Indone­sia kini di ambang pin­tu perselisi­han. Salah satu penye­bab­nya sal­ing sindir menyoal Suku, Aga­ma, Ras, dan Antar­go­lon­gan (SARA). Sikap mem­be­narkan keyak­i­nan dan menut­up diri mener­i­ma nasi­hat orang lain men­ja­di kege­lisa­han negara. Tak luput juga mas­ing-mas­ing aga­ma yang kini men­co­ba mem­ban­tu negara memimpin umat­nya, melu­ruskan sejatinya pent­ing tol­er­an­si antar umat beraga­ma. Seba­gaimana dilan­sir dalam suaraindonesia-news.com salah satu yang dilakukan oleh umat aga­ma Hin­du adalah melak­sanakan upacara Melasti yang men­gangkat tema “Tol­er­an­si Keruku­nan” di Jem­ber, Jawa Timur.

Upacara yang dilakukan sebelum menyam­but Hari Raya Nyepi yang jatuh pada tang­gal 17 Maret 2018 ini, meru­pakan potret keruku­nan yang dicip­takan oleh umat Hin­du untuk men­ja­ga keu­tuhan Negara Kesat­u­an Repub­lik Indone­sia (NKRI). Hal ini seharus­nya men­ja­di reflek­si cara beraga­ma, cara meng­hor­mati, dan cara men­ja­ga keruku­nan dalam diri seti­ap indi­vidu. Menekankan bah­wasan­nya seti­ap aga­ma memi­li­ki cara perib­ada­han sendiri dan cara men­ja­ga tol­er­an­si agar tetap rukun.

Menu­rut Said Agil Husein al-Munawwar, salah satu agen­da besar kehidu­pan berbangsa dan berne­gara adalah men­ja­ga per­sat­u­an dan kesat­u­an bangsa dan mem­ban­gun kese­jahter­aan hidup bersama selu­ruh war­ga negara dan umat beraga­ma. Ham­bat­an yang cukup berat demi mewu­jud­kan kear­ah terse­but adalah masalah keruku­nan nasion­al, ter­ma­suk di dalam­nya hubun­gan antar aga­ma dan keruku­nan hidup umat beragama.

Sikap ego­isme atas nama aga­ma ker­ap tim­bul men­ja­di kobaran api kon­flik yang tidak dap­at terk­endali. Nilai-nilai keruku­nan yang dija­ga baik oleh masyarakat men­ja­di nyala api yang sewak­tu-wak­tu melu­luh-lan­takkan keruku­nan yang ter­jalin hanya sebab satu orang yang memi­li­ki sifat ego­is. Men­gang­gap keyak­i­nan­nya benar dan men­gang­gap keyak­i­nan orang lain adalah salah. Sehing­ga per­lu adanya pem­be­naran den­gan meng­ha­lalkan segala cara ter­ma­suk kekerasan.

Kiai Said Aqil Siroj, menyam­paikan bah­wa tidak ada gunanya orang beraga­ma jika tidak melakukan tiga hal berikut ini. Per­ta­ma, terus-menerus menyerukan sedekah. Ked­ua, selalu berbu­at baik. Keti­ga, men­gu­payakan rekon­sil­iasi atau per­dama­ian kemanu­si­aan (Kom­pas, 18/3).

Tidak mudah mendefiniskan aga­ma, apala­gi di dunia ini kita men­e­mukan keny­ataan bah­wa aga­ma amat beragam. Sama hal­nya den­gan tiga dimen­si “Kebaikan dalam Beraga­ma” di atas. Keti­ga unsur ini sejatinya men­ja­di tujuan dari aga­ma itu hadir untuk mem­bimb­ing manu­sia menu­ju jalan yang benar dan ter­hin­dar dari tin­dakan-tin­dakan yang merugikan orang lain.

Pada poin per­ta­ma, dalam aga­ma kita dia­jarkan untuk bersedekah mem­ban­tu orang-orang yang ada dis­eke­lil­ing kita yang tidak mam­pu. Di mana kita selalu diberikan pema­haman keu­ta­maan sedekah adalah men­ga­jarkan kita ter­hadap kebaikan. Sehing­ga akan tum­buh rasa kepedu­lian, kasih sayang dan per­ha­t­ian ter­hadap sesama.

