Anak muda (mahasiswa) sekarang tengah terbungkam dan terkikis inovasinya;
Sibuk menganggur, menyalahkan keadaan kampus yang seketika libur;
Jangan-jangan generasi sekarang menjadikan nama mahasiswa sebagai profesi belaka;
Budak intelektual yang tidak dibayar;
Agen proyek kampus yang akan mampus tergerus arus;
Menganggap belajar hanya di ruang-ruang formal;
Dan akhirnya tridarma hanyalah sekumpulan mitos belaka.
Mahasiswa yang digadang-gadang sebagai intelektualis dan pemegang estafet peradaban bangsa, di mana mereka memiliki beban berat yang harus dipikul, karena mereka bukan siswa lagi, melainkan maha. Pastinya mereka dituntut untuk berperan aktif sebagai tonggak perubahan bangsa. Namun, sebelum itu, hal utama yang harus mereka rubah adalah diri mereka sendiri.
Mahasiswa menjadi people pengubah sejarah. Jika mereka tarik benang merah mulai tahun 1908, lahir sebuah organisasi yang menjadi tonggak kebangkitan pemuda untuk mengubah nasib bangsa dari penjajah yang terus-menerus menindas bangsa, yaitu Budi Utomo. Mereka memiliki semangat yang membara untuk melawan penjajah.
Tahun 1928, para pemuda mendeklarasikan Sumpah Pemuda yang di dalamnya berisi rasa nasionalisme atau cinta tanah air Indonesia, dan juga cita-cita lepas dari tangan Belanda.
Tahun 1998 menjadi tahun yang tak terlupakan bagi mahasiswa. Tahun yang memuat sejarah dalam perjuangan mahasiswa, yaitu menuntut presiden orde baru, Soeharto, untuk mundur.
Perkara tersebut dilakukan karena banyak permasalahan yang terjadi, seperti inflasi, korupsi, kolusi, nepotisme, dan sebagainya. Hingga pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri dan berubahlah dari orde baru ke era reformasi seperti yang kita rasakan saat ini.
Kemudian timbul pertanyaan besar, mahasiswa era reformasi ini tugasnya apa? Mahasiswa memiliki tiga fungsi, yaitu Agent of Change, Iron Stock, dan Social Control. Mereka mempunyai tanggung jawab yang besar demi kemajuan dan perubahan bangsa.
Mahasiswa perlu memiliki intelektualitas dan semangat juang yang tinggi demi masyarakat bawah, dan mengawasi berlangsunya roda pemeritahan agar apa yang direncanakan dan diprogramkan pemerintah sesuai dengan keadaan di lapangan atau sesuai dengan keadaan masyarakat.
Namun, ada yang lucu di sini. Pendidikan di Indonesia yang katanya menjadi tolak ukur keberhasilan, nyatanya hanya ditentukan dengan angka. Peserta didik, termasuk mahasiswa dituntut untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Bahkan mereka sering menggunakan cara yang ekstrem, seperti mencontek dan berbagai praktik kecurangan lainya.
Persepsi tentang angka tersebut malah membutakan mahasiswa. Mereka akan berpikiran jumud, dan kualitas mereka menjadi rendah. Padahal, mereka adalah harapan bangsa. Artinya, etika lebih mulia dari pada Indeks Prestasi Komulatif (IPK) belaka. Jika sudah demikian, maka tidak ada pilihan lain, kecuali menjadi budak intelektual.
Naas, seolah-olah penghargaan hanya pantas untuk mereka yang berprestasi. Pasalnya, setiap tahun ‑dari dahulu hingga sekarang- tidak ada yang indah dalam pendidikan formal. Mahasiswa enggan mengabdi kepada masyarakat. Padahal, sudah jelas dalam tridarma perguruan tinggi, mereka diamanahi untuk mengabdi di masyarakat.
Tapi, sekarang prioritas akademisi bukan ilmu dan aksi sosial lagi, melainkan angka dan nilai. Buktinya, mahasiswa kurang bahkan tidak mengetahui apa yang menjadi fungsi dan peran mereka. Mahasiswa menganggap belajar hanya di ruang-ruang formal saja. Pikiran mereka sudah terkontaminasi dengan perubahan zaman dan pikiran-pikiran yang mendarah daging ketika menjadi siswa.
Dapat kita lihat di akademisi saat ini. Mahasiswa terlalu dikekang dan dipaksa dengan teori yang tidak sesuai dengan realita dan dinamika kehidupan. Alhasil, kreatifitas dan inovasi kalah dan mereka direkontruksi oleh sistem.
Mahasiswa hanya mengikuti garis dan teori yang diajarkan pada ruang formal saja. Dan ini semakin lama akan menjadi sebuah pembenaran dan harus diamini oleh kalangan mahasiswa. Akademisi inilah yang nantinya malah menjadi momok bagi mahasiswa kritis dan menjadi jalan aspal mulus bagi pengatur kebijakan.
Pada dasarnya, pendidikan itu penting. Namun, bagian yang lebih penting dari itu adalah menjadi diri yang berpendidikan. Ya, berpendidikan kritis tentunya.
Penulis: Mumun
Editor: Ulum