Sela­ma ini, pema­haman masyarakat ter­hadap pengert­ian Hak Asasi Manu­sia (HAM) hanya sebatas Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pada­hal, HAM telah ter­mak­tub seba­gai hak kon­sti­tu­sion­al seti­ap war­ga negara dan mem­pun­yai der­a­jat yang jauh lebih ting­gi dari­pa­da UUD 1945. Oleh kare­na itu, seti­ap hak yang melekat di dalam diri war­ga negara meru­pakan kewa­jiban negara untuk melindunginya.

Prof. Jim­ly Asshidiqie, Man­tan Ket­ua Mahkamah Kon­sti­tusi tahun 2009 per­nah menuliskan bah­wa hak kon­sti­tu­sion­al war­ga negara itu dap­at diar­tikan seba­gai hak-hak yang dim­i­li­ki oleh seti­ap war­ga negara yang dilin­dun­gi oleh UUD 1945. Sejalan den­gan amanat kon­sti­tusi, yakni tepat­nya pada Pasal 28 I ayat (5) yang berbun­yi, “Untuk mene­gakkan dan melin­dun­gi hak asasi manu­sia sesuai den­gan prin­sip negara hukum yang demokratis, maka pelak­sanaan hak asasi manu­sia dijamin, diatur,dan dituangkan dalam per­at­u­ran perundang-undangan.”

Pada dasarnya, kon­sti­tusi di Indone­sia tidak hanya melin­dun­gi hak-hak asasi yang dim­i­li­ki oleh seba­gian masyarakat, kalan­gan, atau stra­ta ter­ten­tu saja. Namun, juga  melin­dun­gi HAM yang dim­i­li­ki oleh seti­ap tena­ga ker­ja di Indone­sia. Pemenuhan ser­ta per­lin­dun­gan HAM kepa­da peker­ja meli­batkan per­anan negara, baik dari segi pene­gakan hukum maupun pada hal-hal teknis.

Dari kaca­ma­ta hukum, per­lin­dun­gan ter­hadap tena­ga ker­ja adalah pemenuhan hak dasar yang melekat dan dilin­dun­gi oleh kon­sti­tusi. Hal ini dise­butkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbun­yi, “Tiap-tiap war­ga negara berhak atas peker­jaan dan penghidu­pan yang layak bagi kemanusiaan.”

Kemu­di­an dalam Pasal 33 ayat (1) yang menye­butkan bah­wa, “Perekono­mi­an dis­usun seba­gai usa­ha bersama atas kekelu­ar­gaan.” Per­lin­dun­gan hukum ini memi­li­ki tujuan supaya hak-hak peker­ja dap­at ter­jamin dalam equal­i­ty, oppor­tu­ni­ty, ser­ta per­lakuan yang berperikemanusiaan. 

Di ten­gah anca­man pan­de­mi seper­ti saat ini, mis­al, pen­jam­i­nan ser­ta per­lin­dun­gan hukum bagi peker­ja men­ja­di urgen­si­tas tersendiri. Sebab, lebih dari sepu­luh juta peker­ja kita ter­dera pemu­tu­san hubun­gan ker­ja (PHK), ter­hi­tung sejak awal pan­de­mi tahun 2020. Kon­sti­tusi seba­gai dasar hukum tert­ing­gi meru­pakan penge­jawan­ta­han sosok pengin­gat bagi negara yang memegang tang­gung jawab untuk mem­berikan lapan­gan peker­jaan selu­as mungkin bagi mere­ka kor­ban PHK.

Selain itu, kon­sti­tusi memegang per­an seba­gai guide­lines atau pedo­man­ba­gi pelaku usa­ha, pemi­li­ki usa­ha, maupun peker­ja itu sendiri dalam men­jalankan aktiv­i­tas­nya. Sehing­ga, kasus-kasus kek­erasan dan pelang­garan HAM di lingkun­gan ker­ja pun dap­at dice­gah den­gan lebih mudah. 

Dalam hal berserikat dan penyam­pa­ian pen­da­p­at, kita tidak dap­at pungkiri jika peker­ja memi­li­ki kon­tribusi yang luar biasa besarnya. Keti­ka aksi meno­lak Ran­can­gan Undang-Undang (RUU) Cip­ta Ker­ja atau Omnibus law, mis­al, peker­ja uta­manya buruh men­dom­i­nasi aksi di pen­ju­ru tanah air. Ini mengindikasikan bah­wa hak-hak peker­ja dalam berserikat, berpen­da­p­at, ser­ta beraspi­rasi juga harus diperjuangkan.

Seba­gai bagian dari HAM, hak berserikat juga ter­mak­tub di dalam kon­sti­tusi kita. Pasal 28 E ayat (3) UUD NRI tahun 1945 mene­gaskan, “Seti­ap orang berhak atas kebe­basan berserikat, berkumpul, dan men­gelu­arkan pen­da­p­at.” Den­gan demikian, tena­ga ker­ja di selu­ruh Indone­sia dijamin haknya dalam berserikat dan berpen­da­p­at oleh konstitusi.

Sinkro­nisasi yang ser­ingkali ter­den­gar adalah kai­tan­nya antara hukum den­gan peker­ja. Di satu sisi, peker­ja ingin berserikat atau menghim­pun keku­atan demi menyam­paikan keluhan dan tun­tu­tan­nya baik kepa­da insti­tusi pemer­in­ta­han maupun perusa­haan. Di sisi lain, terkadang hukum cen­derung sen­si­tif kepa­da aspi­rasi yang diusung oleh para peker­ja. Maka dari itu, per­lin­dun­gan hukum dan HAM ter­hadap tena­ga ker­ja di Indone­sia patut men­ja­di kewa­jiban negara, seba­gaimana diatur dalam konstitusi.

Selain itu, tak jarang kita men­jumpai kasus-kasus per­lakuan tidak menye­nangkan, per­i­laku tidak adil, dan kesewe­nang-wenan­gan majikan kepa­da peker­janya. Hal ini ser­ing kita temui pada lingkun­gan yang lebih sem­pit seper­ti rumah tang­ga dan usa­ha pro­duk­si skala kecil menen­gah. Salah satu yang lan­tang ter­den­gar adalah kek­erasan ter­hadap peker­ja rumah tang­ga (PRT).

Pada­hal kon­sti­tusi kita sudah secara tegas melarang tin­dakan semacam itu, seper­ti yang ter­mak­tub dalam Pasal 28 D ayat (2), “Seti­ap orang berhak untuk bek­er­ja ser­ta men­da­p­at imbal­an dan per­lakuan adil dan layak dalam hubun­gan ker­ja.” Namun, imple­men­tasi ter­hadap pasal ini terkadang berto­lak berlakang den­gan sub­stan­si normatifnya.

Pada dasarnya, kon­sti­tusi memi­li­ki kedudukan yang ting­gi dan kuat dalam upaya per­lin­dun­gan ter­hadap HAM, khusus­nya bagi tena­ga ker­ja di Indone­sia. Hal ini didukung oleh pasal-pasal yang sudah secara tegas menekankan pent­ingnya per­an negara dalam men­jamin ter­penuhinya hak-hak kon­sti­tu­sion­al para peker­ja di tanah air. Oleh kare­na itu, kon­sti­tusi seba­gai ground­norm, wajib dijadikan pedo­man bagi negara dalam upaya melin­dun­gi ser­ta men­jamin HAM. Supaya tujuan negara yang ter­mak­tub dalam pem­bukaan kon­sti­tusi juga dap­at diwujudkan.

Penulis: Rizky Sapu­tra
Edi­tor: Ulum