Kesala­han terbe­sar guru-guru kita sejak seko­lah dasar sam­pai seko­lah menen­gah atas adalah menye­but nama Tau­fik Ismail tapi tidak den­gan Par­moedya Anan­ta Toer. Mere­ka mem­beri tugas mem­ba­ca puisi Chair­il Anwar, tapi tidak per­nah men­ge­nalkan tulisan sas­trawan ter­baik Indone­sia ini. Pram dan tulisan-tulisan­nya adalah rep­re­sen­tasi keny­ataan yang dis­em­bun­yikan sejarah.

Bera­pa banyak gen­erasi mile­nial yang telah men­ge­nal sosok Pramoedya Anan­ta Toer? Seti­daknya itu­lah per­tanyaan yang ter­lin­tas di kepala saya saat ter­pikir untuk mem­u­lai tulisan ini. Nama Pramoedya kem­bali dike­nal dan men­ja­di perbin­can­gan saat salah satu nov­el­nya, Bumi Manu­sia, seri per­ta­ma dalam Tetralo­gi Buru (Bumi Manu­sia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) diangkat ke layar kaca den­gan judul yang sama oleh sutradara kon­dang, Hanung Bra­man­tyo pada 2019 lalu.

Diadap­tasi dari salah satu nov­el pal­ing fenom­e­nal, mem­bu­at Bumi Manu­sia ditung­gu-tung­gu oleh berba­gai kalan­gan, mulai dari pengge­mar Pram, penikmat sas­tra, sas­trawan, sejarawan, juga gen­erasi mile­nial yang sama sekali belum men­ge­nal Pramoedya dan karya-karyanya, kare­na dua pemain uta­ma yang dip­il­ih dalam film ini. Alhasil tak hanya ban­jir pujian, film ini juga diban­jiri kri­tik dari berba­gai kalan­gan, entah dari penikmat film itu sendiri maupun kalan­gan akademisi.

Lan­tas, sia­pa itu Pramoedya Anan­ta Toer, hing­ga adap­tasi dari karyanya men­ja­di sesu­atu yang begi­tu disoroti?

Pramoedya Anan­ta Mas­to­er, lahir sem­bi­lan puluh enam tahun lalu (6 Feb­ru­ari 1925) dari rahim perem­puan berna­ma Oemi Saidah. Pram lahir seba­gai anak sulung di kelu­ar­ganya dan besar di jan­tung pulau Jawa. Ayah­nya, Mas­to­er, yang berpro­fe­si seba­gai guru juga mem­bimb­ing Pram semasa seko­lah­nya di Seko­lah Insi­tut Boe­di Uto­mo, Blora.

Tiga tahun ting­gal kelas, mem­bu­at sang ayah eng­gan mem­bi­ayai seko­lah­nya. Namun, Pram tetap melan­jutkan pen­didikan di Seko­lah Teknik Radio Surabaya sela­ma satu seten­gah tahun den­gan biaya dari sang ibu yang kala itu bek­er­ja seba­gai pedagang. 

Sete­lah lulus seko­lah, Pram lan­jut bek­er­ja seba­gai juru ketik surat kabar Jepang di Jakar­ta sela­ma pen­ja­ja­han Jepang. Pada tahun 1950-an, Pram ting­gal di Belan­da seba­gai bagian dari pro­gram per­tukaran budaya. Lalu kem­bali lagi ke Indone­sia dan men­ja­di bagian dari Lekra (Lem­ba­ga Kebu­dayaan Rakyat).

Titik Balik Kesas­traan  

Dilan­sir dari cnnindonesia.com, pen­jara dan tahanan bukan­lah sesu­atu yang baru bagi Pram. Ia per­nah men­ja­di tahanan sela­ma tiga tahun pada masa kolo­nial, satu tahun saat Orde Lama (Orla), dan empat belas tahun di masa Orde Baru (Orba). Bagi sas­trawan Ajib Rosi­di, pem­buan­gan Pram di Pulau Buru (Agus­tus 1969 – 12 Novem­ber 1979) men­ja­di titik balik kesas­traan baginya.

