Par­a­dig­ma kri­tis ser­ing kali dilawankan den­gan par­a­dig­ma plu­ralis. Par­a­dig­ma plu­ralis per­caya bah­wa masyarakat meru­pakan wujud dari kon­sen­sus dan mement­ingkan kese­im­ban­gan. Artinya, keber­aga­man di masyararakat secara ala­mi mem­ben­tuk titik ekuilib­ri­um atau kese­im­ban­gan dalam ben­tuk kon­sen­sus. Pan­dan­gan ini bersum­ber dari August Comte, Emile Durkheim, Mark Weber, dan Fer­di­nand Tonnies.

Sedan­gkan, par­a­dig­ma kri­tis di pen­garuhi oleh pemiki­ran Marx­isme yang meli­hat masyarakat seba­gai suatu sis­tem kelas. Dalam tubuh masyarakat ter­da­p­at pihak yang dom­i­nan dan pihak yang ter­mar­ji­nalkan atau minori­tas. Jadi, posisi media dipan­dang seba­gai alat pihak dom­i­nan untuk mema­pankan keber­adaan­nya dan memar­ji­nalkan pihak lain.

Par­a­dig­ma Kritis

Par­a­dig­ma kri­tis ter­il­ha­mi dari Seko­lah Frank­frut, Jer­man pada era yang sama den­gan Hitler yang saat itu ten­gah gen­car melakukan pro­pa­gan­da. Media saat itu penuh den­gan prasang­ka, retori­ka, pro­pa­gan­da dan men­ja­di alat pen­guasa untuk men­gontol masyarakat. Sehing­ga, media tidak lagi netral kare­na dikua­sai oleh pihak dominan.

Lahirnya par­a­dig­ma kri­tis mem­ban­tu meny­oroti adanya keku­atan dom­i­nan yang men­gatur pros­es komu­nikasi di masyarakat. Ali­ran ini akan mengkri­tisi keadaan masyarakat yang ter­li­hat sta­bil yang nyatanya ada pihak penin­das dan penipu kesadaran banyak orang. Oleh kare­na itu, berba­gai defin­isi harus diper­tanyakan ulang satu per­satu secara kritis.

Kemu­di­an, pemiki­ran kri­tis dikem­bangkan oleh Stru­at Hall. Dalam tulisan­nya, Hall mengk­tikik kecen­derun­gan stu­di media yang tidak lagi men­em­patkan ide­olo­gi seba­gai unsur pent­ing. Sejak tahun 1960-an, stu­di media didom­i­nasi oleh pen­dekatan behav­ior­is­tik yang men­gandaikan media mem­pun­yai keku­atan besar, tetapi tidak berba­haya di masyarakat.

Semen­tara dalam tra­disi penelit­ian empiris, teruta­ma di Ameri­ka, masyarakat dil­i­hat seba­gai plu­ralis yang ter­diri dari beragam kelom­pok den­gan kepentin­gan yang beragam pula. Keber­aga­man ini akan men­ca­pai titik ekuilib­ri­um bila dib­iarkan secara ala­mi tan­pa pak­saan. Jadi media hadir seba­gai salu­ran yang bisa digu­nakan masyarakat untuk menyam­paikan aspi­rasinya secara bebas.

Pan­dan­gan terse­but berband­ing ter­ba­lik den­gan par­a­dig­ma kri­tis. Par­a­dig­ma ini meli­hat media seba­gai keku­atan besar yang dikua­sai oleh pihak dom­i­nan untuk mema­pankan dirinya, mema­nip­u­lasi, memar­ji­nalkan kaum minori­tas, ser­ta menyam­paikan keny­ataan yang pal­su dan ter­dis­tor­si. Oleh kare­na itu, adanya par­a­dig­ma ini diarahkan untuk membongkarnya.

Hall mengkri­tik pan­dan­gan plu­ralis mege­nai kon­sen­sus yang pros­es pem­ben­tukan­nya ter­ja­di secara alami­ah. Media men­jalankan fungsinya di ten­gah masyarakat diang­gap seba­gai salu­ran dalam mem­ben­tuk kons­esnsus. Pada­hal, pem­ben­tukan kon­sen­sus itu mele­wati pros­es yang kom­pleks dan meli­batkan keku­atan-keku­atan sosial dalam masyarakat. Sehing­ga, media tidak mungkin dimak­nai sekedar salu­ran, tapi juga ikut ser­ta dalam mem­ben­tuk kesadaran di masyarakat.

