Bila kita berbicara tentang zaman, hal utama yang kita pikirkan adalah apa yang mencirikan di masa itu. Tidak ada suatu zaman yang tidak menciptakan sesuatu atau tidak melakukan perubahan. Setiap zaman yang dilewati manusia pasti akan ada suatu perubahan yang menjadikan perbedaan zaman yang satu dengan lainnya. Hingga apa yang kita sebut saat ini adalah zaman Disruptif.
Era disruptif merupakan suatu keadaan dimana dunia dikuasai oleh inovasi-inovasi baru. Inovasi yang diluncurkan dibarengi dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang canggih. Teknologi digital yang akan menguasai pasar serta mengubah produk dan layanan.
Misalnya saja perubahan model bisnis yang luar biasa seperti yang saat ini ramai diperbicangkan sebut saja perusahaan Taksi Blue Bird digempur dengan perusahaan taksi aplikasi.
Disruptif ini merupakan suatu gambaran bahwa teknologi digital akan menciptakan inovasi baru yang mampu menjatuhkan atau menurunkan merek lama. Teknologi digital mampu mengubah merek lama yang telah sekian lama mendominasi, menjadi babak belur dihajar kompetitor barunya. Ini yang harus dijadikan hati-hati bagi para bisnis merek lama, jika tidak relevan lagi bisnis makin lama makin redup.
Pada era ini, perdagangan melalui dunia maya akan semakin intens. Sehingga membuat pendatang baru menantang korporasi-korporasi besar. Disrupsi menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan atau sudah menjadi keniscayaan. Dalam beberapa tahun terkahir dan ke depan, kekuatan brand akan berubah drastis. Era disruptif akan makin menjadi-jadi. Ibarat bom atom yang langsung membumihanguskan yang sudah ada.
Model bisnis kini menjadikan sorotan perbincangan yang masih hangat. Sebenarnya terjadi perubahan model bisnis yang luar biasa. Pengusaha kali ini ditantang untuk dapat menciptakan brand dan layanan yang baru. Pengusaha yang cerdik bukanlah pengusaha yang bersikeras dengan model bisnis lamanya. Seorang pengusaha perlu mempertanyakan kembali fundamental usahanya. Apa yang ada di bisnis kita? Apakah kita masih harus menjual apa yang semata-mata kita hasilkan, atau kita juga bisa memperluasnya?
Bisnis digital, elektrik, dan media sosial berkembang amat pesat. Mereka yang tidak inovatif dalam mengikuti selera pasar, akan cepat memudar dan dilupakan oleh penggunannya. Banyak perusahaan menghilang karena kalah bersaing dengan industri pendatang baru. Bisnis konvensional hancur berantakan dengan datangnya era digital.
Tumbuhnya seperti e‑commerce yang merupakan bisnis berbasis online mulai merajai industri bisnis didunia. Bahkan siapapun dapat menjangkauinya dengan aplikasi-aplikasi bagi pengguna teknologi. Menjadikan mereka lebih memilih sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan segera, cepat, dan mudah tanpa harus antri atau menunggu. Ini yang menjadikan bisnis konvensinal anjlok.
Era disruptif ini, banyak sekali gangguan dan perubahan. Bisnis penerbitan terganggu dengan adanya desktop publising, bisnis koran cetak digantikan dengan digital news, industri kamera film terganggu dengan adanya inovasi kamera digital. Bisnis tradisional terganggu dengan adanya pemanfaatan kemudahan online. Banyak perusahaan yang terganggu kemudian musnah, berubah dan pada akhirnya tidak bisa eksis lagi.
Demikian pula sektor perbankan yang tidak bisa lagi menghindar dari layanan digital. Dengan model bisnis yang berubah, perbankan juga harus segera beradaptasi. Untuk beradaptasi dengan gelombang perubahan tersebut, layanan digital mesti dipandang sebagai peluang. Kuncinya, kompetensi berupa sumber daya manusia yang berkualitas dan meningkatkan kewirausahaan.
Kita ambil contoh saja China. Bila dibandingkan dengan negara China, Indonesia memang masih kalah jauh dari segi teknologi. Di China model pembayaran sudah mulai ada perubahan. Tukang sayur di China melakukan pembayaran dengan telepon genggam melalui layanan pembayaran elektronik. Ini memperlihatkan bahwasannya teknologi menjadikan manusia menjadi masyarakat yang ingin mendapatkan sesuatu dengan serba cepat dan mudah atau menggunakan jalan pintas (Raditya, 2017:19).