Men­je­lang ten­gah malam pada 13 Okto­ber 1965, rumah Pram dikepung oleh aparat militer. Kemu­di­an, ia dite­tap­kan men­ja­di tahanan poli­tik (Tapol) di Nusakam­ban­gan tan­pa pros­es pen­gadi­lan kare­na kiprahya seba­gai anggota Lekra, organ­isasi kebu­dayaan sayap kiri Indone­sia yang men­dorong para anggotanya untuk men­gusung dok­trin real­isme sosialis. Pram dipen­jara di Nusakam­ban­gan sam­pai Agus­tus 1969 lalu dipin­dahkan ke Buru.

Pram per­nah mencer­i­takan bagaimana keadaan­nya saat dalam pela­yaran menu­ju pem­buan­gan­nya di Pulau Buru, Maluku. Bertepatan den­gan tang­gal kemerdekaan Indone­sia tahun 1969, kapal yang ditumpanginya men­gala­mi masalah. Pram dan Tapol lain­nya dikun­ci di geladak khusus dalam kapal sehing­ga tidak memu­ngkinkan bagi mere­ka untuk menye­la­matkan diri jika ter­ja­di sesu­atu yang tidak diinginkan.

Kemerdekaan untuk mere­ka yang bebas dan pen­der­i­taan untuk mere­ka yang tertin­das. Pram menu­turkan bagaimana ia dap­at menden­gar sayup-sayup lagu kebangsaan Indone­sia Raya dari atas kapal saat ia bersama Tapol lain­nya terom­bang-amb­ing di atas lau­tan lep­as. Per­ayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan men­ja­di per­ayaan pem­buan­gan baginya.

Di kamp pem­buan­gan Pulau Buru, Tapol diper­lakukan seper­ti orang buan­gan. Mere­ka diram­pas selu­ruh haknya, dipak­sa bek­er­ja untuk mem­ban­gun kamp mere­ka sendiri, mem­ban­gun jalanan, mem­bu­ka lahan per­tan­ian, dan menghidupi diri mere­ka sendiri. Seper­ti ceri­ta-ceri­ta ker­ja rodi dan romusa pada zaman­nya, penyik­saan dan pem­bunuhan men­ja­di hal yang biasa ter­ja­di di kamp pembuangan.

Selu­ruh jalanan yang kita ban­gun itu 175 kilo­me­ter. Tan­pa diu­pah, ker­ja pak­sa. Wak­tu itu tanah belum digarap di sana. Masih beru­pa tanah liar yang wak­tu kita datang itu baru mulai berco­cok tanam. Kita yang bikin jalanan, bikin sawah, bikin ladang, sam­pai men­ja­di gudang beras Maluku. Itu peker­jaan kami yang tidak per­nah men­da­p­atkan ter­i­makasih sam­pai sekarang.” (Pram, 2005)

Pram juga merekam surat yang tidak terkir­im, memo­ar, dan suara batin para Tapol dalam bukun­ya, Nyanyi Sun­yi Seo­rang Bisu. Tulisan-tulisan Pram men­ja­di sak­si bisu kejam­nya cengkra­man rez­im Orba, juga men­ja­di reka­man kema­t­ian kawan-kawan­nya yang mening­gal kare­na berba­gai sebab, mulai dari penyak­it yang tidak bisa dis­em­buhkan, bunuh diri, disik­sa atau dibunuh ten­tara pen­ja­ga kamp, dit­o­mbak pen­duduk setem­pat, hing­ga ter­sam­bar petir.

Selain Nyanyi Sun­yi Seo­rang Bisu, sela­ma di Pulau Buru, Pram juga menulis 8 naskah lain­nya, ter­ma­suk jilid per­ta­ma dalam tetralo­gi mas­ter­piece-nya, Bumi Manu­sia. Sebelum dituangkan dalam tulisan, Pram mencer­i­takan kisah-kisah­nya secara lisan kepa­da teman-teman­nya di Unit III Wanayasa, pulau pem­buan­gan, Buru. 

