Dominasi kelompok mayoritas senantiasa menjadi problem ketidakadilan terhadap minoritas. Akibatnya, ketimpangan bertubi-tubi melanda kelompok minoritas.
Orientasi Pengenalan Akademik Kemahasiswaan (OPAK) atau Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) di IAIN Tulungagung tiga kali diwarnai peristiwa yang meresahkan sebagian mahasiswa.
Keresahan ini terjadi lantaran adanya pengaderan para mahasiswa baru (Maba) Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidikmisi) secara nontransparan oleh salah satu Organisasi Mahasiswa Ekstrakampus (Ormek).
Pengaderan masal yang dilakukan salah satu Ormek ini berjalan sejak tiga tahun terakhir, mulai 2016 hingga 2018. Dominasi oknum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menjadi dalang beserta wayang di balik peristiwa ini.
Hal ini disinggung pada acara launching majalah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dimensi edisi 41 dan talkshow yang terselenggara Jumat malam (22/2/2019).
Dalam acara launching majalah tersebut, moderator menanyakan pendapat para pembicara pasal Ormek yang masuk dan melakukan aktivitas di dalam kampus. Dari pertanyaan tersebut muncullah beragam argumen dari para pembicara.
Riyanto selaku ketua cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengatakan bahwa tidaklah bermasalah ketika Ormek melakukan aktivitas di dalam kampus, karena sejatinya mahasiswa memiliki hak untuk memilih. Baginya yang tidak boleh ialah mengibarkan bendera-bendera liar dan atribut lain di area kampus.
Setelah itu, moderator menyinggung tentang open recruitment yang dilakukan di dalam kampus. Amin, selaku ketua komisariat PMII Tulungagung, beranggapan bahwa dengan adanya kata ‘mahasiswa’ dalam Ormek, maka hal itu lumrah dan perlu dilakukan. Pada soal yang sama, Aqwa selaku ketua cabang Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), turut menjelaskan bahwa HMI hanya bermaksud mengenalkan Ormek kepada mahasiswa. Terkait minat atau tidaknya mahasiswa untuk bergabung adalah sebuah pilihan. Menurutnya, open recruitment tidak terlalu berdampak pada kuantitas anggota baru.
“Jadi pada dasarnya pembukaan stand itu tidak terlalu berfungsi, cuma memang harus begitu … Kami sudah melakukan perizinan ke Pak Isno (Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan; red.) berkali-kali, walaupun juga dipersulit,” tegas Aqwa.
Setiba sesi pertanyaan, Fitri selaku audiensi menyinggung perihal pengaderan nontransparan yang dilakukan terhadap Maba Bidikmisi. Menanggapi hal ini, Amin mengklarifikasi bahwa ia tidak ingin menutup-nutupi praktik pengaderan tersebut. Adanya Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba) PMII adalah persoalan fanatisme terhadap organisasi, bukan untuk memegang penuh kekuasaan di kampus. Bertolak belakang dengan Amin, Huda selaku ketua cabang PMII yang sempat diwawancarai oleh Dimensi (21/11/2018) memilih menutup jawaban dari pertanyaan dengan alasan privasi. “Itu menurutku privasi, setiap rumah itu mempunyai dapur sendiri-sendiri.”
Berdasarkan data hasil wawancara mahasiswa Bidikmisi tahun 2016 hingga 2018, pada praktiknya setiap tahun pengaderan ini dilakukan dengan modus yang berbeda.
Pada tahun 2016, polanya dimulai dengan pembagian undangan dan formulir Mapaba kepada mahasiswa Bidikmisi di kamar-kamar Ma’had Al-Jami’ah (asrama IAIN Tulungagung). Kemudian seluruh santri Ma’had termasuk Maba Bidikmisi dijemput di depan Ma’had menggunakan bus kampus “Aku kae ngisi formulir, tapi ndak eruh sopo seng nggowo (Saya dulu mengisi formulir, tapi saya tidak tahu siapa yang membawa formulir tersebut; red.), ” tutur Icha selaku mahasiswa Bidikmisi semester 6.
Pada PBAK 2017, mahasiswa Bidikmisi diisolasi dari keseluruhan kelompok menjadi dua kelompok tersendiri, yakni kelompok 69 dan 70. Ketika kelompok lain digerakkan menuju lapangan utama, kedua kelompok tadi diarahkan untuk menaiki dua bus yang telah disiapkan.
