Per­nahkah kalian berfikir bah­wa negara ini ter­lalu ser­ing mem­ba­has ten­tang aga­ma? Meskipun masyarakat Indone­sia may­ori­tas beraga­ma Islam, bukan berar­ti Indone­sia adalah negara Islam.  Meskipun Indone­sia memi­li­ki banyak kelom­pok aga­ma, bukan berar­ti Indone­sia adalah negara yang berba­sis aga­ma. Kalau hanya aga­ma saja yang dipikirkan dan diper­masalahkan, lalu kapan negara ini benar-benar mem­ba­has ten­tang kebu­tuhan rakyatnya?

Per­masala­han keaga­maan sendiri ter­ja­di kar­na masyarakat ter­lalu fanatik ter­hadap kelom­pok-kelom­pok yang mere­ka iku­ti, seakan-akan kelom­pok yang mere­ka iku­ti selalu benar. Aga­ma di Indone­sia juga bukan hanya Islam, kita memi­li­ki beber­a­pa aga­ma. Tapi men­ga­pa hanya satu atau dua aga­ma saja yang harus men­ja­di pan­dan­gan di dalam sebuah negara? Hanya aga­ma-aga­ma itu saja yang mem­bu­at masalah. Apakah mere­ka tidak meli­hat iden­ti­tas mere­ka seba­gai pen­duduk Indone­sia, ataukah mere­ka lupa den­gan kepen­dudukan mereka?

Salah satu polemik yang muncul ke per­mukaan terkait aga­ma adalah pada kasus pemil­i­han Guber­nur Daer­ah Khusus Ibuko­ta Jakar­ta. Basu­ki Tha­ja­ja Pur­na­ma atau yang ser­ing dis­apa den­gan Ahok, sebelum men­ga­jukan diri seba­gai Guber­nur di Jakar­ta, dia sudah men­ja­di bahan perde­batan beber­a­pa tokoh aga­ma den­gan alasan sta­tus­nya adalah non-Mus­lim.  Sta­tus seba­gai non-Mus­lim, dita­m­bah den­gan kasus pen­odaan aga­ma yang sem­pat men­jer­at­nya, pada akhirnya mem­bu­at Ahok sulit untuk men­ja­di seo­rang pemimpin, meskipun Ahok sudah lebih dulu mem­buk­tikan diri bah­wa ia mampu.

Kita band­ingkan den­gan Lon­don, waliko­ta yang sekarang berna­ma Shadiq Khan adalah seo­rang mus­lim. Apakah Shadiq Khan kemu­di­an diperde­batkan? Apakah Shadiq Khan men­ja­di sen­tral per­masala­han di Lon­don? Pada­hal Shadiq Khan jus­tru berkec­im­pung di ten­gah masyarakat non-Muslim.

Islam sesung­guh­nya bukan sebuah aga­ma yang fanatik ter­hadap sebuah per­masala­han ataupun ser­akah dalam kehidu­pan di dunia. Islam men­ga­jarkan kead­i­lan, kese­taraan, dan per­saudaraan. Akan tetapi masyarakat tidak memikirkan hal seke­cil itu, lebih tepat­nya tidak mengam­bil pela­jaran seder­hana  dari sebuah aga­ma. Mari kita lihat sejarah baru yang dicip­takan pada 02 Desem­ber 2017. Mere­ka bersusah payah untuk men­gadakan sebuah aksi pem­be­laan ter­hadap aga­ma, yang menu­rut mere­ka telah dinodai.

Per­nahkah kalian berfikir, ham­pir 1000 masyarakat yang beraga­ma Islam berkumpul dan mem­bu­at sebuah ben­teng muj­tahid hanya untuk mem­bela aga­ma. Mere­ka melakukan demo, namun mere­ka tidak melakukan ajaran-ajaran yang diper­in­tahkan aga­ma. Mere­ka mem­bu­at sebuah barisan untuk men­jadikan dirinya ben­teng pem­be­laan ter­hadap aga­ma, namun mere­ka lupa mem­bu­at barisan sha­lat yang jus­tru dian­jurkan oleh aga­manya. Aga­ma boleh dibela, tapi aga­ma tidak per­nah men­ga­jarkan sebuah kea­nark­isan dan keras kepala.