Pram menulis demi tetap menyalakan api hara­pan di dadanya. Sas­trawan nomor satu itu men­uangkan tulisan­nya pada ker­tas semen bekas yang digu­nakan untuk mem­ban­gun rumah kepala pen­gaw­al kamp den­gan alat tulis yang dida­p­atkan­nya dari roha­ni­awan secara berkala mem­berikan bimbin­gan rohani.

Beber­a­pa teman Pram ker­ap kali berse­dia meng­gan­tikan peker­jaan berat Pram agar ia bisa fokus untuk menuliskan karyanya. Ia men­ja­di ‘bin­tang’ tiap kali ada tamu luar yang datang ke kamp. Per­lakuan tak manu­si­awi pada para Tapol pun sem­pat men­da­p­at sorotan tajam dan keca­man oleh dunia Inter­na­sion­al hing­ga pada tahun 1973, Pram akhirnya men­da­p­atkan ban­tu­an mesin tik.

Di samp­ing itu, pena­hanan telah memisahkan Pram den­gan sanak kelu­ar­ganya. Sela­ma di kamp, Pram tetap berhubun­gan den­gan kelu­ar­ganya lewat surat-menyu­rat. Putri sulungnya, Astu­ti Anan­ta Toer men­gatakan bah­wa di kelu­ar­ganya, anak-anak Pram diharuskan menulis surat untuk sang ayah. Kala itu, butuh wak­tu satu tahun untuk surat-surat itu sampai.

Seti­ap ming­gu anak-anak Pram tidak per­nah absen menulis surat untuknya. Tan­pa mencer­i­takan kehidu­pan kelu­ar­ga mere­ka yang sulit den­gan berma­cam diskrim­i­nasi kare­na dicap seba­gai kelu­ar­ga Tapol. Ten­tu Pram juga menulis banyak surat untuk anak-anaknya meskipun tidak semua surat dap­at sam­pai di tan­gan keluarganya.

Per­nah satu kali, Astu­ti men­da­p­at kesem­patan untuk men­jen­guk Pram di Pulau Buru. Ia berte­mu den­gan ayah­nya dalam keadaan bibir ter­lu­ka dan telin­ga yang berdarah. Kun­jun­gan itu jus­tru mening­galkan trau­ma tersendiri baginya. Kare­na ia menyak­sikan penyik­saan militer kamp dari dekat sekali pada ayah­nya sendiri.

Bumi Manu­sia di Bumi Nusantara

Pramoedya Anan­ta Toer, kan­di­dat Asia pal­ing uta­ma untuk Hadi­ah Nobel.” — Time

Pramoedya Anan­ta Toer adalah seo­rang mas­ter cemer­lang dalam mengisahkan lika-liku emosi, watak, dan ane­ka moti­vasi yang ser­ba rumit.” — New York Times

Dunia telah men­catat nama Pramoedya Anan­ta Toer seba­gai salah satu sas­trawan yang pal­ing dihor­mati. Ia men­ja­di satu-sat­un­ya sas­trawan asal Indone­sia yang namanya berkali-kali dise­but seba­gai kan­di­dat Nobel Sas­tra, ajang peng­har­gaan sas­tra pal­ing bergengsi di dunia.

Tidak dipungkiri, Tetralo­gi Buru dan karya Pram lain­nya eksis mentereng di per­pus­takaan-per­pus­takaan di berba­gai bela­han dunia hing­ga men­ja­di pela­jaran wajib di seko­lah menen­gah atas di berba­gai negara. Guru-guru sas­tra di Fil­ip­ina, Aus­tralia, hing­ga Ameri­ka Serikat harus men­cari berba­gai ref­er­en­si untuk men­ga­jarkan keem­pat seri mag­num opus ini kepa­da peser­ta didiknya.

