Siang cerah kemarin menjadi awal hari yang suci bagi umat Hindu. Tepatnya pada Rabu, 24 Juli 2019 di Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Matahari telah condong ke barat tiga puluh derajat. Sementara itu, jemaah mulai berdatangan dari berbagai daerah.
Di tengah kerumun jemaah, terdapat seorang pria dengan pakaian serba putih menghadap semua orang yang sedang duduk sila di tempat ibadah. Mulai membuka upacara Galungan seraya mengucap salam, “Om swastiastu” dan “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Seraya mendapat balasan salam dari jemaah dan orang yang turut hadir dalam upacara tersebut.

Suasana hening dibarengi dedaunan kering yang berjatuhan mengiringi aktivitas spiritual hari itu. Jemaah masih terus berdatangan silih berganti, ada yang mengenakan kebaya, sarung yang dilapisi kain kuning, dan berpakaian adat Jawa. Sebagian lainnya turut menyusul selagi upacara sudah dimulai.
Umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan bersamaan dengan Kuningan setelahnya. Galungan adalah kemenangan dharama melawan adharma, kebaikan melawan keburukan (hal yang tidak baik). Segala suatu hal yang kurang baik, yang dimiliki manusia itulah yang berusaha dikendalikan. Hal ini disampaikan oleh ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Jatim, Nyoman Anom Medhiana.
Falsafah Agama Hindu di dalamnya dikenal istilah Sad Ripu. Berasal dari kata sad yang berarti enam dan ripu yang berarti musuh. Secara harfiah Sad Ripu berarti enam musuh yang harus dikalahkan setiap manusia. Musuh tersebut berasal dari dalam diri manusia itu sendiri.
Sebagaimana penjelasan Nyoman, keenam musuh tersebut yakni, pertama Kama berarti nafsu atau keinginan yang tidak terkendali. Musuh terberat yang harus dikalahkan, seperti halnya keserakahan manusia terhadap harta benda yang dimilikinya, hingga dapat menyebabkan keinginan yang tidak terkendali semacam korupsi. Kedua, Krodha yang berarti kemarahan. Musuh yang harus dikendalikan, sebab kerap melahurkan masalah dan emosional negatif.
Ketiga, Mada yang berarti mabuk. Mabuk dianalogikan dengan suatu hal yang tinggi derajatnya, semisal gila akan jabatannya, mabuk terhadap harta kekayaannya dan kepintarannya, hingga tidak lagi mengamalkan ilmunya. Keempat, Moha berarti kebingungan, yang dapat menyebabkan pikiran menjadi gelap sehingga tidak mampu berpikir jernih. Membuat seorang tidak dapat membedakan hal baik buruk.
Kelima, Lobha yang berarti tamak atau rakus. Bersifat negatif sehingga dapat merugikan orang lain. Seperti halnya sifat tidak puas dengan yang dimiliki sehingga bisa menyebabkan kejahatan seperti mencuri, merampok dan lain sebagainya. Keenam, Matsarya yang berarti iri hati terhadap orang yang lebih mampu, sehingga menimbulkan rasa benci.
Hari Raya Galungan sendiri dirayakan umat Hindu setiap 210 hari sekali, menggunakan kalender Bali atau tujuh bulan sekali dalam penanggalan masehi. Diawali oleh Pandita yang melakukan pembersihan untuk menetralisir lokasi upacara dari roh jahat. Biasanya ditandai dengan beberapa orang berkeliling lokasi membawa persembahan. Hal ini berlaku pada lokasi upacara ataupun di sekitarnya.
Matahari makin condong, sangkakala mendengung dengan iringan alat musik tradisional dari bambu yang ditabuh. Langit mulai melegam dan upacara akan segera usai. Sementara itu, Pandita masih memanjatkan doa bersamaan jemaah yang menadahkan tangannya di depan kening dengan hikmat. Angin menjadi lebih dingin dan dedaunan berhenti berjatuhan. Sebagian jemaah mulai bergilir pulang dan sebagian yang lain masih memilih tetap di pura berbincang satu sama lain.