Sia­pa yang tidak men­ge­nal Bung Karno? Bapak proklam­a­tor pence­tus Dasar Negara Pan­casi­la. Tokoh uta­ma yang mem­per­juangkan kemerdekaan dari tan­gan pen­ja­jah. Sosok yang amat dik­agu­mi oleh raky­at akan pida­to-pidatonya. Pemiki­ran dan per­juan­gan­nya men­ja­di panu­tan yang selalu diden­gung-den­gungkan oleh rakyat.

Namun, hal itu tidak selaras den­gan masyarakat yang men­gaku dirinya per­caya akan Sukarno bah­wa benar adanya, kena­pa per­lu mence­tuskan Pan­casi­la untuk merangkul keber­aga­man Indone­sia teruta­ma pada sila per­ta­ma. Seba­gaimana diku­tip dalam buku karangan Mochamad Nur Arifin yang berjudul “Bung Karno Men­er­jemahkan Al-Quran”.

…paparan Bung Karno ten­tang Sila Per­ta­ma: Ketuhanan Yang Maha Esa. Bung Karno men­je­laskan bah­wa bangsa Indone­sia meliputi orang-orang yang men­ganut berba­gai macam aga­ma: Islam, Kris­ten, Bud­ha, dan bahkan ada yang tidak men­ganut suatu aga­ma. Meskipun demikian 85% raky­at Indone­sia. Di bawah kon­sep­si Pan­casi­la, jelas Bung karno, kelom­pok may­ori­tas tidak melakukan diskrim­i­nasi ter­hadap minori­tas. Semua pen­ganut aga­ma bisa men­jalankan keyak­i­nan­nya den­gan aman, damai, dan tol­er­an. Umat Islam meng­hor­mati pen­ganut aga­ma lain. Seba­liknya juga, kaum minori­tas menun­jukkan sikap besar hati dan hor­mat kepa­da lainnya. “

Seti­daknya itu­lah salah satu tujuan Bung Karno mence­tuskan Pan­casi­la seba­gai Dasar Negara. Dasar yang dijadikan pedo­man untuk bermasyarakat, berbangsa, dan berne­gara. Sebuah ide­olo­gi yang cocok untuk merangkul keber­aga­man Indone­sia.  Keing­i­nan untuk bisa hidup rukun tan­pa adanya sal­ing mendiskrim­i­nasi hanya lan­taran tidak sama den­gan keyakinannya.

Fenom­e­na diskrim­i­nasi aga­ma per­lu adanya pene­gasan dan penyadaran. Berba­gai ben­tuk pem­be­laan dan pen­je­lasan terkait per­soalan aga­ma terus berlan­jut. Ref­er­en­si-ref­er­en­si diper­banyak men­co­ba  untuk menyadark­an masyarakat dan negara agar per­soalan aga­ma segera tun­tas, ter­lebih bagi mere­ka pen­ganut ali­ran keper­cayaan agar mem­per­oleh hak yang sama.

San­gat miris sekali, meli­hat masyarakat yang per­caya akan pemiki­ran dan per­juan­gan Bung Karno, tidak melaraskan pemiki­ran­nya soal aga­ma. Seo­lah-olah masyarakat sudah cukup mem­pela­jarinya tan­pa menga­malkan apa yang di cita-citakan Sukarno. Seharus­nya jika masyarakat per­caya, juga harus bisa menga­malkan den­gan baik yang ter­mak­tub dalam Pancasila.

Didalam kehidu­pan bermasyarakat pasti akan ada aga­ma may­ori­tas dan minori­tas. Seharus­nya itu bukan tolak ukur pemiki­ran yang sem­pit untuk sal­ing mendiskrim­i­nasi. Perbe­daan bukan­lah bahan untuk disindir, diolok-olok, bahkan diben­ci. Dari perbe­daan itu­lah seharus­nya masyarakat menum­buhkan rasa khebinekaan.

Saat ini masyarakat ter­lebih anak mudanya mudah per­caya oleh kon­ten-kon­ten yang mere­ka ter­i­ma dari gad­get. Tidak dap­at dipungkiri bah­wa dunia mulai dikua­sai oleh media dig­i­tal. Ini­lah yang men­ja­di per­ha­t­ian, bah­wasan­nya masyarakat khusun­ya anak muda yang pal­ing men­dom­i­nasi peng­gu­na ged­get harus lebih was­pa­da dan hati-hati menggunakannya.

Kon­ten-kon­ten yang berisikan tulisan pro­pa­gan­da kian banyak­di media sosial. Sebuah kon­ten yang sudah terse­bar tan­pa tahu dari­mana sum­bernya. Sese­o­rang yang tidak begi­tu jeli mem­ba­ca dan menaf­sirkan isi kon­ten san­gat mudah ter­ha­sut, dan begi­tu saja akan menye­bar tulisan lewat gegdet-nya. Bagi seeso­rang yang teliti dan berpenge­tahuan luas akan memeper­hatikan kem­bali dari mana sum­ber dari tulisan tersebut.

Ini­lah yang men­ja­di kekhawati­ran saat ini, jika masyarakat tidak teliti dan tidak memi­lah mana yang baik dan mana yang buruk akan mudah ter­ha­sut. Butuh kecaka­pan dan ketelit­ian keti­ka mem­per­oleh sebuah kon­ten yang berisikan men­jelekkan atau men­gadu dom­ba. Alhasil, jika tidak teliti masalah kecil akan men­ja­di dampak besar keti­ka ketelit­ian dan kecakaka­pan ter­hadap kon­ten tidak dilakukan.

Per­lu adanya pen­dekatan kepa­da masyarat menyoal isu keberga­man. Maha­siswa terkhusus­nya seba­gai seo­rang ter­didik jan­gan sam­pai mudah ter­ha­sut oleh apa yang diper­olehnya melalui Media sosial (Med­sos). Jika bukan kita yang merangkul menyadark­an masyarakat, sia­pa lagi? Maha­siswa bukan­lah orang yang hanya duduk dan menden­garkan cemarah Dosen. Tapi Maha­siswa untuk perubahan. []

Ania

penyu­ka sas­tra, trav­el­ing, berkhay­al, pengge­mar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).