau bioskop atau tem­pat-tem­pat nongkro­ng pre­mi­um lain­nya. Melainkan ke pasar-pasar tra­di­sion­al, ke daer­ah-daer­ah kumuh ping­gi­ran Jakar­ta, menelusuri sisi-sisi ban­taran kali Ciliwung.

Bukan kare­na tak memi­li­ki uang. Jika mau, ia bisa nongkro­ng di mall atau menon­ton bioskop kapan­pun dan den­gan sia­papun. Sebab, tak kurang dari lima juta rupi­ah uang saku per­bu­lan yang ia dap­atkan dari ayah­nya. Tapi mes­ki begi­tu, sebatang smart­phone pun ia tak punya.

Bukankah lebih menarik jika berke­nalan den­gan orang lain secara lang­sung? Inter­net memang mendekatkan dan mem­per­mu­dah, tetapi menumpulkan inst­ing manu­sia. Aku akan mem­be­linya jika aku sudah tak mam­pu men­gun­jun­gi kawan-kawan ku lagi,” ungkap­nya suatu kali saat teman-teman kam­pus­nya protes.

Ia tak ikut organ­isasi apapun di kam­pus. Tetapi berte­man akrab den­gan ham­pir semua aktivis organ­isasi di kam­pus. Sebab, ia memang dike­nal seba­gai perem­puan yang suka berte­man. Mes­ki hanya berpe­nampi­lan seder­hana tan­pa riasan, tan­pa hiasan. Lip­stick pun jarang mene­pel di bibirnya yang tip­is itu. Den­gan kaus oblong dipadu celana jins kadang celana kain war­na gelap den­gan ram­but teru­rai apa adanya, ia tetap men­ja­di perem­puan yang can­tik dan menawan.

Buk­tinya, puluhan lela­ki harus berse­dia sak­it hati kare­na mener­i­ma peno­lakan yang cukup menyak­itkan. Bukan kare­na uca­pan­nya yang men­giris, tetapi keje­nakaan dan kelen­tu­ran­nya meno­lak mere­ka. Sebab, sete­lah meno­lak laki-laki yang mem­intanya men­ja­di kekasih, ia pasti men­ga­jak mere­ka jalan-jalan, men­trak­tir makan dan secara rutin menya­pa­nya sela­ma sem­i­ng­gu penuh. Tujuan­nya, agar mere­ka tak rikuh dan tetap mau berte­man akrab seba­gaimana sedia kala.

Ia memang dike­nal seba­gai perem­puan yang aneh. Dan tak ada yang tahu bagaimana cara berfikirnya, dan men­ga­pa. Perem­puan ini, adalah mis­teri itu sendiri.

Sete­lah lulus dari uni­ver­si­tas ter­na­ma di Jakar­ta, ia mengiku­ti saran Ayah­nya untuk bek­er­ja di salah satu perusa­haan kelu­ar­ga. Ten­tu saja sete­lah melalui perde­batan pan­jang yang tak kun­jung sele­sai sela­ma satu ming­gu. Ia sebe­narnya bisa saja terus meno­lak dan terus mende­bat. Tetapi, ia kemu­di­an memu­tuskan untuk mener­i­ma kepu­tu­san orang tuanya seba­gai ben­tuk penghormatan.

Sete­lah bek­er­ja sela­ma enam bulan dan men­gala­mi dua kali masa pro­mosi, ia sudah men­ja­di salah satu man­ag­er bagian di perusa­haan asur­an­si milik kelu­ar­ganya. Seba­gai lulu­san Fakul­tas Ekono­mi Dan Bis­nis, ia diang­gap telah mam­pu bek­er­ja den­gan baik. San­gat baik, bahkan. Ter­buk­ti, sejak ia masuk men­ja­di pegawai, pen­da­p­atan perusa­haan terus meningkat. Nasabah mere­ka pun dari hari ke hari terus bertam­bah den­gan cukup sig­nifikan dan menye­bar bukan hanya di Jabodetabek, tetapi juga mulai masuk ke pasar Ban­dung dan Banten.

