Saya ingat keti­ka kuli­ah S1, saya tidak per­nah memi­li­ki buku kuli­ah sama sekali. Keti­ka ada tugas kelom­pok, saya hanya mem­fo­tokopi apa yang saya harus pre­sen­tasikan. Maka dari itu dulu kami ser­ing men­da­p­at julukan “Sar­jana Fotokopi”. Saat S2, saya men­co­ba untuk menabung satu atau dua buku tiap bulan. Den­gan hara­pan saya tidak kewala­han saat menger­jakan tugas akhir—yang sam­pai sekarang belum juga selesai.

Bagi saya peringatan Kar­ti­ni lebih bagus bila uang yang digu­nakan untuk beli atau sewa kebaya atau make up dialokasikan men­ja­di buku yang layak baca sesuai gen­erasi. Agaknya ger­akan itu lebih disukai men­di­ang Kar­ti­ni dari­pa­da sekedar meniru memakai bajun­ya den­gan megal-megol dan selfi muka bebek di ponsel .

Bayangkan saja bagaimana perasaan Kar­ti­ni jika meli­hat tingkah lugu gen­erasi penerus­nya yang nyatanya sekedar “macak”. Bahkan diantara mere­ka ini harus mero­goh kocek yang tidak sedik­it untuk men­dan­dani tubuh­nya sedemikian mirip Kartini.

Beber­a­pa media cetak edisi April ini juga meny­oroti fes­ti­val kebaya kuno. Dimana peser­ta yang diang­gap memi­li­ki gaya pal­ing cocok dan den­gan penge­tahuan bagus bisa meme­nangkan kompetisi.

Dari sini jelas sudah ter­ja­di perge­ser­an nilai, dimana Kar­ti­ni dipan­dang dari keelokan lekuk tubuh dari si pemakai kebaya. Meskipun berem­bel-embel pemu­di den­gan penge­tahuan yahud, tapi pada dasarnya Kar­ti­ni men­ja­di sekedar peringatan. Kebaya diang­gap iden­tik den­gan Kar­ti­ni sehing­ga fes­ti­val Kar­ti­ni-an hanya sebatas paka­ian khas Jawa kuno yang per­lu dipakai guna meng­hor­matinya (saja).

Pada­hal jika kita lihat lebih dalam bagaimana sebe­narnya tujuan eman­si­pasi yang digaungkan Kar­ti­ni lebih dari sekedar kelu­ar dari kungkun­gan ruang domestik. Namun menu­rut saya, perem­puan masa kini kem­bali pada masa ketertin­dasan­nya yang mele­takkan eman­si­pasi sebatas kebaya, make up ser­ta leng­gak-leng­gok diatas pang­gung. Dan bukankah mem­be­li buku lebih patut dilakukan dari­pa­da sekedar mem­bu­at ser­e­mo­ni­al Kar­ti­ni-an? Ini­lah penu­runan seman­gat eman­si­pasi Kar­ti­ni yang sesung­guh­nya sedang mer­adang dalam diri perem­puan masa kini.

Buku terasa lebih mahal ketim­bang sewa kebaya, kena­pa demikian?? Sebab seman­gat baca gen­erasi kini kian menu­run. Sebuah stu­di tahun lalu dari CENTRAL Con­necti­cut State Uni­ver­si­ty ten­tang The World’s Most Lit­er­ate Nation (WMLN), meny­ataan bah­wa Indone­sia bera­da di posisi 60 dari 61 negara untuk kat­e­gori minat baca. Anehnya, untuk kat­e­gori infra­struk­tur per­pus­takaan, Indone­sia men­da­p­at rangk­ing 36.5 setara den­gan negara Tunisia, lebih ung­gul di atas negara Korea Sela­tan (42), Por­tu­gal (38), New Zealand (39), Belan­da (53), Jer­man (47) juga Sin­ga­pu­ra yang hanya men­da­p­at rangk­ing 54.

