Judul: Kisah Sawo Kecik Jela­jah Pra­ju­rit Dipone­goro di Kediri
Penulis: M. Fikri Zul­fikar
Pener­bit: Growin
Tahun ter­bit: 2019
Tebal: 170 hala­man
ISBN: 978–602–73564–5–0

Sebelum diter­bitkan men­ja­di buku, tulisan dalam buku Kisah Sawo Kecik ini dimu­at dalam ser­i­al koran Jawa Pos Radar Kediri sela­ma bulan Puasa Ramad­han. Ada dua puluh dela­pan judul tulisan yang diter­bitkan dalam buku ini. Mas­ing-mas­ing memi­li­ki latar tem­pat yang berbe­da, namun sal­ing berhubun­gan di wilayah Kediri.

Sesuai judul­nya, pem­ba­hasan awal buku ini mengisahkan Buah Sawo Kecik. Buah yang memi­li­ki nama latin Manilka­ra Kau­ki ini memi­li­ki hubun­gan erat den­gan jejak laskar atau pengikut Panger­an Diponegoro.

Sete­lah pasukan panger­an Dipone­goro kalah dalam perang Jawa, mere­ka melarikan diri dan men­gubah tak­tik per­lawanan. Tidak lagi den­gan perang fisik, namun melalui jalur pen­didikan yang menekankan syiar aga­ma Islam pada war­ga sek­i­tar. Kon­sep­nya, saat war­ga semakin ter­didik, mere­ka akan mam­pu men­ja­ga dirinya sendiri, ter­ma­suk dari kolonialisme.

Pasukan Dipone­goro hidup dalam penya­ma­ran sem­bari melakukan syiar Islam. Mere­ka meng­gu­nakan  masjid-masjid seba­gai sen­tral ger­akan. Beber­a­pa melakukan babad alas (mem­bu­ka lahan) yang selan­jut­nya diban­gun sebuah pon­dok pesantren di lokasi tersebut.

Dalam hal berko­mu­nikasi, mere­ka memil­ih meng­gu­nakan pohon sawo kecik seba­gai san­di atau penan­da. Pohon sawo kecik yang ditanam dide­pan rumah, masjid, maupun pon­dok pesantren meru­pakan sim­dol bah­wa tem­pat terse­but didirikan oleh eks pasukan Dipone­goro. Pemil­i­han buah sawo kecik seba­gai sim­bol pun tidak sem­barang, ter­da­p­at nilai filosofis yang ter­sir­at didalamnya.

Sawo itu dari kata sawwu yang biasa kita den­gar sebelum salat, imam biasanya mem­ba­cakan hadis yang diri­way­atkan Anas bin Malik, yaitu sawwu sufu­u­fakum yang artinya luruskan barisan kalian. Sawo yang dip­il­ih oleh pra­ju­rit Dipone­goro pun jenis sawo kecik. Kecik sendiri diibaratkan seba­gai becik (bahasa Jawa) atau kebaikan. Sehing­ga, mak­na sawo kecik saat adalah luruskan barisan kalian untuk melakukan kebaikan atau kebenaran.”

Selain sawo kecik, ter­da­p­at tana­man pen­ing­galan lain yang digu­nakan seba­gai sim­bol oleh pasukan Dipone­goro, yakni pohon kela­pa gading.

Selain melalui tana­man, kita bisa men­je­ja­ki pen­ing­galan mere­ka den­gan meli­hat gaya arsitek­tur masjid­nya. Gaya arsitek­tur masjid yang banyak dite­mui di Kediri adalah gaya matara­man yang umum­nya ada di Jawa Ten­gah. Hal ini menan­dakan adanya kai­tan erat wilayah terse­but den­gan eks pra­ju­rit Diponegoro.

Selain itu, ter­da­p­at kulah di dalam masjid seba­gai tem­pat wud­hu dan man­di sebelum melak­sanakan ibadah. Hal unik ada pada kulah di Pon­pes Mif­tahul Ulum. Kulah di sana memi­li­ki fungsi tam­ba­han, yakni seba­gai tem­pat meny­im­pan sen­ja­ta ten­tara Hizbul­lah pada masanya.

Kedia­man Pra­ju­rit Dipone­goro juga tak lep­as dari ciri khas ter­ten­tu yang digu­nakan seba­gai sim­bol, yakni balekam­bang. Tem­pat ini memi­li­ki letak sedik­it men­jorok di bagian depan Jog­lo, namun tidak sama den­gan ruang tamu yang bera­da di bagian uta­ma rumah. Balekam­bang digu­nakan seba­gai tem­pat perte­muan, men­ga­jar men­ga­ji, dan serasehan.

Ada­pun cara syiar pasukan panger­an Dipone­goro di Kediri mirip den­gan yang dit­er­ap­kan oleh Wali San­ga. Ada yang meng­gu­nakan jalur perkaw­inan atau melalui kesen­ian, seper­ti game­lan seba­gai media dak­wah. Mere­ka juga menyiarkan ajaran aga­ma, seper­ti ajaran hidup seder­hana den­gan tujuan agar lebih mudah mendekatkan diri kepa­da Tuhan.

Pasukan panger­an Dipone­goro dalam penya­ma­ran­nya, selain di kenal seba­gai seo­rang wali yang seder­hana, mere­ka juga dike­nal ahli kanura­gan, kesak­t­ian, karamah, ser­ta tirakat yang besar.