Ayah­nya san­gat senang den­gan hasil ker­janya. Sehing­ga, tepat satu tahun ia bek­er­ja, ayah­nya meny­atakan ber­jan­ji akan mengab­ulkan apapun per­mintaan putri per­ta­manya terse­but, seba­gai hadi­ah. Tan­pa di sang­ka-sang­ka, perem­puan itu mem­inta agar ia diizinkan untuk kelu­ar dari perusa­haan. Ia ingin per­gi ke jalanan lagi, men­e­mani anak-anak miskin dan men­ga­jari mere­ka baca tulis. Ayah­nya, ten­tu saja san­gat kaget. Perde­batan yang satu tahun lalu berlang­sung, kini terulang.

Namun, kali ini si perem­puan yang menang. Ia diizinkan untuk kelu­ar dari perusa­haan dan per­gi kem­ana pun ia suka. Ia kemu­di­an men­gatakan ingin per­gi ke Sulawe­si Utara, Kali­man­tan, Papua, dan pulau-pulau ter­lu­ar lain­nya. Ia ingin hidup dan ting­gal di sana bersama orang-orang yang ter­p­ing­girkan. Mere­ka yang sudah sejak merde­ka, terlu­pakan atau dilu­pakan Negara.

Den­gan berat hati, ayah­nya mem­beri izin, den­gan syarat, ia tak akan men­da­p­atkan uang dan ban­tu­an sepe­ser­pun jika tetap mau men­jalakan ren­canaya. Ayah­nya berharap ia akan men­gu­rungkan niat­nya sete­lah men­da­p­at anca­man. Tetapi tidak, ia mene­r­i­manya, bahkan den­gan tertawa penuh baha­gia memeluk ayahnya.

Dan di sini­lah ia sekarang. Men­gayuh sepe­da di ten­gah hujan den­gan keme­ja war­na putih yang telah men­em­pel di kulit tubuh dan mem­per­li­hatkan war­na kun­ing langsat kulit­nya dan paka­ian dalam war­na abu-abu. Sete­lah meng­habiskan wak­tu sela­ma enam bulan di Pulau Bin­tang, ia kini bera­da di salah satu desa di ujung utara Sulawe­si. Mem­ban­gun sebuah gubuk bam­bu bersama anak-anak yang tak bisa seko­lah. Men­ga­jari mere­ka baca, tulis, bercerita.

Ia tak pun­ya ide­al­isme yang ter­lalu muluk. Ia hanya ingin masyarakat yang sela­ma ini ter­abaikan bisa menikmati pen­didikan, menye­la­mi kenikmatan berk­isah, mem­ba­gi kece­ri­aan keti­ka mem­ba­ca, dan menggelo­raka seti­ap cita-angan mere­ka dalam tulisan-tulisan jujur penuh seman­gat optimisme.

Dan di ten­gah kuyup oleh hujan, ia teringat, terke­nang Ayah dan Ibun­ya di sana. Juga adik perem­puan­nya yang baru saja menikah dua bulan lalu. Hujan juga datang hari itu. Bersama men­dung. Tapi hari ini, hujan datang tan­pa per­misi, seper­ti kenan­gan yang mem­bawa ribuan mimpi. Ten­tang kehidu­pan penuh cin­ta. Penuh opti­misme. Sebelum kemu­di­an ia per­gi, dan tak lagi kem­bali kecuali dalam tete­san hujan yang selalu mam­pu mem­bawanya menari.

Andai kau tak per­gi, kita mungkin sudah mer­awat anak-anak kita sendiri. Di sebuah rumah yang sepi dari kehidu­pan kota yang tia­da hen­ti,” bisiknya kemu­di­an untuk dirinya sendiri. Bersama air mata yang mem­baur bersama hujan. Turut mem­basahi keme­janya yang tak lagi mam­pu melindungi.

 

 

[Fathur M Rohman,Mahasiswa akhir, yang tak kun­jung berakhir.]