Pada­hal, alter­natif bagi kita yang belum pun­ya buku ya datang ke per­pus­takaan. Sedan­gkan fak­ta di lapan­gan dari survei dan pen­gala­man saya seba­gai pen­gun­jung setia per­pus­takaan, hal-hal seper­ti petu­gas per­pus­takaan yang kurang ‘ramah lingkun­gan’, berisik saat banyak pen­gun­jung sedang mem­ba­ca, atau ter­lalu ketat­nya per­at­u­ran saat masuk gedung per­pus­takaan, mem­bu­at beber­a­pa dan bahkan banyak orang men­ja­di anti masuk per­pus­takaan. Di per­pus­takaan daer­ah (yang bela­bel nasion­al) di tem­pat saya, misalnya.

Saya harus men­je­laskan ten­tang beta­pa kolek­si bukun­ya banyak, ada gam­bar ini itu yang menarik, buat meng­gu­gah sel­era baca pon­akan-pon­akan saya. Mere­ka masih ser­ing ogah-oga­han datang kare­na katanya ser­ing ‘diben­tak’ oleh petu­gas. Saya sendiri ser­ing men­gala­mi hal yang seru­pa, entah kare­na saya memakai baju yang mirip jaket, atau saya yang datang hanya mem­ba­ca nov­el sema­ta, atau saya yang mem­bawa buku tulis mirip cov­er buku kolek­si per­pus­takaan. Ada saja pen­gala­man tidak menye­nangkan saya.

Saya sesekali bahkan sem­pat ngomel dalam batin, “Kalau memang tidak berke­nan untuk bukun­ya diba­ca lebih baik dima­sukkan eta­lase saja sehing­ga pen­gun­jung cukup datang dan men­gagu­mi dari jauh.” Sayang saya hanya bisa mbat­in. Mes­ki jengkel, saya tetap datang beber­a­pa ming­gu kemu­di­an, kare­na saya tidak mam­pu mem­be­li buku yang saya ingin baca [atau saya yang tidak mau (?)].

Dua teman saya yang ting­gal di luar negeri (Sin­ga­pu­ra dan Tai­wan), men­gatakan bah­wa per­pus­takaan dis­ana san­gat baik dan nya­man. Tidak ada atu­ran masuk per­pus­takaan seke­tat Indone­sia, petu­gas­nya pun hanya mene­gur saat pen­gun­jung berisik atau datang jika diper­lukan. Selan­jut­nya adalah tugas CCTV dan alat pemindai otomatis.

Di negeri ini, buku men­ja­di barang mewah. Per­pus­takaan yang ada tidak memi­li­ki daya Tarik yang bagus pada masyarakat sek­i­tar. Dari yang saya temui ham­pir semua petu­gas per­pus­takaan tidak ramah lingkun­gan. Agaknya petu­gas per­pus­takaan per­lu bela­jar ramah pada petu­gas swalayan retail yang men­gu­cap­kan “sela­mat datang,” dan petu­gas pom bensin yang selalu menyam­but den­gan tersenyum sem­bari berka­ta, “mulai dari nol ya?””

Di bazar buku yang berla­bel diskon sekian puluh persen sekalipun, tak banyak pen­gun­jung yang datang untuk mem­be­li. Tak her­an jika UNESCO juga men­da­p­atkan sta­tis­tik bah­wa minat baca orang Indone­sia hanya 0,001 persen saja, yang artinya dari seribu orang hanya ada satu orang yang gemar membaca. []

 

 

*Foto dalam artikel ini adalah foto per­pus­takaan dari teman saya, di salah satu daer­ah Sin­ga­pu­ra yang jus­tru menu­rut rangk­ing kat­e­gori infra­struk­tur per­pus­takaan jauh di bawah Indonesia.
*Ini meru­pakan tulisan Nunung Afu’ah (per­nah aktif seba­gai crew DIMeN­SI, penyu­ka trav­el­ing, ting­gal di ig@klepon abang)

Manu­sia dan ker­ak-ker­ak bumi, sama berg­er­aknya. Hanya, manu­sia itu lebih absurd