Alian­si masyarakat sip­il dan relawan Jawa Timur mengge­lar Kemah Kebangsaan den­gan sem­boy­an “Mem­ban­gun Nasion­al­isme dan Patri­o­tisme yang Inklusif dan Tol­er­an”. Per­he­la­tan ini dis­e­leng­garakan di Ked­ha­ton Perdikan Tawangsari, Keca­matan Kedung­waru, Kabu­pat­en Tulun­ga­gung, Sab­tu-Ming­gu, 23–24 Feb­ru­ari 2019. 

Tidak kurang dari 300 par­tisi­pan dari berba­gai kota dan beragam pro­fe­si berkumpul di Ked­ha­ton Tawangsari dalam rang­ka mem­bin­cang isu kebangsaan dan pen­garusu­ta­maan strate­gi kebu­dayaan nasion­al. Seba­gaimana dis­am­paikan oleh Bam­bang Budiono, inisi­a­tor Kemah Kebangsaan, kegiatan sen­ga­ja dige­lar dalam rang­ka memupuk seman­gat kebangsaan yang tidak boleh jatuh pada chau­vin­isme dan eksklusivisme. 

Semua mema­ha­mi, arus fun­da­men­tal­isme berba­sis SARA yang berkem­bang belakan­gan ini, telah berg­er­ak melu­pakan akar-akar kebangsaan Indone­sia yang diban­gun den­gan seman­gat inklu­sivisme dan tol­er­an­si. Itu­lah prin­sip gotong roy­ong yang diter­jemahkan dari Pan­casi­la dan Bhin­neka Tung­gal Ika. 

Kem­bali kepa­da pon­dasi kebangsaan demikian, “Akan men­ja­di keku­atan untuk meng­ha­lau keku­atan radikalisme dan pop­ulisme yang menghen­da­ki peny­er­aga­man,” tutur Bam­bud, sapaan akrab Bam­bang Budiono, di sela-sela pem­bukaan Kemah Kebangsaan.

Kebangsaan dan Rev­o­lusi Indutri 4.0

Kemah Kebangsaan dihadiri lang­sung oleh Dir­jen Kebu­dayaan Kemendik­bud RI, Hilmar Farid, Ph.D, yang mem­bawakan orasi kebangsaan berta­juk “Indone­sia Berdaulat, Berdikari, dan Berkarak­ter”. Selain itu, Kemah juga dira­maikan den­gan diskusi kebangsaan yang men­gusung tema “Ger­akan Pema­juan Kebu­dayaan dan Rev­o­lusi Indus­tri 4.0” meng­hadirkan dua ahli, Eva K. Sun­dari (Kaukus Pan­casi­la MPR RI) dan Joko Susan­to (dosen FISIP Unair). 

Kegiatan yang berlang­sung di Pen­dopo Ked­ha­ton Tawangsari terse­but, dibu­ka secara lang­sung oleh Bupati Tulun­ga­gung, Mary­oto Birowo. Pem­bukaan Kemah juga dihadiri oleh jajaran pemer­in­tah Kabu­pat­en Tulun­ga­gung. Dalam sambu­tan­nya, Mary­oto Birowo menyam­but baik kegiatan kebangsaan, teruta­ma kare­na bertem­pat di Tawangsari yang dike­nal luas seba­gai ikon sejarah Tulun­ga­gung, bahkan seba­gai cikal bakal lahirnya Kabu­pat­en Tulungagung. 

Semen­tara itu, dalam orasinya, Hilmar Farid menyam­paikan polemik kebangsaan dan kebu­dayaan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indone­sia saat ini. Ia mengin­gatkan bah­wa, kemerdekaan poli­tik sudah diraih oleh bangsa Indone­sia, begi­tu juga den­gan kemandiri­an ekono­mi yang tidak berhen­ti diban­gun. Satu-sat­un­ya yang menggam­barkan keter­gan­tun­gan dan ‘keter­ja­ja­han’ bangsa Indone­sia dite­mukan dalam aspek kebudayaan. 

Masih menu­rut Hilmar Farid, glob­al­isasi yang ditandai oleh arus infor­masi yang begi­tu deras, men­jadikan bangsa Indone­sia berpoten­si tengge­lam dalam arus peruba­han. Semen­tara sege­nap bangsa mulai kehi­lan­gan akar kese­jara­han dan kebu­dayaan sendiri, pada saat bersamaan may­ori­tas orang semakin gemar untuk melirik dan meniru apa yang dim­i­li­ki oleh kebu­dayaan lain. Hasil akhirnya, bangsa ini secara keselu­ruhan seper­ti sedang dalam situ­asi gamang di antara pil­i­han-pil­i­han yang dise­di­akan oleh demokrasi dan globalisasi. 

