Manu­sia adalah mahluk pemakan segalanya. Kare­na makan, manu­sia jadi sal­ing memakan den­gan san­gat rakus­nya.

Kem­bali meng­hadirkan Mahuze dalam ruang diskusi ada yang berang­ga­pan sudah lewat dan klise untuk diba­has. Tapi, menu­rut saya cela­ka jika kita mele­watkan diskusi itu begi­tu saja. Sesung­guh­nya apa yang ter­ja­di pada suku Mahuze adalah bun­tut ketaku­tan umat manu­sia pada apa yang dira­malkan Malthus soal kri­sis pangan.

Sam­pai sekarang solusi men­gatasi kri­sis pan­gan belum juga berhasil. Rev­o­lusi hijau jilid I oleh Nor­man Bor­lang men­u­ai hasil spek­takuler di awal namun gagal men­gatasi kri­sis pan­gan untuk selan­jut­nya, begi­tu juga Rev­o­lusi hijau jilid II yang diin­isi­asi oleh Robert Fradey. Proyek yang jus­tru mem­bawa masalah baru beru­pa turun­nya jum­lah air secara sig­nifikan, kerusakan tanah aki­bat pupuk dan pestisi­da, gejala ker­a­cu­nan dan kanker menye­bar, dan biaya per­tan­ian yang semakin ting­gi. [1]

Pen­e­trasi Rev­o­lusi Hijau per­ta­ma di Indone­sia dilak­sanakan dalam ben­tuk BIMAS atau bimbin­gan masa tahun 1970. Bimas adalah suatu paket pro­gram pemer­in­tah yang beru­pa teknolo­gi per­tan­ian, masukan bib­it, pupuk, pestisi­da dan ban­tu­an kred­it. Keti­ka peser­ta BIMAS menu­run, pemer­in­tah men­gelon­torkan pro­gram baru INMAS (inten­si­fikasi masa) yakni suatu pro­gram kred­it seba­gai lan­ju­tan bagi peser­ta Bimas. Tahun 1979 pro­gram baru lagi diber­lakukan yakni INSUS (inten­si­fikasi khusus), tujuan­nya untuk men­dorong petani menanam tana­man sam­bil men­gontrol hama padi.

Hasil kuan­ti­tatif Rev­o­lusi Hijau di Indone­sia memang menakjubkan. Di satu pihak per­tan­ian di Jawa mam­pu mem­pro­duk­si dua kali lipat padi dari hasil per­tan­ian Jawa tahun 1960-an. Jawa menyum­bangkan lebih dari rata rata kon­tribusi diband­ing daer­ah lain di Indone­sia, dan oleh kare­na itu memainkan per­an uta­ma dalam peruba­han sta­tus Indone­sia dari pengim­por terbe­sar beras dan tahun 1985 men­ja­di mandiri. Fak­ta sekarang, Rev­o­lusi Hijau di Indone­sia hanya berhasil di awal saja. Sete­lah swasem­ba­da beras tahun 1985 Indone­sia kem­bali men­ja­di negara pengim­por beras terbe­sar dunia hing­ga sekarang

Kon­ver­si hutan 1,2 juta Ha men­ja­di ‘sawah’ yang dicanangkan Jokowi dalam 3 tahun men­datang, ter­hi­tung per 10 Mei 2015, untuk men­ja­ga keterse­di­aan pan­gan bagi 2,5 juta masyarakat Indone­sia, lalu untuk mem­beri makan 10 Mil­yar pen­duduk dunia. Den­gan luasan terse­but diperki­rakan akan diper­oleh pro­duk­si padi 24 ton per hek­tar per tahun maka secara keselu­ruhan akan dihasilkan sek­i­tar 24 juta ton per tahun. Jum­lah ini sama den­gan 30 % pro­duk­si padi nasion­al (pro­duk­si padi nasion­al 70,83 juta ton per tahun).[2]

MIFEE Proyek Keta­hanan Pangan?