Poin ked­ua, dalam aga­ma kita dia­jarkan untuk berbu­at baik ter­hadap sesama. Tidak ada aga­ma yang men­ga­jarkan kebu­rukan pada umat­nya. Jika saat ini kita banyak meli­hat kon­flik men­gatas­na­makan aga­ma, berlaku kek­erasan ter­hadap sesama manu­sia atas nama jihad itu san­gat salah. Hal yang dicatat bukan­lah pada hasil tapi ori­en­tasi pros­es. Sama hal­nya memak­nai sebuah ajaran aga­ma yang menun­tun kita untuk berbu­at baik. Per­juan­gan untuk berbu­at baik­lah yang berni­lai dan ter­catat. Maka san­gat salah sekali jika ben­tuk kek­erasan men­gatas­na­makan jihad dilakukan, kare­na aga­ma tidak per­nah men­ga­jarkan kita untuk bertin­dak di luar batas kemanu­si­aan. Seba­liknya, kita dia­jarkan untuk memanu­si­akan manusia.

Poin keti­ga, hal ter­pent­ing dalam per­juan­gan ori­en­tasi pros­es adalah menu­ju per­dama­ian kemanu­si­aan. Mudah  dibayangkan namun sulit diim­ple­men­tasikan. Perny­ataan terse­but mewak­ili wajah Indone­sia saat ini, dimana akhir-akhir ini, nilai-nilai keruku­nan mulai terkikis dan men­gala­mi degradasi. Seo­lah-olah sem­boy­an “Bhine­ka Tung­gal Ika” cukup dalam kata namun ker­ing dalam pemak­naan. Per­lu sekali kita mema­ha­mi dan kem­bali mem­bu­ka kitab sejarah, agar masa kelam ter­dahu­lu tidak ter­ja­di di gen­erasi berikutnya.

Tol­er­an­si yang kini sedang dijalankan oleh umat Hin­du adalah tujuan baik untuk mem­per­erat rasa per­saudaraan, per­sat­u­an, dan kesat­u­an. Keyak­i­nan yang mere­ka pegang sama hal­nya den­gan ajaran Islam yang may­ori­tas. Ini seharus­nya men­ja­di pela­jaran dan reflek­si seti­ap indi­vidu untuk menyikapi seti­ap  perbedaan.

Tol­er­an­si dalam per­gaulan hidup antar umat beraga­ma yang didasarkan kepa­da seti­ap aga­ma men­ja­di tang­gung­jawab pemeluk aga­ma itu sendiri dan mem­pun­yai ben­tuk iba­dat (rit­u­al) den­gan sis­tem dan tata cara sendiri yang dibebankan ser­ta men­ja­di tang­gung orang yang memeluknya atas dasar itu, maka tol­er­an­si dalam per­gaulan tauhid antar umat beraga­ma bukan­lah tol­er­an­si dalam masalah-masalah keaga­maan, melainkan per­wu­ju­dan sikap keber­aga­man pemeluk suatu aga­ma dalam per­gaulan hidup antara orang yang berbe­da keyak­i­nan, dalam masalah kemasyarakatan atau kemasla­hatan umat.

Dalam mewu­jud­kan kemasla­hatan umum, aga­ma telah meng­gariskan dua pola dasar hubun­gan yang harus dilak­sanakan oleh pemeluknya, yaitu hubun­gan ver­tikal dan hubun­gan hor­i­zon­tal. Yang per­ta­ma adalah hubun­gan prib­a­di den­gan tuhan­nya yang tere­al­isasi melalui ben­tuk iba­dat seba­gaimana yang telah digariskan oleh aga­manya. Yang ked­ua adalah hubun­gan antara manu­sia den­gan sesamanya.

Aga­ma tidak per­nah berhen­ti dalam men­gatur tata kehidu­pan manu­sia, kare­na itu keruku­nan dan tol­er­an­si antar umat beraga­ma bukan sekedar hidup berdampin­gan yang pasif saja, akan lebih dari itu untuk berbu­at baik dan berlaku adil antara satu sama lain. bagi umat Islam dan pemeluk aga­ma lain­nya, seyo­gyanya perbe­daan aga­ma jan­gan sam­pai meng­ha­lan­gi untuk berbu­ta baik dan berlaku adil ter­hadap manu­sia tan­pa diskrim­i­nasi aga­ma dan kepercayaan.

Tol­er­an­si dalam per­gaulan hidup antar umat beraga­ma berpangkal dari peng­hay­atan ajaran aga­ma mas­ing-mas­ing. Bila tol­er­an­si dalam per­gaulan hidup dit­ing­galkan, berar­ti kebe­naran ajaran aga­ma tidak diman­faatkan sehing­ga per­gaulan dipen­garuhi rasa sal­ing curi­ga dan sal­ing berprasang­ka. Tol­er­an­si posi­tif kecuali meman­i­fes­tasikan kebe­naran aga­ma secara hor­i­zon­tal, juga meru­pakan bagian dari cara memurnikan prin­sip demokrasi.

Ania

penyu­ka sas­tra, trav­el­ing, berkhay­al, pengge­mar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).