Tantangan yang kian hari kian tajam, tidak dibarengi dengan undang-undang atau regulasinya tidak siap dan tidak bisa mengikuti model bisnis yang baru. Regulasi seharusnya juga harus beradaptasi dengan perkembangan yang terjadi saat ini. Masyarakat membutuhkan layanan digital, namun regulasi belum mengikuti. Setidaknya inilah yang menjadi perhatian pemerintah sekarang untuk menangani disruptif yang mulai pesat. Namun, hukum yang memayunginya masih belum ada kepastian.
Tantangan Akuntansi di Era Digital
Sebelum kita membahas lebih jauh tantangan apa yang harus dihadapi oleh calon akuntan. Kita harus lebih dulu melihat faktor pendidikan yang mendidik dan memberikan pemahaman mereka tentang Akuntansi. Sebab dimulai dari kita menganalisis darimana mereka mulai diperkenalkan, akan tahu bagaimana proses mereka diberi pemahaman itu.
Coba kita berfikir, mungkinkah suatu saat nanti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung menjadi korban disruptif? Menurut saya bisa, karena ilmu akuntansi akan selalu dipergunakan bagi mereka yang melakukan suatu usaha atau kegiatan tertentu yang sifatnya melaporkan keuangan perusahaan atau instansi dengan maksud sebagai pengambilan keputusan. Jika ada suatu usaha yang tidak menggunakan ilmu akuntansi bisa dikatakan usaha itu tergolong usaha kecil.
Saat ini yang harus kita bahas adalah bagaimana ilmu akuntansi yang diterapkan mampu diserap oleh mereka baik calon akuntan, praktisi perbankan, maupun mereka yang nantinya terjun dalam sebuah perusahaan. Bagaimana ilmu akuntansi ini akan mampu mengembangkan usaha dan perusahaannya. Agar tidak kalah bersaing dengan bisnis-bisnis baru yang setiap harinya terus mengalami peningkatan.
Sehingga kita mencoba untuk menengok apa yang kurang dari diri kita. Apakah ada yang salah cara mengajar pendidik ketika mendidik dan memberikan pemahaman tentang ilmu akuntansi? Apakah perguruan tinggi tidak menghasilkan calon akuntan, praktisi perbankan yang kompeten dalam bidang akuntansi? Satu hal yang harus kita ubah adalah pola pikir (mindset).
Pola pikir dimana kemudahan seseorang bekerja ditentukan dari beberapa hal antara lain jurusan yang mereka pilih, dikampus mana mereka belajar, dan kemampuan (skill) apa yang dia punya. Pola pikir tiga rantai ini yang selalu tertanam dalam benak mereka. Sehingga mereka hanya mengandalkan kuliah dijurusan yang tepat, diberikan materi, setelah lulus dapat kerja. Pola pikir yang saya rasa salah.
Bangku kuliah tidak akan pernah memberi segala apa yang ada dibuku ilmu akuntansi, tanpa kamu praktikan, tanpa kita pernah terjun atau kita mencoba menganalisis suatu studi kasus. Misalnya tentang laporan keuangan konsolidasi suatu perusahaan PT Matahari Putra Prima. Kita mencoba menganalisis apa saja yang harus ada didalam laporan keuangan konsolidasi, apa yang menjadi faktor penambah dan faktor pengurang dari laporan itu, dari mana asal angka-angka itu.
Kelemahan kita adalah kita selalu mengandalkan buku yang berisikan teori dan contoh sebuah laporan, tanpa kita tahu sebelumnya dari mana angka-angka itu. Faktor mengandalkan apa yang dijelaskan dosen itulah yang menjadi nutrisi otak kita tentang apa yang kita ketahui tentang akuntansi. Kita kurang dalam mencoba memahami dan kurang adanya rasa keingintahuan tentang sedalam apa akuntansi itu dipelajari.
Bila sedari awal kita lebih menanamkan rasa keingitahuan, pasti akan muncul rasa bahwa ilmu ini sangat penting. Sebuah ilmu yang digunakan untuk dapat mengatur keuangan baik diri sendiri maupun ditempat dimana nanti kita akan bekerja. Seseorang harus memberikan kemampuannya untuk meningkatkan atau mengembangkan bisnis yang dijalankan.