Arah laju bus menuju Kecamatan Sumbergempol, sementara keadaan HP mahasiswa semua dikumpulkan. “Semua HP dikumpulkan, jadi nggak ada yang didokumentasiin waktu itu,” terang Isa selaku mahasiswa Bidikmisi semester 4.
Sementara itu, pada 2018 rumah mahasiswa Bidikmisi didatangi satu-persatu oleh petugas yang melakukan survei guna mengecek kondisi mereka. Usai dicek, salah satu petugas mengimbau mahasiswa Bidikmisi berkumpul di tempat dan waktu yang telah ditentukan dengan dalih rapat orang tua mahasiswa.
Tepat pada hari yang ditentukan, satu-persatu Maba dijaga ketat dan dilarang meninggalkan tempat, kemudian diarahkan menaiki bus kampus yang telah disiapkan panitia. “Waktu itu rapat bersama orang tua dan rektor. Setelah rapat selesai, orang tua turun tapi kita tidak diperbolehkan turun,” jelas Aini selaku mahasiswa Bidikmisi semester 2.
Selain modus praktik sebagaimana di atas, cara lain yang digunakan yakni menghubungi Maba via WhatsApp guna acara sosialisasi. Mereka dibawa ke asrama Al-Hikmah 3, kemudian diberi arahan untuk mengumpulkan gawai dan mengikuti materi, lalu disumpah serta dikukuhkan dengan cara meminum air kembang juga mencium bendera. “Pembaiatan bagi yang mempunyai wudu di akhir acara,” ungkap Fita selaku mahasiswa Bidikmisi semester 2.
Minggu (28/10/2018) Dimensi juga melakukan wawancara dengan salah satu aktivis dan pengurus komisariat PMII IAIN Tulungagung, yakni Rochim. Ia mengatakan, pihak komisariat IAIN Tulungagung sudah tahu mengenai pengaderan.
Terdapat oknum yang mengawal Maba Bidikmisi pada saat pengaderan tersebut. “Ketika datang, saya suruh jadi MC, tulisan bannernya Mapaba gitu aja. Tidak ada tulisannya Bidikmisi. Saya cuma jadi MC sementara, karena MC yang asli sakit,” jelas Rochim.
Abad Badruzzaman, selaku Wakil Rektor bidang kemahasiswaan dan kerja sama menegaskan, IAIN Tulungagung kini masih berpedoman pada peraturan lama Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 26/DIKTI/KEP/2002 tentang Pelarangan Organisasi Ekstrakampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus bahwa Ormek dilarang beraktivitas di dalam kampus.
Adapun Permenristekdikti nomor 55 tahun 2018 tentang pembinaan ideologi bangsa menegaskan bahwa Ormek diperbolehkan melakukan kegiatan di dalam kampus, akan tetapi hanya dalam rangka pembinaan ideologi bangsa, sementara ini hanya berlaku di kemenristekdikti dan belum berlaku di Perguruan Tinggi di bawah Kementerian Agama.
Selama ini, perizinan segala macam bentuk kegiatan Ormek di area kampus belum dilakukan secara struktural ataupun formal. Abah, selaku pihak birokrat menandaskan bahwa belum pernah menerima perizinan untuk acara apapun. Meski mereka melakukan perizinan secara formal, pihak birokrat tidak akan mengizinkan mereka. “Sejauh ingatan kami Ormek yang melakukan kegiatan kampus tidak melalui perizinan, kalaupun mereka mengikuti perizinan pasti akan kami tolak,” jelas Abad.
Menanggapi pernyataan Abad, Faris Ramadhani selaku senior aktivis Ormek dan dosen IAIN Tulungagung menyampaikan, bahwa mahasiswa setidaknya menghormati aturan yang ada. Mereka (Ormek) seyogianya lebih kreatif dengan cara yang elegan tanpa membawa atribut Ormek masuk ke dalam kampus.
Terkait itu Aqwa menambahkan “Karakternya begini, kalau sudah kampus itu secara struktural diisi oleh birokrat sampai dosen dan mahasiswanya itu satu golongan, begitu pun dengan organisasi intranya maka cara untuk memajukan golongan itu hanya satu, memperkuat diri sendiri dengan tidak memberikan celah kepada yang lain.”