Hall juga mere­visi pan­dan­gan kri­tis ten­tang media. Menu­rut Hall, media tidak bias diang­gap seba­gai “keku­atan jahat” yang memang dide­sain untuk mem­ing­girkan kelom­pok lain. Kare­na dalam men­jalankan per­an­nya, suatu kelom­pok pasti sudah melalui berba­gi pros­es. Sehing­ga, jika ada kelom­pok yang ter-notice buruk dalam pem­ber­i­taan, itu suatu yang wajar.

Men­ge­nai real­i­tas, pan­dan­gan plu­ralis meli­hat­nya seba­gai sesu­atu yang ala­mi atau ter­ben­tuk den­gan sendirinya. Semen­tara, pan­dan­gan kri­tis meli­hat real­i­tas seba­gai rep­re­sen­tasi pro­duk pihak dom­i­nan. Menu­rut Hall, dalam meli­hat real­i­tas per­lu mem­per­hatikan unsur bahasa dan poli­tik penandaan.

Bahasa diar­tikan seba­gai sis­tem penan­daan, sehing­ga mak­na yang beragam bisa muncul pada peri­s­ti­wa yang sama. Lan­tas, bagaimana pros­es pem­ber­ian mak­na terse­but? Men­ga­pa akhirnya hanya aka nada satu mak­na yang kita ter­i­ma? Menu­rut Hall, kon­disi terse­but tidak ter­lepas dari per­an pihak dom­i­nan di masyarakat. Sehing­ga hasil akhirnya nan­ti bukan hanya mak­na ter­ten­tu yang diang­gap benar, tapi pemak­naan lain diang­gap tidak benar atau menyimpang.

Semen­tara unsur poli­tik, penan­daan diti­tik­ber­atkan pada per­an media dalam suatu peri­s­ti­wa den­gan pan­dan­gan ter­ten­tu dan menun­jukkan bagaimana kekuasaan ide­olo­gi berper­an. Efek dari kon­t­a­m­i­nasi ide­olo­gi dalam media menam­pakkan hasil­nya yang seo­lah nya­ta, nat­ur­al, dan benar.

Media dan Beri­ta Dil­i­hat dari Par­a­dig­ma Kritis

Baik par­a­dig­ma kri­tis maupun par­a­dig­ma plu­ralis, ked­u­anya memi­li­ki pan­dan­gan tersendiri. Per­ta­ma, men­ge­nai fak­ta. Menu­rut pan­dan­gan pru­laris, beri­ta adalah cer­min keny­ataan. Artinya, akan ada real­i­tas objek­tif yang harus diam­bil dan diliput oleh wartawan (apa yang ter­ja­di, apa yang ter­li­hat adalah fak­ta yang harus diliput).

Sedan­gkan menu­rut pan­dan­gan kri­tis, beri­ta ter­ben­tuk dari per­tarun­gan keku­atan pihak dom­i­nan dan mencer­minkan kepentin­gan mere­ka. Fak­ta diang­gap men­ja­di sesu­atu yang semu kare­na sudah terkon­t­a­m­i­nasi kepenti­nan pihak dominan.

Mis­al, peri­s­ti­wa mogok ker­ja karyawan Pabrik Rokok Gudang Garam di Kediri. Real­i­tas yang nam­pak keti­ka peri­s­ti­wa pemogokan berlang­sung adalah aktiv­i­tas masyarakat sepi, ter­ja­di ker­icuhan di beber­a­pa tem­pat, dan turun­nya pen­da­p­atan pemer­in­tah dari cukai. Dalam pan­dan­gan plu­ralis apa yang ter­ja­di terse­but adalah fak­ta yang bisa dijadikan berita.

Namun, bila kita meng­gu­nakan pan­dan­gan kri­tis, real­i­tas yang nam­pak terse­but menipu dan telah ter­dis­tor­si. Fak­ta adanya ker­icuhan meru­pakan ben­tuk kelom­pok dom­i­nan mem­beri pemak­naan sesuai kepentin­gan mereka.