Polemik ini­lah yang kemu­di­an men­ja­di peman­tik diskusi kebangsaan yang dibawakan oleh para ahli di acara terse­but. Eva K. Sun­dari den­gan san­gat tegas men­gatakan bah­wa, fenom­e­na radikalisme dan pop­ulisme adalah fenom­e­na kega­galan dalam meng­hadapi dah­sy­at­nya rev­o­lusi indus­tri. Berun­tunglah bangsa Indone­sia kare­na memi­li­ki Pan­casi­la. Menu­rut Eva, Pan­casi­la itu meru­pakan basis spir­i­tu­al­i­tas yang melam­paui aga­ma-aga­ma. Di dalam Pan­casi­la, ter­sim­pan nilai-nilai yang memu­ngkinkan bangsa ini men­ja­di bangsa yang ter­bu­ka secara piki­ran, hati dan spiritualitas. 

Kecer­adasan piki­ran, hati dan spir­i­tu­al­i­tas adalah pijakan bagi bangsa Indone­sia untuk kem­bali tampil seba­gai bangsa yang kos­mopoli­tan dan memi­li­ki jiwa patri­o­tisme dan nasion­al­isme yang inklusif dan toleran. 

Semen­tara itu, Joko Susan­to juga mengin­gatkan bah­wa arus rev­o­lusi indus­tri 4.0 men­jadikan dunia semakin cair (liq­uid), akan tetapi pada saat bersamaan men­jadikan manu­sia semakin bebal dan bersi­fat kaku (non-liq­uid mind). Itu­lah fenom­e­na manu­sia yang tidak memi­li­ki kecer­dasan sekali­gus men­gala­mi berba­gai kega­galan piki­ran seper­ti tam­pak dalam kecen­derun­gan poli­tik iden­ti­tas yang sen­ga­ja ditum­buhkan akhir-akhir ini. 

Satu-sat­un­ya cara untuk meng­hadapi gejo­lak seper­ti ini adalah den­gan ‘men­gloning’ lebih banyak lagi manu­sia liq­uid, salah sat­un­ya den­gan strate­gi kebu­dayaan, yakni memikirkan budaya seba­gai basis dan solusi atas berba­gai prob­lem sosial, ekono­mi dan poli­tik. Mem­per­banyak ruang (space) yang mem­berikan kesem­patan bagi seti­ap orang untuk berkon­tes­tasi secara kri­tis dan mem­ba­sis dalam tra­disi dan kebudayaan. 

Men­gaw­al Strate­gi Kebudayaan 

Selain diskusi kebu­dayaan, acara Kemah Kebangsaan juga dime­ri­ahkan oleh ragam kesen­ian tra­di­sion­al dan Fes­ti­val Per­mainan Tra­di­sion­al. Pada acara pem­bukaan, peser­ta kemah juga diman­jakan oleh Maca­p­atan Tawangsari, Ketho­prak Kreasi yang men­gangkat kisah Man­i­ti Amuk­ti Pala­pa dan Sejarah Abu Mansur seba­gai pendiri Perdikan Tawangsari yang dibawakan oleh Sangggar Pariagung. 

Saat ten­gah malam, keti­ka diskusi kebu­dayaan sudah sele­sai, gili­ran seni tra­disi Jed­ho­ran memainkan langgam-langgam Islam Jawa hing­ga pukul 04:00 pagi. Kemah Kebangsaan begi­tu meri­ah kare­na dihay­ati oleh semua yang datang seba­gai per­ayaan kebu­dayaan itu sendiri. 

Pada 24 Feb­ru­ari 2019, Kemah Kebangsaan dilan­jutkan den­gan kegiatan Fes­ti­val Per­mainan Tra­di­sion­al. Kegiatan ini dige­lar di Omah Gajah, rumah yang diban­gun pada tahun 1916 di Desa Simo, Kedung­waru, yang diang­gap seba­gai sim­bol bagi kear­i­fan lokal dan ragam seni tra­disi yang berkem­bang di kawasan terse­but. Hilmar Farid kem­bali hadir di acara terse­but, untuk mem­bu­ka sekali­gus melaunch­ing Fes­ti­val Per­mainan Tra­di­sion­al seba­gai mod­el yang per­lu didu­p­likasi di berba­gai daer­ah di Indonesia.

Fes­ti­val diiku­ti oleh 250 pastisi­pan dari 19 desa di Keca­matan Kedung­waru. Fes­ti­val juga dime­ri­ahkan oleh ragam kesen­ian tra­di­sion­al yang berkem­bang di Tulun­ga­gung, teruta­ma Reyog Kend­hang dan Jaranan. 

Selain Fes­ti­val Per­mainan Tra­di­sion­al, kegiatan Kemah Kebangsaan akan diakhiri den­gan kegiatan kon­ser­vasi, den­gan menanam 350 bib­it di kawan Pegu­nun­gan Bud­heg, Tulun­ga­gung. Kegiatan ini bek­er­ja sama den­gan organ­isasi kon­ser­vasi, Argo Pathok Can­di Dadi (APC).

Selu­ruh pros­esi Kemah Kebangsaan meru­pakan tahap awal yang dilakukan oleh para akademi­isi, prak­tisi, dan pelaku-pelaku ger­akan sosial yang ter­li­bat di acara terse­but, dalam men­gaw­al strate­gi kebu­dayaan demi kebangsaan Indone­sia yang kos­mopoli­tan dan berkarak­ter di masa-masa mendatang. [] 

Oleh. Pani­tia Kemah Kebangsaan