Pagi yang cerah di pulau Seribu Masjid. Kenapa saya sebut begitu? Karena banyak masjidnya. Sepanjang jalan ketika kami berangkat dari bandara menuju Asrama Haji, setiap jalan ada masjid. Belum lagi ketika kami sampai di kampung dan pelosok desa, bahkan dalam satu kampung ada dua masjid. Sehingga karena banyaknya masjid di Lombok dibuatlah gedung Islamic Centre sebagai simbol gelar yang diberikan.
Hari ketiga di Pantai Klui. Usai mentoring dan selesai menjalankan shalat Dhuhur. Melihat bus yang berjejer rapi yang sengaja disiapkan panitia untuk membawa kami melanjutkan site visit. Kesempatan yang tak terduga, kami site visit di Vihara Tebango dan Kampung Budha. Setidaknya inilah jalan cerita saya mengenal dan menelisik kehidupan anak-anak Budha.
Meski Islam adalah agama mayoritas, jumlah umat Budha di Lombok Utara menempati peringkat kedua setelah Islam. Desa Bentek kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara (KLU) merupakan pesatnya umat Budha menjalani roda kehidupan. Pesatnya umat Budha disana sehingga dinamai Kampung Budha.
Jalan yang kami tempuh melewati bukit-bukit yang terhampar luas lautan biru. Melewati Gili Trawangan, Anjungan satu hati, dan Pantai Ampenan. Setidaknya saya bisa melihat wajah-wajah tempat ini seperti yang ada di lagu Inak Tegining Amak Teganang. Lagu yang membius saya untuk melihat Lombok lebih jauh.
Perjalanan lanjut memakan waktu satu setengah jam. Namun, waktu tidak terasa bergerak karena cerita yang terlontar dari sahabat saya Hendri. Dia banyak menceritakan Lombok beserta isinya dari mulai makanannya, baju adat, rumah adat, tradisi nya dan tidak kalah penting tempat wisata yang wajib untuk dikunjungi. Tak kalah penting persoalan keberagaman agama yang ada.
Kini ada satu hal yang saya tangkap, yakni menjalankan agama sekaligus menjalankan tradisi masih mengikat kuat. Dapat dikatakan tradisi nenek moyang dulu masih dipertahankan oleh masyarakat suku sasak ini. Selain itu, pulau Lombok juga terkenal dengan keelokan laut, budaya, dan suguhan wisata bagi para pelancong. Di pulau inilah pemuda-pemudi nusantara dipertemukan untuk saling bertemu dan merekatkan tangan untuk satu tujuan yaitu perdamaian. Lombok Youth Campt for Peace Leaders, itulah wadah kami untuk saling bertemu dan berjejaring.
Di sinilah cerita kami tertuang untuk saling bertukar wacana, bercerita problem wilayah, dan berbagi pengalaman hidup. Sampai pada akhirnya waktu demi waktu merenggut kebersamaan dan menyuruh kami untuk kembali ke daerah asal, untuk memperjuangkan dan mengamalkan ilmu yang didapat.
Tidak terasa kami sampai di pinggir jalan, masuk ke kampung Budha. Sepanjang jalan warga desa Bentek menyapa kami. Terlihat polosnya anak kecil, ada pula penyandang disabilitas, menyapa saya dan mengajak berfoto.
Lebih lanjut lagi, saya masuk menelusuri jalan menuju kampung Budha. Jarak antara pintu dengan kampung Budha sekitar 100 meter. Cukup dengan jalan kaki dan melihat pemandangan suasana rumah-rumah warga. Rasa senang dan gembira bisa bersentuhan langsung dengan mereka, orang yang berbeda keyakinan dengan saya.
Di desa Bentek terdapat tiga agama yakni Islam, Budha, dan Hindu. Ada umat nasrani namun hanya orang perantauan yang kemudian meningglkan kampung, sehingga tidak tercatat sebagai agama tetap di desa. Selain itu, adat tradisi yang masih dijalankan beriringan dengan agama yang dijalankan. Bila ada permasalahan selalu diselesaikan dengan adat. Masyarakat Bentek tidak berani melanggar apa yang sudah berkaitan dengan adat. Alih-alih jika melanggar cemooh dan terusir dari kampung sebagai sanksi.
Warga desa Bentek sangat terbuka membuat hati saya merasa nyaman ketika bertanya-tanya menggali data. Toleransi beragama masih dijunjung tinggi. Jika ada masalah berkaitan dengan agama mereka selalu menyelesaikan dalam Majelis Keagamaan Desa (MKD) jika saya salah mohon dibenarkan. Adanya ruang tersendiri bagi mereka untuk menghindari sikap intoleran yang mana akibatnya dapat merugikan banyak pihak.
Sampai di Vihara kecil kampung Budha saya melihat anak-anak kecil yang berkumpul bersama ibu-ibu mereka. Sebelum kami datang mereka telah melakukan sembahyang. Anak-anak kecil pun juga ikut. Anak-anak di kampung Budha sangat antusias mengikuti kegiatan keagamaan atau pun ceramah. Inilah keelokkan dari desa Bentek. Saya sempatkan waktu yang singkat ini untuk dapat bercengkrama dan berbagi cerita pada mereka. Cerita tentang cinta tanah air, menghormati agama lain, memberitahu tempat-tempat ibadah masing-masing agama, dan motivasi belajar meraih cita-cita. Bagi saya, bisa merangkul dan berbagi cerita pada mereka tunai sudah ilmu yang saya punya untuk disalurkan pada mereka.
Ada rasa malu, takut, canggung tergambar dalam wajah anak-anak itu. Namun tak butuh waktu lama mereka akrab dengan saya layaknya waktu yang terus bergerak. Ada rasa bahagia dapat berbagi dengan mereka, anak-anak yang bukan dari asal daerah saya. Ada rasa bangga dapat menyentuh dan bercengkrama dengan anak-anak itu. Kesempatan menginjakkan kaki di Lombok tidak saya sia- siakan untuk dapat berbagi dengan mereka. Menjadi bekal cerita ketika nanti saya pulang ke tanah Jawa.
Seiring waktu berjalan, jam sudah menunjukkan pukul 16.04 WITA. Saatnya saya dan kawan-kawan mengundurkan diri, kembali untuk melanjutkkan rencana selanjutnya. Terbesit rasa sedih, saat rasa nyaman dan peduli mulai terajut. Namun, kami dikalahkan waktu sehingga karena waktulah menjadi akhir cerita saya untuk anak-anak desa Bentek. Diperbatasan jalan raya menuju kampung Budha , anak-anak yang sudah menemani saya memberikan salam perpisahan dan kami berfoto bersama. Acungan salam damai menjadi akhir perpisahan ini.
Entah kapan kaki ini dapat sampai di Kampung nan rukun ini. Namun setidaknya inilah cerita saya berbagi kepada anak-anak Lombok Utara. Semoga kelak mereka menjadi pemimpin yang dapat membanggakan bangsa dan negara. Entah 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi. Tapi yakinlah bahwa ilmu akan berkembang jila disalurkan kepada mereka. Kepergian kami diiringi dengan senyum dan tawa kecil mereka. Selamat jalan dan teruslah belajar, masa depan kalian masih panjang. Negara butuh kalian sebagai pemuda penerus bangsa, yang nantinya selalu meneggakkan rasa cinta pada ibu pertiwi.
penyuka sastra, traveling, berkhayal, penggemar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).