Di seko­lah aku bela­jar ten­tang hal-hal yang aneh dan ini semua keing­i­nan seko­lah, bukan keing­i­nan dan kebutuhanku.”

Judul         : Seko­lah Dibubarkan Saja!

Penulis      : Afdil­lah Chudiel

Pener­bit    : Pener­bit Jalan Baru

Kota ter­bit : Yogyakar­ta, 2019

Tebal buku    : 159 halaman

ISBN : 978–623-90739–0‑9

Afdil­lah Chudiel, seo­rang penulis dan sosi­olog yang telah menyu­lut emosi dan nurani sia­pa saja, yang telah mem­ba­ca dan mem­per­tanyakan arah sis­tem pen­didikan negeri lewat buku ini. Pemil­i­han judul buku yang cen­derung pro­vokatif oleh Chudiel dimak­sud­kan agar pem­ba­ca menyadari bah­wa insti­tusi yang sela­ma ini dibang­gakan, tidak hanya diyaki­ni men­ja­di altar suci nomor wahid tem­pat dilahirkan­nya manu­sia ung­gul dan berprestasi,  tapi juga per­lu untuk dikri­tisi den­gan amat pedas.

Den­gan mem­ba­ca buku ini, kita akan tahu bah­wa Seko­lah Dibubarkan Saja! adalah sebuah catatan per­jalanan dan hasil penelit­ian Chudiel bersama teman-teman di beber­a­pa tem­pat di Ranah, Minang, Sumat­era Barat. Bukan suatu keane­han, men­ga­pa Chudiel dalam buku ini tidak menulis dalam ben­tuk paparan hasil penelit­ian. Sebab menu­rut­nya, rasion­al­i­tas tidak cukup kuat untuk mem­bu­at peruba­han di negeri ini. Rasa sim­pati, emosi, dan hati nurani seper­tinya jauh lebih ampuh.

Belum lama Hari Pen­didikan Nasion­al (Hardik­nas) diperingati seti­ap tang­gal 2 Mei, orang-orang ikut mem­peringat­nya ser­aya haru. Den­gan diperingatinya Hardik­nas, secara sadar kita yakin bah­wa pen­didikan amat­lah pent­ing bagi gen­erasi muda penerus bangsa kelak. Namun, per­tanyaan yang jus­tru mengiku­ti adalah, apakah pen­didikan yang sela­ma ini yang digadang-gadang seba­gai inves­tasi masa depan telah cukup memenuhi kese­jahter­aan dan kebe­basan bela­jar anak didik? Kita dap­at mem­per­tanyakan sekali­gus melu­cu­ti ker­aguan dan per­tanyaan itu melalui buku ini.

Ter­lalu banyak keny­ataan menyedihkan men­gen­dap di ranah yang indah ini khusus­nya dalam dunia pen­didikan. Ter­lalu banyak keti­dakadi­lan dan ter­lalu banyak hara­pan yang men­gawang. Akhirnya, semua ini harus ditumpahkan melalui Seko­lah Dibubarkan Saja!”

Dalam catatan per­jalanan Chudiel keti­ka melakukan kegiatan trau­ma heal­ing untuk anak-anak kor­ban ben­cana gem­pa yang meng­gun­cang Sumat­era Barat 2007 sil­am, Rio seo­rang anak dari Jorong Sik­abu, dap­at memak­nai hidup dan seko­lah den­gan cara yang berbe­da. Rio dan teman-teman­nya lebih memil­ih untuk kelu­ar dari seko­lah. Sis­tem pen­didikan for­mal yang men­je­bak kare­na mere­ka hanya sibuk bela­jar di kelas sam­bil mem­bayangkan hal-hal yang mere­ka pelajari.

Bagi mere­ka, per­soalan putus seko­lah bukan­lah per­soalan yang pent­ing. Kare­na yang sela­ma ini dirasakan tidak ter­lalu berpen­garuh pada kehidu­pan sosial-ekono­mi mere­ka. Den­gan putus seko­lah dan memil­ih hidup den­gan bebas tan­pa tun­tu­tan pada ladang dan sawah, mere­ka telah men­da­p­atkan hak memil­ih dan menen­tukan arak hidup­nya tan­pa ada pak­saan siapapun.

Lebih jauh lagi, kita juga akan ter­henyak mem­ba­ca bab selan­jut­nya, Seko­lah Dibubarkan Saja. Real­i­tanya, mere­ka meli­hat seko­lah seba­gai pen­cip­ta beragam per­at­u­ran yang aneh, mulai dari ser­agam, mod­el ram­but, sam­pai cara bela­jarnya. Seko­lah selalu beror­i­en­tasi pada nilai dan prestasi belajar.