Ked­ua, men­ge­nai posisi media. Pan­dan­gan pru­laris menye­but media seba­gai salu­ran yang bebas dan netral untuk beraspi­rasi. Media menggam­barkan diskusi apa yang ada dalam masyarakat. Sedan­gkan, pan­dan­gan kri­tis men­gang­gap media seba­gai alat yang digu­nakan pihak dom­i­nan  untuk mem­o­jokkan kelom­pok lain. Media diman­faatkan pihak dom­i­nan (ada suasana yang tidak seimbang).

Mis­al­nya, beri­ta men­ge­nai kon­flik antara petani den­gan Perseroan Ter­batas Perke­bunan Nusan­tara (PTPN). Pihak petani meny­atakan bah­wa mere­ka dirugikan. Tin­dakan mere­ka men­em­pati tanah PTPN seba­gai ben­tuk protes atas keti­dakadi­lan. Semen­tara pihak PTPN den­gan retori­ka legal­i­tas, mere­ka men­gang­gap tanah itu miliknya dan tin­dakan yang dilakukan para petani diang­gap melang­gar hukum dan berbahaya.

Per­an media dap­at dia­sosi­asikan seba­gai are­na ter­bu­ka untuk mas­ing-mas­ing pihak. Menu­rut Hall, dalam logi­ka media seba­gai transak­si yang bebas, semua pihak mem­pun­yai posisi yang setara, dan perebu­tan akan berlang­sung secara adil. Namun, keny­ataan­nya jus­tru seba­liknya. Media ser­ing kali dikua­sai oleh kelom­pok dom­i­nan di masyarakat.

Dalam kasus ini, ter­da­p­at suasana yang tidak seim­bang. Pihak perke­bunan lebih banyak men­dom­i­nan­si dalam pem­ber­i­taan. Ketim­pan­gan akses menye­babkan satu pihak lebih mungkin ter­ber­i­takan dan akhirnya dalam pem­ber­i­taan terse­but akan muncul wacana ten­tang petani yang terus digam­barkan secara buruk.

Keti­ga, men­ge­nai posisi wartawan. Menu­rut pan­dan­gan plu­ralis, wartawan diang­gap seba­gai pelo­por. Nilai dan ide­ologinya bera­da di luar pros­es peliputan. Adanya sis­tem dan pem­ba­gian ker­ja, lan­dasan etis dalam meliput dan menulis beri­ta, pro­fe­sion­al­isme seba­gai keun­tun­gan, men­jadikan wartawan seba­gai bagian dari tim untuk men­cari kebe­naran. Selain itu, beri­ta yang dihasilkan men­ja­di pen­je­las fak­ta yang ada.

Sedan­gkan, pan­dan­gan kri­tis men­gang­gap bah­wa wartawan seba­gai par­tisi­pan dari keber­aga­man penaf­sir­an, sub­jek­tif, dan wartawan bukan robot. Wartawan juga meng­gu­nakan lan­dasan ide­ol­o­gis dalam meliput dan menulis beri­ta, pro­fe­sion­al­isme seba­gai ben­tuk kon­trol, ser­ta wartawan seba­gai peker­ja yang memepun­yai posisi berbe­da dalam kelas sosial. Nilai dan ide­ologinya tidak dap­at dip­isahkan keti­ka pros­es peliputan. Selain itu, beri­ta dijadikan seba­gai sarana pemi­hakan kelom­pok lain, kon­trol dan sen­sor diri (imbal­an dan hukuman).

Keem­pat, men­ge­nai hasil liputan. Pan­dan­gan plu­ralis melak­sanakan peliputan yang berim­bang, dua sisi, netral, objek­tif. Menge­samp­ingkan opi­ni dan pan­dan­gan sub­jek­tif dari pem­ber­i­taan. Sedan­gkan, pan­dan­gan kri­tis mencer­minkan ide­olo­gi wartawan dan kepentin­gan ter­ten­tu. Tidak objek­tif, kare­na wartawan bagian dari kelom­pok tertentu.

Pada dasarnya, seba­gai pem­ba­ca kita berhak meng­gu­nakan par­a­dig­ma atau pan­dan­gan apapun, plu­ralis atau kri­tis. Namun, sete­lah menge­tahui ked­ua pan­dan­gan itu, seti­daknya kita tidak buta bagaimana bingkai beri­ta dalam media. Penge­tahuan kita ter­hadap ked­u­anya per­lu diimplementasikan.

Penulis: Chasanat­ul Mardiyah
Edi­tor: Ulum