Di bulan April 2006, sebuah proyek berta­juk Mer­auke Inte­grat­ed Rice Estate (MIRE) dilun­curkan seba­gai bagian dari MP3EI (Mas­ter Plan Per­lu­asan dan Per­cepatan Pem­ban­gu­nan Ekono­mi Indone­sia). Bagi SBY, proyek ini adalah ide cemer­lang bah­wa Indone­sia akan memi­li­ki sebuah ‘pabrik beras’ yang tidak hanya masif dalam luasan proyek namun juga dalam skala pro­duk­si.[3] Untuk menopang MIRE pemer­in­tah men­gelu­arkan Per­at­u­ran Pemer­in­tah (PP) Nomor 28, Tahun 2008 yang secara detail men­jadikan kabu­pat­en Mer­auke seba­gai pusat proyek, dan mem­baginya ke dalam enam daer­ah uta­ma yang mas­ing-mas­ing akan men­ja­di daer­ah indus­tri den­gan tana­man spesifik.

Di tahun yang sama, Instruk­si Pres­i­den (Inpres) Nomor 5 dilun­curkan untuk mem­per­cepat real­isasi MIFEE. Inpres ini secara spe­si­fik mem­inta Badan Per­tana­han Nasion­al bek­er­jasama den­gan Pemer­in­tah Kabu­pat­en (Pemkab) Mer­auke untuk segera melakukan pemetaan, pen­guku­ran dan pem­ba­gian enam daer­ah kunci.

Di tahun 2010, Rez­im SBY kemu­di­an menge­mas proyek MIRE den­gan sebuah ren­cana yang lebih glam­our: Mer­auke Inte­grat­ed Food and Ener­gy Estate (MIFEE). Pemer­in­tah men­gelu­arkan PP No.18, Tahun 2010 yang secara khusus mem­berikan per­ha­t­ian ter­hadap MIFEE ser­ta proyek­si ten­tang keun­tun­gan nasion­al yang bakal dida­p­at dari pajak dan keun­tun­gan lain jika proyek ini berjalan.

Ser­e­mo­ni­al mema­nen Padi Jokowi di Merauke

Proyek Mer­auke Inte­grat­ed Food and Ener­gy Estate (MIFEE) di era pemer­in­ta­han SBY kemu­di­an dilan­jutkan di era Jokowi. Tidak tan­gung-tang­gung, Jokowi menar­get 1,2 juta Ha are­al hutan Mer­auke harus dikon­ver­si men­ja­di sawah dalam wak­tu 3 tahun mendatang.

Jauh sebelum MIRE dan MIFEE Belan­da pada tahun 1951 sudah mem­u­lai proyek menanam padi juga atas nama ‘keta­hanan pan­gan’ diatas area 700 Ha. Proyek ini diteruskan di bawah pemer­in­ta­han Indone­sia hing­ga 2015. Dalam kurun wak­tu 66 tahun, di Mer­auke ter­c­etak 43 ribu ha sawah artinya ter­ja­di penam­ba­han 42.300 ha.[4] Sung­guh edan 3 tahun wak­tu yang dicanangkan Jokowi untuk bisa meng­hasilkan luas lahan hing­ga 1,2 juta Ha. Sehing­ga dalam pida­to Jokowi men­gatakan proyek ini mem­bu­tuhkan dana tidak hanya mil­yaran tapi triliunan.

Per­tanyaan­nya, apakah benar proyek MIFEE sema­ta-mata seba­gai solusi memenuhi keterse­di­aan ‘nasi’? Sayangnya tidak, Andre Bara­hamin men­e­mukan data yang mematahkan­nya. Total luas lahan yang diko­r­bankan untuk MIFEE men­ca­pai 1.927.357 hek­tar, atau ham­pir dua juta hek­tar. Dari total 973.057 hek­tar (50.48 persen) digu­nakan untuk indus­tri perke­bunan kayu, 2.800 hek­tar (0.14 persen) diang­garkan untuk pen­go­la­han kayu, 433.187 hek­tar (22.47 persen) diko­r­bankan untuk perke­bunan saw­it, 415.094 hek­tar (21.53 persen) diberikan untuk indus­tri perke­bunan tebu yang pro­duk­si akhirnya adalah gula, dan 103.219 hek­tar (5.38 persen) untuk sawah padi beras. Per­bandin­gan sta­tis­tik seder­hana ser­ta ijin kons­esi alih fungsi hutan di atas menun­jukkan bah­wa MIFEE sejak awal tidak bertu­juan untuk memenuhi kebu­tuhan pan­gan nasion­al, seper­ti digem­bor-gem­borkan oleh pro­pa­gan­da pemer­in­tah. Seba­liknya, ekspan­si dan per­am­pasan lahan ini sema­ta-mata ditu­jukan untuk memenuhi kebu­tuhan ekstrak­tif kor­po­rasi sema­ta.[5]