Lihat aga­ma lain, mere­ka duduk nya­man di dalam rumah. Mere­ka hanya bisa men­ertawakan keja­di­an yang dilakukan sekelom­pok aga­ma yang ter­lalu fanatik. Indone­sia bisa dikatakan over­do­sis aga­ma. Men­ga­pa yang ser­ing ter­ja­di hanya per­masala­han aga­ma? Men­ga­pa media yang ser­ing ditayangkan dan diliput hanya soal aga­ma? Mere­ka seakan lupa bah­wa di balik keja­di­an itu banyak sekali sebuah per­masala­han yang ter­ja­di. Mere­ka, kaum-kaum bor­juis dibu­at nya­man kare­na ada sebuah per­masala­han aga­ma, mere­ka aman akan melakukan sesu­atu ter­hadap aga­ma, kar­na kita ter­lalu sibuk untuk mem­ba­has ten­tang aga­ma. Sam­pai masalah para menteri, masalah tehadap korup­si dan lain seba­gainya ter­tut­up, dise­babkan kar­na mere­ka hanya ter­fokus pada per­soalan agama.

Apakah mere­ka tidak memikirkan ten­tang nasib aga­ma yang lain­nya? Apakah yang lain harus selalu men­galah den­gan aga­ma kita? Islam men­ga­jarakan untuk sal­ing meng­hor­mati, walaupun ia non-mus­lim. Per­nakah akal mere­ka dipakai saat melakukan sebuah kegiatan yang jus­tu mem­buang-buang tena­ga? Boleh kita mem­bu­at sebuah perg­er­akan, boleh kita melakukan kri­tik, namun kita tidak boleh menge­cilkan aga­ma lain. Non-mus­lim di negara kita, seakan-akan tidak memi­li­ki ruang ger­ak untuk menu­ju hakikat  kesuk­sesan yang sesungguhnya.

Beribu umat manu­sia yang hidup di Indone­sia mere­ka memi­li­ki iden­ti­tas mas­ing-mas­ing, salah sat­un­ya aga­ma. Keanekaraga­man aga­ma bukan­lah sebuah per­masala­han yang harus diper­ten­tangkan dan diperde­batkan. Kalau keanekaraga­man aga­ma men­ja­di per­masala­han, men­ga­pa Ir. Soekarno harus mem­bu­at  Ide­olo­gi beru­pa pan­casi­la? Men­ga­pa tidak mem­bu­at Indone­sia yang berba­sis aga­ma (Islam)? Di sini kita tidak bisa mem­per­salahkan aga­ma ataupun negara. Satu-sat­un­ya hal men­ja­di sebuah per­masala­han, adalah mere­ka yang mem­bu­at onar, kelom­pok-kelom­pok yang ter­lalu fanatik ter­hadap segalanya.

Masyarakat Indone­sia tidak bisa meman­dang negara dari sisi lain, mere­ka hanya meman­dang hanya dari satu sisi. Mere­ka mem­fokuskan pan­dan­gan­nya ter­hadap negara, hanya pada hal yang mere­ka iku­ti pada saat ini. Untuk apa Pan­casi­la dibu­at bil­a­mana masyarakat sendiri tidak men­jalankan apa yang telah ter­can­tum di dalam butir-butirnya? Pada­hal Pan­casi­la dibu­at salah sat­un­ya untuk mem­per­satukan masyarakat bukan untuk sal­ing menghancurkan.

Masyarakat Indone­sia harus sadar den­gan apa yang dim­i­likinya, yakni Pan­casi­la, UUD 1945 dan kita memi­li­ki keb­hinekaan. Per­pad­u­an keber­aga­man dalam sebuah negara harus dijalani bil­a­mana mere­ka ingin merasakan kese­jahter­aan negara, mere­ka harus berani meli­hat dan ter­bu­ka dalam meman­dang negara.

Indone­sia akan men­ja­di sebuah negara yang sejahtera bil­a­mana hal semacam itu selalu ter­ja­di di negara kita. Indone­sia akan men­ja­di cepat maju bila masyarakat sal­ing meng­har­gai dan sal­ing melin­dun­gi satu sama lain, tidak ada perke­lahi­an yang menim­bulkan sikap anarkis antar kelom­pok. Indone­sia adalah negara yang dike­nal den­gan kema­je­mukan­nya, bukan kefa­natikan­nya. Maka seba­gai masyarakat yang memi­li­ki keber­aga­man, tidak seharus­nya kita memupuk kefa­natikan tersebut.