Men­cu­ci meru­pakan satu dari puluhan aktiv­i­tas yang dilakukan oleh seti­ap orang. Saban hari selalu ada yang men­gu­curkan air ke paka­ian kotor mere­ka, menam­bahkan dert­er­gen, lalu mem­bi­las­nya kem­bali den­gan air bersih.

Saat eyang kakungku masih beru­sia belia, tak jarang ibun­ya men­ga­jaknya ke sun­gai mem­ban­tu mem­bawakan tumpukan baju kotor yang siap dicu­ci. Sem­bari bermain air bersama kawan lela­ki sebaya. Tidak hanya ibun­da dari eyang kakungku dis­ana, ada lebih dari 3 ibu-ibu yang ikut men­cu­ci. Hal ini dilakukan lan­taran belum ada akses air masuk ke rumah-rumah war­ga. Meskipun pada keny­ataan­nya banyak yang memi­li­ki sumur untuk akti­fi­tas yang sama (men­cu­ci, man­di, memasak, dan lai-lain), lebih menarik melakukan hal itu dis­un­gai kare­na dilakukan bersama-sama.

Deb­it air yang cukup besar namun dan­gkal, airnya jernih, dita­m­bah lagi hijau dedau­nan di area sun­gai menam­bah kese­jukan bagi penikmatnya.

itu dulu. Saat eyang kakungku masih usia belia, kira-kira 10 tahun usianya wak­tu itu. Tem­po hari beli­au telah berpu­lang, genap diu­sia 1 abad.

Satu abad kemu­di­an, ter­hi­tung dari usia eyang 10 tahun. Aku men­e­mukan hal seru­pa. Men­cu­ci di sun­gai, seper­ti yang dilakukan ibun­da eyang kakungku. Senang bukan kepalang, sebab di tem­pat tinggalku tidak ada sun­gai yang masih jernih seper­ti yang aku lihat saat ini. Bedanya, deb­it airnya tidak ter­lalu besar, airnya juga tidak jernih seper­ti yang ada dalam ceri­ta eyang kakung.

Aku tanya salah satu diantara mere­ka, men­ga­pa memil­ih men­cu­ci dis­un­gai. Jawab­nya, jum­lah air di rumah tidak cukup digu­nakan men­cu­ci kare­na salu­ran­nya kecil. Harus pakai selang. Kemu­di­an ku tanya yang lain, jawa­ban­nya sama. Ku tanya lagi sat­un­ya, sama. Jawa­ban­nya sama.

Aku meyusuri ban­taran sun­gai. Tidak jauh dari lokasi men­cu­ci, 120 meter sete­lah­nya ada bilik kecil bertuliskan WC. Di sebe­lah kanan ku, per­sis di bibir sun­gai ada sam­pah yang menggunung.

Ada apa geran­gan den­gan alamku? Kena­pa berbe­da den­gan alam eyang buyutku?

Lan­tas, aku ter­tun­duk. Eyang, yang aku lihat ini mer­awat tra­disi ataukah jus­tru mem­perkosa hijau jernih semesta?