Lalu bagaimana den­gan eksis­ten­si Bumi Manu­sia di Bumi Nusantara?

Buku-buku Pram malah dicekal sela­ma masa Orba. Bersamaan den­gan penangka­pan­nya, ribuan buku di rumah­nya disi­ta dan naskah-naskah Pram dimus­nahkan. Bahkan muncul rumor ten­tang alasan men­ga­pa Pram tidak per­nah meme­nangkan peng­har­gaan Nobel Sas­tra. Rumor itu men­gatakan bah­wa ada seo­rang berpen­garuh Indone­sia yang men­datan­gi juri ajang peng­har­gaan terse­but dan mem­bisikkan, “Pramoedya is ….”

Sep­a­n­jang masa Orba pula, orang-orang yang ingin mem­ba­ca karya Pram harus melakukan­nya den­gan sem­bun­yi-sem­bun­yi. Keny­ataan yang pal­ing ken­tara, buku-buku Pram telah mem­beri sun­tikan seman­gat per­lawanan dan nasion­al­isme pada para pengge­marnya, para pemu­da dan maha­siswa dalam mem­per­juangkan reformasi.

Pada 1995, saat Pram dida­puk men­ja­di peme­nang Ramon Magsaysay Award pun tak lep­as dari kon­tro­ver­si. Beber­a­pa sas­trawan di Indone­sia men­gang­gap Pram tidak sep­a­tut­nya men­da­p­atkan peng­har­gaan terse­but. Mochtar Lubis yang sebelum­nya men­da­p­atkan peng­har­gaan yang sama, bahkan sam­pai men­gan­cam akan mengem­ba­likan hadi­ah yang telah dite­r­i­manya jika Pram men­da­p­atkan peng­har­gaan tersebut.

Hanya ada satu negara besar yang tidak men­ga­jarkan karya Pramoedya ke siswanya, Indone­sia.” - Max Lane

Men­duni­anya tulisan-tulisan Pram tidak lep­as dari per­an Max Lane, seo­rang indo­nen­sia­n­is asal Aus­tralia yang per­ta­ma kali men­er­jemahkan tulisan-tulisan Pram ke dalam Bahasa Ing­gris. Ia, orang yang rela meng­habiskan tabun­gan dan kelu­ar dari peker­jaan­nya di kedu­taan demi men­er­jemahkan karya-karya Pram, untuk selan­jut­nya dikir­im pada Pen­guin Books, pener­bit buku leg­en­daris asal Ing­gris yang ada di Australia.

Max Lane menu­turkan bah­wa sudah sep­a­tut­nya buku-buku Pram diperke­nalkan pada gen­erasi muda Indone­sia. Atau bahkan masuk dalam kuriku­lum Bahasa dan Sas­tra Indone­sia mapun Sejarah Nasion­al. Kare­na melalui sas­tra, sese­o­rang akan mulai men­ge­nal bangsanya dan melalui Pram ser­ta karya-karyanya, sese­o­rang akan men­ge­nal Indonesia.

Pada 30 April 2006, Pram menghem­buskan napas untuk ter­akhir kali di kedia­man­nya. Beber­a­pa tokoh pent­ing dan ratu­san pengge­mar melay­at dan men­gan­tarkan­nya ke peri­s­ti­ra­hatan ter­akhir. Mere­ka men­girin­gi keper­gian Pram den­gan senan­dung Inter­na­tionale dan Darah Juang.

Sep­ak ter­jang dan gilang-gemi­lang itu­lah yang mem­bu­at segala sesu­atu ten­tang Pram men­ja­di hal yang ter­tan­cap. Juga kata-katanya yang satu ini:

Sebut saya Pramis… kare­na saya adalah saya.”

Saya san­gat menc­in­tai Indone­sia. Anda bisa sebut saya Nasionalis.”

Penulis: Nadya Eka Nurlisa
Edi­tor: Ulum