Sete­lah  perg­er­akan dari fem­in­is lib­er­al, muncul perg­er­akan ked­ua dari fem­in­is Ameri­ka Serikat pada perten­ga­han tahun 1960-an, fem­in­is radikal. Dalam ger­akan­nya, fem­in­is radikal berusa­ha men­ga­ha­pus budaya patri­ar­ki, seper­ti per­an gen­der tra­di­sion­al, objek­ti­fikasi sek­su­al perem­puan dan menyadark­an pub­lik ter­hadap isu pemerkosaan dan kek­erasan perempuan.

Fem­in­is radikal dik­lasi­fikan men­ja­di dua, yaitu fem­in­is radikal lib­er­tar­i­an dan fem­in­is radikal kul­tur­al.  Fem­in­is radikal lib­er­tar­i­an menekankan pada kon­sep  androgi­ni. Artinya,setiap orang memi­li­ki maskulin­i­tas dan fem­i­ni­tas sekali­gus dalam dirinya. Sehing­ga, tidak ada ide ten­tang perem­puan sejati dan keperempuanan.

Sedan­gkan, fem­in­is radikal kul­tur­al lebih men­ga­gungkan sisi keperem­pua­nan dan kemam­puan rahim perem­puan untuk meng­hasilkan kehidu­pan seba­gai ciri khusus yang dimiliki.

Per­i­hal seks dan gen­der, fem­in­is radikal lib­er­tar­i­an, seper­ti Kate Mil­lat berpen­da­p­at bah­wa seks adalah poli­tis. Artinya, hubun­gan laki-laki dan perem­puan hanyalah hubun­gan kekuasaan dalam kon­sep patri­ar­ki. Oleh kare­na itu, perem­puan harus meng­ha­puskan gen­der, teruta­ma sta­tus, per­an dan tem­pera­men sek­su­al di bawah patriaki.

Selain itu, Mil­let juga mengi­den­ti­fikasi dua kelom­pok patri­akal yang sem­pat berkem­bang pada masanya, yaitu psikolog neo-Freudi­an dan sosi­olog Par­son­ian seba­gai pimp­inan penen­tang feminis.

Selain Mil­let, Shu­lamith Fire­stone juga mengk­laim bah­wa dasar mate­r­i­al ide­olo­gi sek­su­al atau poli­tik dari sub­misi perem­puan, dan dom­i­nasi laki-laki, berakar pada per­an repro­duk­si laki-laki dan perempuan.

Berbe­da den­gan fem­in­is radikal lib­er­tar­i­an, fem­in­is radikal kul­tur­al dalam pan­dan­gan­Mar­i­lyn French mengk­laim bah­wa opre­si laki-laki ter­hadap perem­puan secara logi­ka men­garahkan pada sis­tem lain ben­tuk dom­i­nasi manusia.

Selain French, Mary Daly dalam bukun­ya,Beyond God the Father, lebih berfokus pada Tuhan seba­gai par­a­dig­ma patri­ar­ki. Menu­rut­nya, Tuhan telah bersikap tidak adil den­gan mem­bu­at perem­puan men­ja­di tidak diber­dayakan seba­gai manu­sia yang utuh.

Selain itu, ter­da­p­at perbe­daan lain dari ked­ua fem­in­is radikal per­i­hal­sis­tem­re­pro­duk­si yang dijadikan anu­grah dan kutukan. Fem­in­is radikal lib­er­tar­i­an yakin bah­wa repruduk­sialami­ah adalah­penye­babo­pre­siter­hadap­perem­puan. Jadi, semakin sedik­it perem­puan ter­li­bat di dalam pros­es repro­duk­si, akan semakin banyak pula wak­tu dan tena­ga yang dap­at digu­nakan untuk ter­li­bat dalam pros­es pro­duk­tif di ruang publik.

Seba­liknya, fem­in­is radikal kul­tur­al yak­in­bah­wa repro­duk­sialami­ah­se­ba­gaisum­ber­pem­be­basan­perem­puan. Jadi, sum­ber uta­ma keku­atan perem­puan ter­letak pada keku­atan biol­o­gis mere­ka (rahim) untuk meng­hadirkan kehidu­pan baru.

Pun per­i­hal moth­er­ing, ter­da­p­at dual­ism pan­dan­gan antara menen­tang moth­er­hood oleh Ann Oak­ley dan men­dukung moth­er­hood biol­o­gis oleh Adri­enne Rich. Dalam hal ini, kon­teks pem­ba­hasan antara ked­ua fem­in­is radikal ber­pusat pada penyebu­tan perem­puan seba­gai seo­rang ibu. Bagaimana selan­jut­nya perem­puan mam­pu memainkan per­an­nya di ten­gah sub­or­di­nasi dan dominasilaki-laki.

Penulis: Nila Lailat­ul Ni’mah
Edi­tor: Ulum