Tahun baru Hijri­ah 1439 H jatuh pada Kamis, 21 Sep­tem­ber 2017 (1 Muhar­ram 1439 H). Muhar­ram meru­pakan salah satu bulan yang dihor­mati selain Dzulqa’dah, Dzul­hi­j­jah, dan Rajab. Ada banyak kemu­li­aan yang diberikan Allah SWT di bulan yang diharamkan untuk perang ini. Bila melakukan beber­a­pa amalan, banyak sekali kebaikan yang akan diraih oleh kaum muslim.

Berbe­da den­gan tahun baru Mase­hi yang dis­am­but den­gan keme­ri­ahan, pes­ta kem­bang api maupun meni­up terompet. Tahun baru Hijri­ah dis­am­but den­gan berba­gai rit­u­al. Rit­u­al- rit­u­al terse­but diantaranya adalah ngum­bah keris malam satu suro, tirakatan malam satu suro (men­cari jalan agar dekat den­gan Sang Pen­cip­ta), lek- lekan (tidak tidur semalam sun­tuk) dan Gen­dure­nan (Sela­matan den­gan mem­bawa nasi lengkap den­gan lauk), sedekah bumi (gre­beg suro).

Bagi umat Islam, 1 Muhar­ram adalah hari yang pent­ing kare­na menandai peri­s­ti­wa dalam sejarah Islam yaitu mem­peringati hijrah­nya Nabi Muham­mad SAW dari Kota Mekkah ke Mad­i­nah pada tahun 622 M. Oleh kare­na itu tahun hijrah Rasu­l­ul­lah SAW terse­but diam­bil seba­gai awal per­hi­tun­gan bagi kalen­der Hijriah.

Datangnya 1 Muhar­ram iden­tik den­gan tra­disi dan rit­u­al malam satu sura atau dalam masyarakat Jawa dise­but tra­disi suronan/grebeg suro. Sebe­narnya tra­disi ini bermu­la dari masuknya Islam di Pulau Jawa yang dise­barkan oleh para wali. Kare­na Islam tidak bisa masuk dan diter­i­ma begi­tu saja oleh masyarakat Jawa zaman dahu­lu. Hal ini ter­ja­di kare­na mere­ka masih memi­li­ki keyak­i­nan ani­misme dan dinamisme yang kental.

Masyarakat mem­per­cayai jika malam 1 Suro meru­pakan malam lebaran bagi makhluk ghaib sehing­ga banyak makhluk ghaib yang kelu­ar dari pers­ing­ga­han mas­ing-mas­ing. Anehnya mitos ini ker­ap dikaitkan den­gan adanya penam­pakan ser­ta gang­guan makhluk halus di malam terse­but. Entah dari­mana awal mitos ini muncul yang jelas mitos terse­but hing­ga kini masih banyak diper­caya. Bahkan ada juga yang per­caya bah­wa malam satu Suro meru­pakan malam pal­ing buruk dalam satu tahun. Sehing­ga beber­a­pa orang yang men­gang­gap bah­wa di bulan Suro ter­da­p­at banyak sekali sial dan ben­cana yang akan menim­pa umat manusia.

Suro meru­pakan bulan yang dik­era­matkan oleh masyarakat Jawa. Seti­ap orang Jawa yang “njawani” akan mena­han diri untuk menye­leng­garakan hajatan pernika­han di bulan terse­but. Mere­ka meyaki­ni, apa­bi­la pan­tan­gan itu dilang­gar akan men­da­p­atkan bal­ak (bencana/musibah). Hal ini dikare­nakan masyarakat Jawa masih per­caya den­gan prim­bon (per­hi­tun­gan yang berkai­tan den­gan kehidu­pan manu­sia di dunia). Menu­rut buku Prim­bon, orang yang melakukan pernika­han di bulan ini akan men­da­p­at kesukaran dan selalu bertengkar. Sehing­ga masyarakat akan menghin­dari hajatan pernika­han pada bulan ini.

Kare­na banyak angga­pan bah­wa bulan Suro seba­gai bulan datangnya bal­ak, sehing­ga banyak kegiatan dilakukan orang Jawa untuk menghin­dari atau meno­laknya. Salah sat­un­ya adalah agen­da auro­dan istighosah yang dige­lar di Masjid Bitur­rah­man Kolo­mayan, Won­oda­di, Bli­tar. Acara terse­but dihadiri oleh masyarakat sek­i­tar dan Santri Siro­jut Tholi­b­in beser­ta pen­ga­suh pondok.

Ter­da­p­at beber­a­pa amalan-amalan yang dilakukan di sana. Keti­ka sudah mema­su­ki pukul 23.11 diku­man­dan­gkan­nya adzan yang lafadznya mirip den­gan adzan sub­uh. Kemu­di­an dis­usul den­gan pujian atau doa Abu Nawas “Ilahi­las­tulil fir­dausi ahlan, wala aqwa ‘alan­nar­il jahi­mi, fah­abli taubatan wagh­fir dzunubi, fainna­ka ghofirudz dzam­bil adhi­mi” sebanyak 13 pengulangan.

Sete­lah itu seo­rang lela­ki melafad­kan iqom­ah dan kemu­di­an para jamaah berdiri dan melak­sanakan sholat hajat (4 rokaat), sholat tas­bih (2 rokaat), dan sholat lidaf”il bal­ak (2 rokaat). Sete­lah semuanya sele­sai, jamaah diin­truk­si untuk berdiri untuk bersi­ap-siap mengu­man­dan­gkan adzan beser­ta iqom­ah ke 4 arah (barat, sela­tan, timur, dan utara). Lalu dis­usul den­gan kegiatan inti, yaitu auro­dan istighosah kurang lebih sela­ma 30 menit.

Kegiatan terse­but diakhiri den­gan muhasafah/ bersalam-sala­man dan makan bersama atau orang di sana menye­but­nya den­gan sela­matan. Makanan dile­takkan di lengser besar dan kemu­di­an diba­gi rata. Mere­ka meyaki­ni, bah­wa amalan tadi bisa seba­gai tolak bal­ak dan ini adalah kegiatan ruti­nan yang dis­e­leng­garakan seti­ap tahun.

Dalam Islam, tidak ada yang namanya bulan sial, kera­mat, baik, dan lain-lain. Namun demikian lain ceri­ta den­gan orang Jawa yang masih kukuh men­ja­ga warisan leluhur dan tetap mem­per­cayainya. Memang banyak rit­u­al berbe­da yang dilakukan dalam rang­ka menyam­but kedatan­gan bulan ini. []