Tanggal 9 Februari, adalah hari yang diperingati oleh pelbagai media arus utama, elite partai politik, pemerintah, mahasiswa, dan bahkan sejumlah pers mahasiswa pun turut memberi ucapan. Momen di mana Presiden mengapresiasi saran dan kritik bagi pemerintah, di mana Presiden merasa gugup saat ditanya wartawan, dan di mana hutan pers diresmikan di Banjarbaru. Tapi bukan itu yang menjadi persoalan. Barangkali memang sengaja, atau tidak tahu, atau–satu kata yang sering ditolak dan coba dilawan–lupa.
Tahun lalu, tepat tanggal 7 Desember 2018, Presiden Republik Indonesia melalui keputusannya (Keppres Nomor 29 Tahun 2018) menyetujui pemberian remisi terhadap 115 terpidana, salah satunya teruntuk I Nyoman Susrama dari hukuman seumur hidup menjadi kurungan sementara (Tirto, 28/1/2019).
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengubah hukuman Susrama dari kurungan seumur hidup menjadi dua puluh tahun penjara lantaran Susrama berusia enam puluh tahun dan telah berkelakuan baik dalam sepuluh tahun kurungannya.
Kronologi kasus Susrama memang telah banyak beredar di beragam media, meski demikian tulisan ini bermaksud menyampaikan kembali kasus tersebut sekadar pengantar informasi.
Susrama ditangkap pada tanggal 24 Mei 2009 atas pembunuhan berencana bersama dengan keenam tersangka lain: Komang Gde, Rencana, Mangde, Dewa Sumbawa, Endy, dan Jampes. Hasil kesaksian sidang di Pengadilan negeri Denpasar tanggal 8 Oktober 2009 mengungkapkan, pada 11 Februari 2009, Susrama meminta Komang Gde, Mangde dan Rencana menjemput Prabangsa di Taman Bali, Bangli.
Pukul 15.00 Wita, Komang dan kawan-kawan menjemput Prabangsa menggunakan mobil Honda Civic LX hijau metalik. Di perjalanan, mereka mengikat kedua tangan Prabangsa ke belakang dan membawanya ke rumah kosong milik Susrama di Banjar Petak, Bebalang. Pukul 16.10 Wita, Susrama bersama Dewa Sumbawa muncul dan langsung memerintah anak buahnya memukuli Prabangsa yang masih terikat. Prabangsa terjatuh, mencoba untuk bangun, berupaya lari, tapi gagal dan akhirnya ditangkap oleh Mangde, Rencana serta Sumbawa. Mereka kemudian menyeret Prabangsa ke belakang rumah kosong semula.
Emosi Susrama memerintahkan anak buahnya menghabisi Prabangsa. Mangde dan Rencana spontan mengambil balok kayu dan menghantami tubuh hingga kepala Prabangsa. Prabangsa terjatuh tak sadarkan diri dengan luka parah berlumuran darah di tubuhnya. Setelah itu, mereka menyeret dan menyekap Prabangsa di dalam kamar, sedang Susrama menyuruh Endi dan Darianto membersihkan genangan darah di pekarangan belakang rumah tadi.
Jam 21.00 Wita, mereka membawa Prabangsa yang tak berdaya dengan mobil Kijang Rover ke Pantai Goa Lawah, Kabupaten Klungkung. Sesampai di sana, Gus Oblong dan Maong telah menunggu perintah Susrama untuk menaikkan tubuh Prabangsa ke perahu dan membawanya ke tengah laut. Di malam itulah Prabangsa di buang ke lautan (detikX, 8/2/2019).
Senin, 16 Februari 2009, kru kapal Perdana Nusantara mendapati benda mengambang laiknya jasad di koordinat 08.32.882 Lintang Selatan dan 115. 30.672 Bujur Timur di perairan Teluk Bungsil, Padang Bai, Kabupaten Karangasem, Bali.
Nahkoda kapal, Muhari segera menemui dan melapor ke Syahbandara Made Sudiarta perihal penemuan jasad tersebut. Mendengar laporan itu, Syahbandar sontak mengirim polisi Airud, petugas pelabuhan dan Bali Amateur Emergency Service menggunakan tiga speedboat dan mengevakuasi mayat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Amlapura, Karangasem, guna melakukan visum.
Dr. Gusti Putra bersama tim forensik menemukan dompet dengan KTP, SIM, STNK sepeda motor Honda GL Pro, dan kartu ATM BNI di dalamnya. Seluruh keterangan yang ditemukan merujuk pada Anak Agung (AA) Gde Bagus Narendra Prabangsa, redaktur koran milik Jawa Pos Group yang telah bergabung dengan Radar Bali sejak 2003 dan dilaporkan hilang mulai tanggal 11 Februari 2009. Gusti memeriksa sekujur tubuh dan mendapati kondisi tubuh Prabangsa lebam dan membengkak. Dahinya remuk dan di leher terdapat luka lebam bekas jeratan tali.
Senin siang pascavisum, jasad Prabangsa dikirim ke RS Umum Pusat Sanglah di Denpasar guna pemerikasaan berlanjut. Pukul 16.45 Wita, jasad tersebut diautopsi selam sembilan puluh menit. Para dokter menyimpulkan Prabangsa tewas akibat penganiayaan. Bekas penganiayaan terbukti dari luka memar akibat pukulan benda tumpul pada wajah, juga luka terbuka di bagian kepala dan pergelangan tangan yang patah.