Pun den­gan budaya kom­petisi yang tidak sehat yang dikem­bangkan oleh seko­lah. Siswa ditun­tut untuk men­ja­di yang ter­baik, semen­tara caranya, mere­ka harus men­car­inya sendiri. Kuriku­lum bela­jar yang ter­lalu rumit dan terus bergan­ti men­ja­di tidak efek­tif untuk dit­er­ap­kan kepa­da siswa.

Sehing­ga, hal ini memak­sa siswa untuk bela­jar lagi di bimbin­gan bela­jar atau tem­pat les. Mere­ka juga berpikir bah­wa tem­pat les lebih dari cukup tan­pa seko­lah. Kare­na sis­tem bela­jar di tem­pat les dil­i­hat lebih efisien, menarik, dan mudah dimengerti.

Selain itu, Chudiel juga menampilkan beber­a­pa surat elek­tron­ik dari suara hati seo­rang anak yang ter­lu­ka dan dis­ak­i­ti oleh seko­lah, yang mana seharus­nya seko­lah mam­pu melin­dun­gi mere­ka. Siswa ini merasa bah­wa sis­tem pen­didikan di negeri ini aneh. Pen­didikan yang dihara­p­kan bisa men­jem­bat­ani mere­ka untuk meraih mimpi telah berubah, bahkan meng­han­curkan mimpi mereka.

Belum lagi, prob­lemati­ka Ujian Nasion­al (UN) yang menye­babkan ketaku­tan dan mem­bu­at tertekan. Pada satu pelak­sanaan ujian ini, kita akan tahu bagaimana keju­ju­ran dan kecu­ran­gan diuji.

Sadar atau tidak, seko­lah juga telah men­jel­ma men­ja­di pabrik. Pabrik yang mem­pro­duk­si manu­sia den­gan hara­pan, agar manu­sia yang dipro­duk­si bisa men­ja­di manu­sia yang bermu­tu ting­gi, siap pakai, dan mam­pu ber­saing den­gan manu­sia lainnya.

Mere­ka yang berseko­lah seakan-akan siap dic­etak untuk men­ja­di hasil pro­duk­si yang dihara­p­kan pabrik untuk kon­sumen. Meskipun tidak sesuai den­gan kebu­tuhan dan keing­i­nan kon­sumen, pabrik tetap saja berproduksi.

Kemiski­nan dan keter­batasan juga men­ja­di prob­lem yang tia­da habis­nya. Itu semua dite­mui saat per­jalanan Chudiel di Gunung Cerek dan Selat Pagai. Mem­ba­ca bab ini, kita akan merasa miris mem­bayangkan reali­ta yang dihadapi anak-anak di gunung Cerek demi berjuang untuk per­gi ke sekolah.

Mere­ka harus men­em­puh per­jalanan sejauh 1,5 km untuk kelu­ar dari gunung. Belum lagi, akses akan men­ja­di lebih sulit keti­ka hujan dan ban­jir datang. Cobaan untuk tidak seko­lah juga ser­ing diala­mi oleh anak-anak terse­but kare­na sulit­nya akses dan kese­la­matan men­ja­di per­tim­ban­gan bagi mereka.

Sedan­gkan di Selat Pagai, Kabu­pat­en Kepu­lauan Mentawai, tepat­nya di kam­pung Teleng adalah kam­pung tem­pat ting­gal anak-anak seko­lah dari luar Sikakap. Masalah­nya, anak-anak di sana ser­ing men­gala­mi hamil di luar nikah, yang tidak lain dise­babkan kare­na tidak adanya kon­trol sosial dari orang tua dan masyarakat sek­i­tar. Peredaran narko­ba dan media pornografi juga ser­ing marak di daer­ah ini.

Keny­ataan-keny­ataan pahit sis­tem pen­didikan di berba­gai pelosok daer­ah semoga mem­bu­ka mata hati kita dan tetap men­ja­di tugas dan kewa­jiban yang seharus­nya dipenuhi pemer­in­tah pusat. Bera­papun kri­tik yang dilon­tarkan, jika tidak ada gebrakan, maka hanya akan men­guap dan tidak meng­hasilkan apa-apa.

Den­gan mem­ba­ca buku ini, penulis berharap kri­tik dan ungka­pan pro kon­tra yang ter­tulis dap­at men­ja­di diskusi dan mem­buahkan solusi yang nan­ti­nya bisa men­ja­di eval­u­asi di kemu­di­an hari. Ser­ta, mam­pu mem­bu­ka piki­ran dan kesadaran juga bagi mere­ka yang mem­pun­yai kon­sen dalam bidang pendidikan.

Penulis: Niam K. Asna
Edi­tor: Ulum

Orang bodoh tak kun­jung pandai.”