Efek Domi­no

Mega-proyek MIFEE akan mem­bawa dampak buruk bagi Papua. Per­ta­ma, proyek MIFEE dan proyek yang men­dahu­luinya mem­ba­bat 2,5 juta Ha, berpoten­si men­cip­takan kri­sis pan­gan. Malind-Anim seba­gai suku yang memi­li­ki keter­gan­tun­gan besar ter­hadap hutan akan men­ja­di kor­ban serius proyek MIFEE. Secara drastis keterse­di­aan sagu dan hewan buru­an berku­rang kare­na alih fungsi hutan untuk kepentin­gan indus­tri per­tan­ian. Anca­man keku­ran­gan gizi bakal melan­da Malind-Anim.

Dinas Kese­hatan Kabu­pat­en Mer­auke pada tahun 2013 men­catat naiknya jum­lah kema­t­ian ibu dan anak di Kabu­pat­en Mer­auke secara tajam (15 persen). Sete­lah MIFEE res­mi dilun­curkan, For­est Peo­ple Pro­gramme men­catat mewabah­nya mal­nu­trisi yang beru­jung pada kema­t­ian. Di dusun Zane­gi, dis­trik Malind, ter­catat 5 orang anak mening­gal dunia kare­na keku­ran­gan gizi.

Ked­ua, proyek MIFEE jelas-jelas akan mende­for­estasi luas hutan di Mer­auke. Dalam berba­gai pub­likasi yang berhasil dikumpulkan, MIFEE ditar­getkan secara berta­hap mer­am­pas sek­i­tar 2.5 juta hek­tar hutan alam dan lahan gam­but yang bera­da di wilayah ulay­at Malind-Anim. Total luas lahan ini ren­cananya akan didis­tribusikan untuk indus­tri pan­gan (50 persen), indus­tri saw­it (20 persen) dan indus­tri tebu (30 persen). [6]

Sesuai den­gan pola ruang Kabu­pat­en Mer­auke, luas daratan Kabu­pat­en Mer­auke adalah 4.670.163 Ha. Dari luas terse­but yang sebelum­nya dialokasikan untuk kawasan per­lin­dun­gan selu­as 2.455.694 Ha dan untuk kepentin­gan inves­tasi selu­as 1.598.822 ha akan diba­lik, 2,5 juta Ha yang jus­tru untuk investor. Efeknya, persen­tase sta­tus emisi Kabu­pat­en Mer­auke ter­hadap Provin­si Papua kini men­ca­pai 45,29 persen dan sta­tus emisi Kabu­pat­en Mer­auke ter­hadap nasion­al men­ca­pai 3,6 persen.[7]

Pada tahun 2005 hing­ga 2009, luas hutan Papua 42 juta ha. Tiga tahun kemu­di­an menyusut men­ja­di 30,07 juta ha. Data pemer­in­tah menye­butkan, seti­ap tahun rata-rata defor­estasi di Papua 143.680 ha. Sedan­gkan laju defor­estasi untuk Papua Barat per tahun 25 persen atau 293 ribu ha.[8]

Keti­ga, Semakin sulit­nya men­cari bahan pan­gan, mem­bu­at banyak kelu­ar­ga Malind-Anim ter­pak­sa mesti menye­berang ke seba­gian kecil hutan yang dim­i­li­ki kelu­ar­ga lain. MIFEE memicu kon­flik sosial antar mar­ga dan suku yang lebih besar. Sudah jamak kon­flik antar suku ter­ja­di aki­bat melang­gar batas ter­ri­to­r­i­al. Upacara adat yang biasa dilakukan untuk meredam kon­flik antar mar­ga juga semakin sulit kare­na lokasi-lokasi pent­ing  bagi Malind-Anim telah terampas.