Perguruan tinggi saat ini memang menjadi tolak ukur bagi para akuntan maupun praktisi untuk dapat bekerja diperusahaan besar. Tetapi pola pikir yang harus ditanamkan adalah meskipun kampus dimana seorang itu diluluskan bukanlah perguruan tinggi ternama, tetapi kemampuan (skill) tidak boleh kalah dengan mereka yang lulusan perguruan tinggi ternama. Satu kuncinya tanamkan sedari awal dalam diri sendiri bahwa akuntansi adalah kebutuhan dan belajar adalah kunci utama.
Dihadapan kita sekarang adalah era digital, dimana ini bisa menjadi peluang atau ancaman tergantung bagaimana pola pikir mempengaruhi daya tangkap terhadap fenomena ini. Bila kita anggap ini adalah peluang, pola pikir tentu akan mengarahkan bagaimana menyusun strategi dan modal untuk dapat bersaing. Bila kita anggap ini sebuah ancaman, pola pikir akan mengarahkan sebuah ketakutan. Rasa takut ini yang akan mempengaruhi untuk berpikir negatif, sehingga apa yang terjadi dapat saja kalah dan redup dengan pendatang baru.
Ini yang perlu kita fikirkan karena menyangkut manfaat besar bagi publik dan kepentingan bisnis. Ini juga berimplikasi pada resiko kesinambungan usaha dan kredibilitas organisasi. Pada akhirnya akuntansi yang menjadi prioritas utama perusahaan ketika akan mengambil sebuah keputusan demi kepentingan publik.
Setidaknya ada empat peran krusial akuntan profesional dalam mengawal perekonomian dan sektor bisnis era digital yaitu antara lain sebagai Auditor, penasihat pengambilan keputusan dan sebagai pengguan sistem digital, pengendali aplikasi perangkat lunak hingga pengawal proses dan people (Kristin, CS: 2016: Tantangan Besar Dunia Akuntansi Di Era Digital: http://iaiglobal.or.id/v03/berita-kegiatan/detailberita-936=tantangan-besar-dunia-akuntansi-di-era-digital diakses pada tanggal 1 November 2017
Kunci utama kita mampu bersaing di era digital adalah memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). SDM adalah penggerak dari penerapan ilmu akuntansi itu. SDM harus memiliki kemampuan (skill) yang mumpuni dan memiliki pengetahuan luas tentang ilmu akuntansi. Lalu bagaimana cara kita agar memiliki kemampuan yang sama dengan mereka akuntan luar negeri? Melatih diri kita dengan pelatihan atau kursus yang saat ini berkembang pesat membantu masyarakat untuk lebih bisa meningkatkan kemampuan.
Era digital mengharuskan seseorang untuk cakap dengan teknologi. Sehingga bagi sesorang yang diaras kurang memiliki kecakapan bisa dicoba dengan mengikuti kursus. Baik itu kursus yang melatih tentang grafis, layout, aplikasi perkantoran, dan animasi. Perlu untuk dicoba sesuai dengan bakat dan minat yang ingin kita kuasai.
Teori tanpa praktik, ibarat sesorang tahu cara langkah-langkah untuk mengemudikan motor, tapi ketika seseorang itu ditanya bagaimana rasanya mengemudikan motor seseorang itu pasti akan menjawab “Saya tahu caranya, tapi saya belum pernah mencobanya”. Sama dengan akuntansi. Seseorang tahu teori tentang laporan neraca dan laporan laba rugi, setelah ditanya bagaimana membuat laporan neraca dan laba-rugi? Darimana kita mulai memasukakan? Bagaimana menghitungnya? Sesorang pasti akan menjawab hal yang sama.
Kemampuan bahasa juga perlu untuk ditingkatkan. Komunikasi bisnis juga harus ditingkatkan. Penggunaan bahasa tidak hanya berlaku dalam Ilmu akuntansi dan laporan keuangan yang harus menggunakan Bahasa Inggris. Tetapi ketika seseorang menjalin relasi dengan konsumen atau investor.
Era digital bukanlah momok yang harus ditakutkan. Jadikan ini sebagai peluang untuk membuat diri kita untuk lebih semangat menggali potensi yang ada. Jangan hanya menurut dan menerima, tapi kita perlu mengembangkan diri kita dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Kenali diri kita dulu, apa yang dibutuhkan diri kita untuk sumbangsih negara ke depan. Tata mindset kita ke arah masa depan, karena mindset akan memberikan sinyal kepada kita untuk selalu berpikir positif. []
penyuka sastra, traveling, berkhayal, penggemar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).