Mendengar hasil autopsi itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar membentuk tim advokasi guna menginvestigasi kasus pembunuhan Prabangsa. Tim tersebut menemukan tiga berita terkait dugaan penyimpangan sejumlah proyek pembagunan di Kabupaten Bangli: Pengawas Dibentuk Setelah Proyek Jalan (terbit 3 Desember 2008), Bagi-bagi Proyek PL Dinas Pendidikan Bali (terbit 8 Desember 2008), dan SK Kadis Dinilai Cacat (terbit 9 Desember 2008).
Temuan berita yang berpotensi memicu konflik tersebut menggerakkan polisi untuk membentuk Tim Lima: gabungan dari unsur Reskrim, Labfor, IT, Intelkam, dan Densus 88 Antiteror Polda Bali. Mereka menemukan jejak pesan singkat berisi permintaan kepada Prabangsa untuk tidak lagi menulis soal kasus-kasus korupsi di Bangli dan percakapan telepon Prabangsa dengan sejumlah orang yang dicurigai sebagai tersangka.
Polisi mencurigai adik kandung Bupati Bangli, Nengah Asnawa, yakni I Nyoman Susrama, seorang penentu pemenang tender di Bangli dan caleg DPRD Bangli dari PDI Perjuangan pada Pemilu 2009. Permulaan bulan Mei, polisi berhasil memeriksa Susrama setelah kesulitan memeriksanya di awal. Polisi menduga ada upaya penghilangan barang bukti dengan menggelar upacara Meracu (upacara adat pembersihan rumah) yang dilakukan Susrama di Kampung Banjar Petak, Bebalang, Bangli.
Kecurigaan tersebut membuahkan penggeledahan yang mendapati sisa bercak darah mengering di belakang rumah dan karpet mobil yang diparkir di sudut rumah. Mobil Toyota Kijang Rover merah yang biasa parkir di rumah telah disembunyikan Susrama di rumah kerabatnya di Yogyakarta. Polisi yang menemukan itu langsung memeriksa dan mendapati enam bercak darah mengering yang identik dengan darah di karpet rumah dan potongan rambut di jok belakang mobil yang sudah diganti pelatnya dari B‑8888-AP menjadi AB-8888-MK itu (suara.com, 28/1/2019).
Tanggal 25 Mei 2009, Kapolda Bali, Irjen Ashikin Husein mengumumkan sembilan tersangka pembunuh Prabangsa yang semuanya dijerat Pasal 338 KUHP juncto Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan berencana dengan kurungan seumur hidup dan maksimal hukuman mati. Sembilan tersangka tersebut meliputi: Susrama sebagai aktor intelek, Komang Gde Wardana alias Mangde dan Nyoman Suryadyana alias Rencana sebagai eksekutor dan pembawa mayat, Komang Gde sebagai penjemput Prabangsa, Dewa Sumbawa sebagai sopir pembawa mayat, Endi Mashuri dan Darianto alias Jampes ialah sopir dan karyawan perusahaan air minum ‘Sita’ milik Susrama, Ida Bagus Made Adnyana Narbawa alias Gus Oblong dan Nyoman Suwecita alias Maong.
Namun, pada sidang 15 Februari 2010, Hakim memberikan vonis Susrama kurungan seumur hidup, Mangde dan Rencana divonis dua puluh tahun kurungan, Dewa Sumbawa dan Maong divonis delapan tahun kurungan, Gus Oblong divonis lima tahun kurungan, Endi dan Darianto divonis sembilan bulan kurungan yang keseluruhan terpidana di Lapas Kelas II‑B Bangli. Susrama sempat mengajukan banding, tapi tak membuahkan hasil.
Pada 29 Februari 2012, Aliansi Jurnalis Independen dan Southeast Asian Press Alliance menerbitkan buku Jejak Darah Setelah Berita dalam upaya mengabadikan kejadian tersebut. Tanggal 9 Februari, atas desakan berbagai komponen masyarakat, Presiden mencabut remisi yang diberikan kepada Susrama. Di tanggal itu pula pencabutan remisi tersebut dinyatakan sebagai kado di Hari Pers Nasional oleh sejumlah kalangan.
Negara dan publik lupa bahwa masih satu kasus pembunuhan jurnalis yang berhasil terungkap dan puluhan atau ratusan kasus lain mangkrak tak terjamah, tapi–meminjam kalimat Ariel Heryanto–bagaimana bisa lupa kalau tidak pernah tahu sama sekali. Andai saja negara dan para penegak hukum serius mengusut tuntas delapan dari Sembilan Wartawan yang Dibunuh Saat Bertugas (tempo, 9/2/2019), boleh jadi akan ada banyak kasus yang mulai mengelupas tembelangnya.
Marilah senantiasa kita resapi keberanian Prabangsa. Mungkin, ungkapan ‘Tiada Berita Seharga Nyawa’ telah menjadi adagium di kalangan jurnalis. Berbeda dengan Prabangsa, nyawa manusia menjadi taruhan beberapa berita. Mengheningkan cipta, mulai!
Penulis: Muhammad F. Rohman
Redaktur: Rifqi I. Fahrizza