Setiap zaman akan memiliki karakter filsafatnya sendiri. Mulai dari Yunani Kuno, abad pertengahan, modern dan pascamodern. Namun, untuk menentukan pembabakan tersebut bukanlah perkara yang mudah, mengingat setiap zaman memiliki karakteristik atau fokus yang menjadi perhatiannya masing-masing.
Di zaman modern, misal, para filsuf menjadikan kesadaran menjadi fokus utamanya, tak terkecuali pada aliran Rasionalisme. Aliran ini menganggap bahwa pengetahuan diperoleh tidak lewat pengalaman atau penginderaan semata, melainkan melalui rasio atau akal dan diturunkan melalui asas-asas apriori. Lebih jelasnya, berikut tokoh-tokoh rasionalisme.
Pertama, Rene Descartes (1596–1650) yang menjadikan tema kesadaran pada filsafatnya, sehingga tak berlebihan jika banyak yang menyebutnya dengan Bapak Filsafat Modern. Dalam memaparkan pemikirannya, salah satu buku yang terkenal adalah Discours La Methode yang membahas tentang metode dalam mencari kebenaran. Metode itu disebut La Doute Methodique atau metode kesangsian.
Descartes beranggapan bahwa segala yang terlihat tak selalu menampakkan dirinya sebagaimana adanya, indera kadang menipu. Ia juga mengandaikan saat sedang terjaga, ia mengalami halusinasi maupun mimpi-mimpi, ia merasakan hal yang sama. Lantas apa yang dapat membedakan antara ilusi dan kenyataan itu benar-benar ada?
Hal tersebut kemudian membuat ia menyangsikan segala sesuatu yang belum tentu keberadaanya. Dari segala yang salah ini ia menyimpulkan bahwa ada satu hal yang benar-benar bisa dipercaya, yaitu “dirinya yang sedang menyangsikan”. Karena ia sedang menyangsikan, artinya ia sedang berfikir, maka dia ada (Cogito Ergo Sum).
Setelah menemukan cogito, Descartes juga berpendapat bahwa “aku” sebagai manusia ini juga hidup dengan idea-idea bawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Idea-idea tersebut meliputi jiwa atau pikiran, jasmaniah atau keluasan, dan Allah. Lantas, apakah ketiga idea tesebut benar-benar berada di dalam diri kita ataukah diluar diri kita? Bagaimana menemukan bukti keberadaanya?
“Aku berfikir, maka aku ada”, maka keberadaan jiwa atau pikiran kita adalah kenyataan atau substansi. Kemudian tentang jasmaniah, tidak bisa dipungkiri bahwa jasmaniah kita bisa diraba dan dilihat, memang kejasmanian kita bisa jadi adalah suatu yang menipu, tapi ia masih sesuatu yang kita bawa sejak lahir dan Allah Yang Maha Sempurna itu yang membuatnya, maka ia adalah suatu substansi. Dengan ini, Allah juga ada dan Ia juga merupakan substansi.
Selain itu, menurut Descartes jiwa menjadi sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Sedangkan, badan menjadi mesin yang bergerak secara otomatis, ia bernafas, mengalirkan darah tanpa digerakkan oleh jiwa. Maka ia menganggap antara jiwa dan badan adalah hal yang terpisah (dualisme). Namun, ada sebuah jembatan yang menyatukan keduanya, semacam organ kecil bernama “Glandula Pnialis” yang membubat manusia dapat menangis saat merasa sedih dan tertawa saat merasa bahagia.
Dalam pandangan tersebut, Descartes juga menekankan pentingnya untuk mengendalikan hasrat atau jiwa yang pasif dalam diri kita. Hasrat, seperti cinta, marah, benci, kekaguman, gairah, kegembiraan dan sebagainya. Saat kita dapat mengendalikan hasrat tersebut maka kita akan memiliki kebebasan spiritual dalam diri kita.
Descartes juga membawa problematika baru dengan pemikirannya itu, yakni tentang representasionalis. Menurutnya, kenyataan adalah representasi dari pikiran. Padahal jika dianalogikan, seperti sebuah lukisan, ia tak akan bisa sama persis. Jadi saat kenyataan tidak benar, maka pikiran belum tentu juga bisa dipercaya.
Kedua, Baruch De Spinoza (1632–1677), filsur modern yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang memiliki kepercayaan kuat dengan mitos, tahayul dan tabu-tabu religius. Maka dari itu, ia berusaha melepaskan diri dari teror mitologis dengan kebebasan berfikir.
Spinoza memiliki metode dalam filsafatnya, yakni Metode Geometris atau More Geometrico Demonstrata. Artinya, filsafat dapat mendekati ilmu-ilmu pasti dan dunia bergerak termasuk manusia-manusia diatur dengan hukum alam yang objektif. Seperti yang ditulis dalam bukunya yang berjudul “Ethica”, buku yang teknis, persis seperti sebuah uraian tentang ilmu ukur.
Mengenai Substansi, menurut Spinoza di dunia ini hanya ada satu substansi yang tak terhingga, yakni Allah. Ia yang bersifat individual, sekaligus menjadi hakikat dari segala sesuatu yang tampak individual. Allah memiliki atribut (segala sesuatu yang ditangkap akal tentang hakikat dari substansi) dan modus (hal-hal yang berubah-ubah pada substansi).
