Judul buku : Pang­gil Aku Kar­ti­ni Saja
Penulis : Pramoedya anan­ta toer
Pener­bit : Lentera Dipantara
Cetakan : ke 9, april 2012
Hala­man : 301 halaman
Jilid : I dan II

Sebuah nov­el karya Pramoedya Anan­ta Toer yang mencer­i­takan ten­tang sosok perem­puan eman­si­pasi di Indone­sia. Dia adalah Raden Ajeng Kar­ti­ni. Kar­ti­ni dilahirkan di jepara pada 21 april 1879. Ia dilahirkan dari kelu­ar­ga bang­sawan, ayah­nya R.M Sos­ron­ingrat seo­rang bupati Jepara dan ibun­ya M.A Ngasir­ah seo­rang pribu­mi Jepara.


Dalam buku ini Pram mema­parkan secara detail ten­tang kehidu­pan sosok Kar­ti­ni dalam berba­gai cara pan­dang. Lewat kuti­pan surat yang dit­ulis Kar­ti­ni sela­ma masa hidup­nya mem­berikan kehidu­pan nya­ta dalam cer­i­tanya. Pram menya­jikan sosok Kar­ti­ni secara luas tidak hanya ten­tang dunia sosial, poli­tik, ekono­mi, tetapi juga dalam ranah kesen­ian, kebu­dayaan, keaga­maan. Pram juga men­je­laskan ten­tang per­juan­gan Kar­ti­ni ter­hadap diskrim­i­nasi yang dilakukan kaum feo­dal ter­hadap kaum pribumi.

Pram mencer­i­takan ten­tang diskrim­i­nasi bangsa belan­da ter­hadap raky­at keti­ka men­ja­jah indone­sia. Diskrim­i­nasi itu juga dirasakan oleh Kar­ti­ni semasa hidup­nya baik di kelu­ar­ganya maupun di seko­lah­nya. Kar­ti­ni harus melawan segala sis­tem dan adat yang mengi­den­tikkan kaum feo­dal­isme. Segala kehen­dak atau keing­i­nan ayah­nya harus ia patuhi meskipun ia tidak menyetu­juinya. Sehing­ga san­gat ter­batas­nya ruang kebe­basan untuk berpen­da­p­at pada masa Kartini.

Di cer­i­takan juga bah­wa Kar­ti­ni masih bisa mengenyam bangku seko­lah meskipun hanya seben­tar. Tetapi di dalam seko­lah­pun ia juga ker­ap kali men­gala­mi diskrim­i­nasi. Anak-anak dibariskan menu­rut war­na kulit­nya, seper­ti putih, seten­gah putih, dan cok­lat, juga kedudukan orang­tu­anya dalam susunan kepe­gawa­ian dan susunan sosial. Dan Kar­tinipun juga men­gala­mi diskrim­i­nasi war­na kulit semacan itu.

Masa kecil Kar­ti­ni diwar­nai banyak diskrim­i­nasi dari budaya jawanya, ia harus mele­wati pin­gi­tan dan mening­galkan bangku seko­lah­nya. Tetapi ia tetap bisa melawan diskrim­i­nasi den­gan banyak berba­gi ceri­ta den­gan teman penanya di Belan­da, Estel­la Zee­han­de­lar. Ia juga ser­ing menulis di surat kabar, tetapi hanya den­gan izin ayah­nya saja yang boleh diter­bitkan. Meskipun Kar­ti­ni dipin­git tidak ada kemara­han di hatinya jus­tru mem­bu­at ia berusa­ha bangk­it, berjuang mem­bela haknya seba­gai kaum perem­puan yang masih ter­be­leng­gu oleh dog­ma feo­dal­isme dan pen­ja­ja­han Belanda.

Pemiki­ran Kar­ti­ni dalam memer­juangkan kaum perem­puan, bah­wa perem­puan juga bisa berpikir layaknya laki-laki dan hal itu bisa mem­bu­ka dunia ten­tang dog­ma patri­ar­ki. Hal terse­but ditun­jukkan den­gan tulisan Kar­ti­ni ten­tang hasil ker­a­ji­nan uki­ran Jepara yang khas. Den­gan tulisan terse­but menun­jukkan bah­wa anak-anak pribu­mi mam­pu berbu­at sesu­atu, mam­pu meng­hasilkan sesu­atu mes­ki dalam penindasan.

Pemiki­ran Kar­ti­ni didukung oleh pemiki­ran teman penanya ten­tang kungkun­gan kebe­basan berpen­didikan. Kar­ti­ni ingin meniru kebe­basan di dunia Eropa dan dit­er­ap­kan di Indone­sia. Budaya patri­ar­ki yang dibawa oleh kaum pen­ja­jah ter­lalu melekat dan meny­atu. Ter­o­bosan Kar­ti­ni ten­tang diskrim­i­nasi kaum feo­dal yang melarang untuk berseko­lah den­gan upaya mendirikan seko­lah bagi kaum pribumi.

Pram seba­gai tan­gan pan­jang Kar­ti­ni di sini men­erangkan secara gam­blang bah­wa budaya patri­ar­ki yang dit­er­ap­kan di ker­a­ton­nya mem­bu­at ia sulit untuk mengutarakan pen­da­p­at­nya. Di dalam buku ini berisi surat-surat yang dit­ulis Kar­ti­ni den­gan teman penanya sehing­ga banyak mem­o­ti­vasi Kar­ti­ni untuk terus melawan diskriminasi.

Pan­dan­gan kar­ti­ni ten­tang dunia pen­didikan memang san­gat pent­ing kare­na den­gan ilmu penge­tahuan kita akan berg­er­ak maju. Pan­dan­gan kaum fem­i­nism lib­er­al yang ingin bebas ter­hadap dunia pen­didikan. Bah­wa kaum laki-laki den­gan kaum perem­puan itu setara dalam hal pen­didikan, tidak ada hal yang mem­be­dakan­nya. Seper­ti hal­nya Kar­ti­ni yang tidak ingin dipang­gil den­gan gelar nama bang­sawan­nya, ia lebih suka di pang­gil den­gan nama Kar­ti­ni saja. Kare­na menu­rut­nya tidak ada yang mem­be­dakan antara kaum bang­sawan maupun kaum pribu­mi, semuanya setara atau sama. []

-