Pem­ba­batan hutan Merauke

Perusa­haan saw­it yang saat ini sudah memen­garuhi habi­tat kali Bian di Mer­auke. “Dulu Kali Bian airnya bisa diminum. Airnya bersih sebelum adanya perusa­haan (Saw­it). Tapi den­gan adanya perusa­haan, kami tidak bisa lagi mimun. Untuk minum kami harus per­gi beli air atau masak air dari sumur”, ujar salah satu Mar­ga Mahuze dalam film doku­menter The Mahuze.

Upacara per­dama­ian suku Mahuze

 

Keem­pat, kega­galan dan aki­bat yang ditim­bulkan Rev­o­lusi Hijau di Fil­ip­ina, negara per­con­to­han rev­o­lusi hijau di Asia kini men­gan­cam Papua. Vari­etas IR‑8 yang dikelu­arkan tahun 1966, men­gala­mi pen­der­i­taan serius dis­erang oleh hama antara tahun 1968–1969, dan pada tahun 1970–1971 wereng tun­gro meng­han­curkan IR‑8 dis­elu­ruh Pilipina.

Vari­etas IR-20 selan­jut­nya dicip­takan dalam rang­ka meng­gan­tikan IR‑8. Pada tahun 1971–1972 IR-20 diperke­nalkan seba­gai bib­it baru yang tahan ter­hadap hama dan tun­gro. Namun pada tahun 1973 hama belalang wereng meng­han­curkan jenis IR-20 di ham­pir selu­ruh propin­si di Fil­ip­ina. Sete­lah itu vari­etas baru pun dilem­parkan, yakni IR-26. Nasib IR-26 ini juga tidak jauh beda, tahun 1974–1975 juga han­cur dis­erang hama belalang jenis baru. Tahun 1976, var­i­tas baru pun dicip­takan, yakni IR-36, dan seti­ap dite­mukan bib­it ung­gul baru, selalu saja musuh baru muncul.

Perem­puan Mahuze memangkur sagu

Keli­ma, dalam pangkur (panen sagu), perem­puan memi­li­ki per­an yang sama den­gan laki-laki. Mulai dari mem­o­tong kayu sam­pai menepung sagu, semua dilakukan bersama, perem­puan dan laki-laki. MIFEE bisa men­gubah tatanan sosial terse­but den­gan men­em­patkan perem­puan di area domestik.

Rev­o­lusi indus­tri dan rev­o­lusi hijau di bela­han dunia telah men­gubah per­an perem­puan ter­batas di dalam rumah. Pabrik-pabrik lebih memil­ih mem­peker­jakan laki-laki dari­pa­da perem­puan. Meskipun ada kesem­patan perem­puan bek­er­ja, soal upah dia selalu kalah diband­ing laki-laki.

Kemu­di­an, uru­san bertani dia­sosi­asikan seba­gai peker­jaan berat, sehing­ga ‘dim­i­toskan’ hanya laki-lak­i­lah yang mam­pu mengam­bil peker­jaan  itu. Perem­puan yang dis­tereotip­kan seba­gai kaum lemah, ibu rumah tang­ga, istri yang setia menung­gu suaminya pulang ker­ja, tidak dimungkinkan mengam­bil peran.

Keenam, masyarakat Mer­auke memi­li­ki indi­ge­neous bah­wa hidup harus meny­atu den­gan alam. Hutan men­ja­di sum­ber pan­gan yang menye­di­akan sagu, hewan buru­an, buah-bua­han dan kebu­tuhan hidup lain. Dalam kos­molo­gi Malind-Anim, hutan dipan­dang seba­gai ‘Ibu’ yang mem­berikan kehidu­pan ser­ta pin­tu religius berhubun­gan den­gan Dema.