Dik­isahkan salah sat­un­ya Kiai Shodiq Yasir yang meno­long orang ters­esat di Makkah keti­ka melak­sanakan haji sek­i­tar tahun 1970-an. Orang terse­but dim­inta memegang tan­gan Kiai Shodiq dan meme­jamkan mata. Hanya tiga langkah yang dirasakan, tapi keti­ka dia mem­bu­ka mata ia ter­be­lalak kare­na sudah sam­pai di rumah­nya, Tulungagung.

Lain lagi den­gan kisah Kiai Siro­judin yang mam­pu mem­bu­takan lawan. Kala itu, ilmun­ya per­nah ia gunakan untuk menangkap mal­ing cabai di area perke­bunan pon­dok. Konon keti­ka hen­dak kelu­ar sete­lah men­curi, si Mal­ing jus­tru merasa ters­esat. Alhasil dia berhasil ditangkap. Namun, bukan dihukum, Kiai Siro­judin jus­tru melepaskan mal­ing terse­but dan menyu­ruh­nya mem­bawa cabai hasil curi­an­nya. Beber­a­pa hari kemu­di­an si Mal­ing kem­bali, bukan untuk men­curi, namun untuk men­ja­di santri beliau.

Diba­has pula dalam buku ini Hadra­tus Syaikh Hasim ‘Asyari dan Ir. Soekarno mas­ing-mas­ing memi­li­ki hubun­gan erat den­gan eks pasukan Dipone­goro. Kiai Hasy­im ‘Asyari meru­pakan menan­tu dari Kiai Hasan pendiri Pon­dok Pesantren Kapu yang juga eks pra­ju­rit Dipone­goro. Semen­tara Bung Karno kecil san­gat lekat den­gan kelu­ar­ga yang terke­nal seba­gai tokoh babad alas Pojok,  Ben­dara Raden Mas (BRM) Pan­ji Soe­moad­mo­jo (Eyang Panji).

Kediri, tepat­nya wilayah Pare juga per­nah dijadikan lokasi Penelit­ian Antropolog Ameri­ka yang meneli­ti kisah syiar dari Mbah Nur Wahid. Kisah terse­but ter­mu­at dalam buku antropolog Clif­ford Geertz yang berjudul The Reli­gion of Java (Aga­ma Jawa).

Pem­ba­hasan dalam buku ini diakhiri den­gan ura­ian speku­lasi men­ga­pa eks pasukan panger­an Dipone­goro memil­ih Kediri seba­gai tem­pat bersem­bun­yi. Ada beber­a­pa fak­tor yang dise­butkan, diantaranya secara geostrate­gi wilayah Kediri cocok untuk pertem­pu­ran ger­ilya. Kediri juga meru­pakan wilayah yang strate­gis ser­ta ter­da­p­at ker­a­jaan yang per­nah ber­jaya pada masanya, yakni pada masa Sri Aji Joyoboyo.

Alasan sebe­narnya men­ga­pa Kediri men­ja­di tem­pat jujukan memang masih men­ja­di mis­teri. Namun, seman­gat juang mere­ka sudah pasti patut untuk kita jeja­ki. Pem­ba­hasan ditut­up den­gan sebuah puisi karya Chair­il Anwar yang berjudul Dipone­goro.

Secara keselu­ruhan buku ini layak untuk diba­ca sia­pa pun guna menam­bah khaz­anah di bidang sejarah sosial, lokal maupun nasion­al, khusus­nya terkait syiar Islam. Apala­gi bagi pengge­mar Panger­an Dipone­goro, judul buku ini rec­om­mend­ed masuk dalam daf­tar bacaan pem­ba­ca. Infor­masi yang dis­ajikan pun mam­pu mengisi beber­a­pa bagian rumpang sejarah lokal.

Kon­disi-kon­disi yang dit­uliskan di dalam buku sebe­narnya sudah ada sejak lama di sek­i­tar kita. Tapi, tak banyak yang tahu filosofi ter­pen­dam dari pohon sawo kecik itu. Bagi yang berdomisili di Kares­i­de­nan Kediri dan sek­i­tarnya, ten­tu bisa men­je­ja­ki secara lang­sung pen­ing­galan pasukan Dipone­goro dalam buku ini.

Buku ini ter­go­long ringkas. Satu judul bisa di baca dalam sekali duduk. Mirip cer­pen. Kare­na pada mulanya tulisan dalam buku ini dimu­at dalam ser­i­al koran secara bersam­bung, maka tidak bisa di pungkiri ada beber­a­pa bagian yang masih per­lu tam­ba­han lit­er­atur lain agar lebih gam­blang. Seper­ti pada bagian babad alas yang kemu­di­an erat den­gan asal usul dan tra­disi setem­pat. Lingkup pem­ba­hasan buku lokal, hanya sep­utar wilayah Kediri. Sehing­ga ter­da­p­at beber­a­pa bagian yang meny­er­takan bahasa daer­ah setem­pat yaitu bahasa Jawa, tan­pa mem­beri keteran­gan dalam bahasa Indone­sia. Memang tidak banyak, hanya sep­a­tah dua patah kata di beber­a­pa judul ter­ten­tu. Namun, hal terse­but cukup menggeli­tik jari mere­ka yang tidak paham untuk menu­ju mesin pencarian.

Penulis: Chas­an­tul Mardiyah
Edi­tor: Ulum