Manusia, misal, memahami Allah sebagai substansi lewat atribut. Atribut pertama melalui pikiran, dan atribut kedua melalui apa yang nampak sebagai jasmani atau alam. Dari sini, kita menyimpulkan bahwa segala yang ada dalam Allah, tak ada yang diluarnya (Monoisme).
Menurut Spinoza, badan dan jiwa adalah satu kesatuan. Di mana aku adalah jiwa yang dimodifikasi dari pikiran dan jasmaniah dimodifikasi dari badan. Baginya, peristiwa lahiriyah adalah hasil dari peristiwa mental, pun sebaliknya. Maka antara jiwa dan badan adalah satu kesatuan (Panpsikisme).
Sedangkan, mengenai pengetahuan Spinoza mengikuti Plato dalam epistimologinya. Menurutnya, ada tiga taraf dalam pengetahuan, yaitu presepsi indrawi, refleksi yang mengarah pada prinsip-prinsip, dan intuisi. Hanya taraf kedua dan ketigalah yang dianggap sebagai pengetahuan sejati. Selain itu, ia menjelaskan adanya idea yang berhubungan dengan ideatum (objek). Artinya, idea yang sesuai dengan ideatum adalah kebenaran.
Ketiga, Gottfried Wilhelm von Leibinz (1646–1716), filsuf yang terkenal dengan karyanya, La Monadologie (1714) yang menjelaskan bahwa dunia ini terdiri dari banyak substansi atau “monad”.
Monad jika dalam ilmu matematika diandaikan sebagai bagian terkecil atau titik atau dalam fisika dikenal dengan atom. Kata kecil yang dimaksudkan bukanlah ukuran namun tidak berkeluasan. Monad-monad ini bukanlah suatu kenyataan jasmaniah, namun kenyataan mental.
Setiap monad adalah substansi yang tertutup dan memiliki sudut pandang sendiri yang berbeda beda, meliputi lingkungannya. Lantas bagaimana menjelaskan antara keteraturan hubungan timbal balik antarmonad? Leibinz menjelaskan bahwa Allah pada saat penciptaan mengadakan harmonie preetablie atau keselarasan yang ditentukan sebelumnya. Seperti saat merebus air, maka yang membuat panas bukanlah monad api saja, melainkan monad api, air dan udara yang saling berhubungan. Kemudian, Leibinz memandang Allah sebagai Monad Purba yang bukan sembarang monad dan merupakan aktivitas murni.
Sedangkan, monad-monad lain berbeda dengan monad manusia, monad manusia mencerminkan Allah. Saat kita sadar akan kehadiran monad-monad lain, maka kita tidak hanya sadar akan hal tersebut. Namun, juga sadar akan monad Allah.
Atas dasar itu, Lebinz juga memaparkan akan bukti-bukti adanya Allah. Pertama, karena manusia mempunyai ide tentang kesempurnaan. Kedua, ketidaklengkapan manusia dan alam semesta membuktikan adanya sesuatu yang melengkapi alam semesta ini, yaitu sesuatu yang transenden, Allah. Ketiga, manusia selalu menginginkan adanya pikiran abadi. Namun, hal ini tak akan pernah terwujud. Hingga membuktikan adanya pikiran yang abadi, yakni Allah. Keempat, saat adanya kecocokan antara satu monad dengan monad-monad yang lain, ini membuktikan ada yang mencocokkan sebelumnya, yakni Allah.
Keempat, Blaise Pascal (1623 ‑1662), filsuf yang lebih menekankan iman di atas rasio. Dalam diri Pascal, di satu sisi dia sangat mengimani ilmu dan pengetahuan, Namun, di sisi lain dia adalah sosok pembela iman. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Pensee sur la religion atau pemikiran-pemikiran tentang agama.
Pendapatnya yang termasyhur berbunyi, Le Coeur a ses rasions que la rasion ne connait point (hati memiliki alasan-alasan yang tidak dimengerti oleh rasio). Yang dimaksud hati di sini bukanlah emosi melainkan unsur pemahaman yang dapat menangkap prinsip-prinsip yang tidak dapat ditangkap oleh rasio.
Kadang- kadang Pascal juga mengandaikan hati dengan kepercayaan atau kemampuan untuk memahami. Baginya, iman adalah penasihat yang lebih baik dari rasio, karena rasio itu terbatas, sedangkan iman tidak.
Pascal juga menyinggung manusia itu sebagai makhluk yang hina, namun juga luhur. Manusia itu terlalu dikuasai kecenderungan cinta diri dan dibutakan oleh kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu, manusia tidak pernah mampu meraih kesempurnaan dirinya.
Namun, di sisi lain manusia juga merupakan makhluk yang luhur. Keluhurannya berasal dari kehinaanya itu sendiri. Saat manusia mampu mengakui kekurangan dan kehinaanya ia menjadi sosok yang agung. Manusia tidak akan pernah puas dengan dirinya, kesempurnaan yang tak terbatas hanya dimiliki Yang Maha Sempurna, yakni Allah.
Pemikir-pemikir rasionalisme menganggap bahwa pengetahuan diperoleh dari akal. Mulai Descartes hingga berakhir pada Pascal yang mulai mengkritisi penggunaan akal sepenuhnya untuk menemukan kebenaran. Kemudian, akan memicu para filosof lain yang lebih menekankan pada inderawinya, yakni empirisme.
Penulis: Rekhanatul Imbadiyah
Editor: Ulum