Keterikatan Malind-Anim den­gan hutan juga dap­at dike­nali melalui pemak­naan dari tiap-tiap mar­ga (fam) Malind-Anim den­gan tum­buhan atau hewan yang ter­da­p­at dalam hutan. Semi­sal mar­ga Gebze yang dil­am­bangkan den­gan pohon kela­pa, Samkakai yang dis­im­bolkan oleh kang­gu­ru, fam Mahuze yang ditandai oleh sagu, Kaize yang bera­sosi­asi den­gan kasuari atau babi hutan. Kehi­lan­gan sim­bol klan bagi Malind-Anim meru­pakan trage­di keter­pu­tu­san sejarah antara dirinya den­gan kebu­dayaan­nya. Meng­gan­tikan hutan sagu den­gan saw­it, sawah padi atau perke­bunan tebu berar­ti aksi lang­sung peng­han­cu­ran ter­hadap perangkat penun­jang kos­molo­gi Malind-Anim, yang berim­p­likasi pada pemus­na­han kebu­dayaan (etnosi­da) Malind-Anim secara keselu­ruhan.[9]

Di berba­gai kota besar, pemer­in­tah­nya berusa­ha melakukan diver­si­fikasi pan­gan ter­ma­suk men­gelu­arkan atu­ran satu hari tan­pa nasi, seba­liknya di daer­ah dimana war­ganya mengkon­sum­si non beras seba­gai bahan makanan pokok jus­tru ‘dihabisi’. Pemer­in­tah dalam persepek­tif ini adalah seba­gai sub­yek yang men­trans­for­masi raky­at men­ja­di sek­dar objects, recip­i­ents, clients atau par­tic­i­pant.[10]

Negara ini tidak per­nah berhen­ti untuk mengek­sploitasi kekayaan bumi Papua. Par­a­dig­ma sen­tral­isasi pem­ban­gu­nan selalu saja men­gor­bankan Papua. MIFEE jelas-jelas bukan proyek pem­ban­gu­nan di Papua. Dia lebih mirip proyek peng­han­cu­ran. Sung­guh iro­nis, ini men­gu­lang bagaimana proyek per­tam­ban­gan seper­ti Freeport di Papua jus­tru tidak dinikmati sang pemi­lik rumah. Ini buk­ti kesekian kalinya bah­wa Indone­sia men­ja­jah Papua.[]

Tolak pem­ban­gu­nan MIFEE!

[1] Daniel S. Stephanus dalam Ancaman Krisis Pangan Global yang terbit di Majalah Dimensi edisi 36 tahun 2016

[2] http://www.wwf.or.id/?40183/12-Juta-Ha-Lahan-Merauke-untuk-Lumbung-Pangan-Nasional diak­ses 14 Feb­ru­ari 2017 pukul 05.28

[3] Takeshi Ito, Noer Fauzi Rach­man, Laks­mi A. Sav­it­ri, Nat­u­ral­iz­ing Land Dis­pos­s­e­sion: A Pol­i­cy Dis­course Analy­sis of the Mer­auke Inte­grat­ed Food and Ener­gy Estate, makalah yang dipresen­tasikan di Kon­fer­en­si Inter­na­sion­al: Glob­al Land Grab­bing, 6–8 April 2011

[4] https://gutterspit.com/2015/11/06/memperluas-solidaritas-ruang-melawan-ekspansi-i-menonton-the-mahuzes/ diak­ses 14 Feb­ru­ari 2017 pukul 08.00

[5] Andre Bara­hamin dalam Hikay­at Beras Pemangsa Sagu: Etnosi­da Ter­hadap Malind-Anim Melalui Mega Proyek MIFEE dalam http://indoprogress.com/2015/10/hikayat-beras-pemangsa-sagu-etnosida-terhadap-malind-anim-melalui-mega-proyek-mifee/

[6] Ibid.

[7] https://awasmifee.potager.org/?p=1073&lang=id diak­ses 14 Feb­ru­ari 2017 pukul 07.05

[8] Charles Tawaru, Koor­di­na­tor Green­peace di Papua dalam https://awasmifee.potager.org/?p=284&lang=id (diak­ses 14 Feb­ru­ari 2017 pukul 06.09)

[9] Andre Bara­hamin dalam Hikay­at Beras Pemangsa Sagu: Etnosi­da Ter­hadap Malind-Anim Melalui Mega Proyek MIFEE dalam http://indoprogress.com/2015/10/hikayat-beras-pemangsa-sagu-etnosida-terhadap-malind-anim-melalui-mega-proyek-mifee/ diak­ses 14 Fer­u­ari 2017 pukul 08.37

[10] Juni Har­tan­to dalam tulisan­nya berjudul Tin­jauan Kri­tis Dr. Man­sour Fak­ih ter­hadap Rev­o­lusi Hijau