Ham­pir dua tahun, seti­ap hari men­je­lang mata­hari ter­bit hing­ga ter­be­nam. Aku meli­hat gadis itu selalu duduk sendiri­an di jem­bat­an kayu tepi hutan.  Posisi duduknya tak per­nah berubah. Kaki kanan menumpu kaki kiri, badan tegak den­gan telin­ga fokus menden­garkan ira­ma riak gelom­bang kecil air yang bertabrakan den­gan batu dan ben­da lain.

Namun sore ini berbe­da, ia tak sendiri­an. Dis­amp­ingnya ada seo­rang pemu­da den­gan keme­ja biru muda. Ram­but klim­is den­gan sisir­an ter­be­lah sama rata. Dagun­ya mulus den­gan hidung ban­gir ala orang arab yang per­nah berpelisir ke desa.  Sebe­narnya aku tak berni­at men­curi den­gar, namun ya sudahlah…

Sejak kapan kau datang ke desa ini dan dari mana kau tahu aku ada di sini?”

Dua hari lalu, Ratih… Ada proyek pem­ban­gu­nan di desa ini yang kebe­tu­lan aku man­dornya. Satu Ming­gu yang lalu aku berte­mu Nia, teman seko­lahku, masih ingat? Teman­mu keti­ka mag­a­ng. Dia tak sen­ga­ja meli­hat foto­mu di wall­pa­per ku keti­ka mem­in­jam pon­sel untuk menghubun­gi saudaranya. Katanya ia mengenalmu.”

Gadis itu nam­pak tak ingin menang­gapi, jari-jarinya mengam­bil biji kenari di sek­i­tar lalu ia lem­par ke sun­gai hing­ga menim­bulkan riak bun­dar transparan. Tau tak men­da­p­atkan bal­asan, pemu­da itu men­je­laskan tan­pa diminta.

Aku menanyakan keber­adaan­mu dan dia men­jawab kau bera­da di desa ini. Sewak­tu sam­pai di sini, aku sem­pat lupa. Namun kemarin, tak sen­ga­ja  menden­gar nama­mu dibicarakan beber­a­pa orang proyek.”

Ratih menat­ap pemu­da di samp­ingnya den­gan tersenyum.

Badan­mu tegap dan tam­bah muda,” kata Ratih

Ah, kau juga keli­hatan masih seper­ti gadis SMA. Hidup di desa seper­tinya mem­bu­at­mu awet muda.”

Tua atau muda sama saja, aku masih­lah Ratih yang dulu,”

Ratih yang dulu?”

Ya, mau bagaimana lagi?”

Pemu­da itu ter­diam. Seper­tinya ia faham arti kata dulu yang Ratih gunakan. Hidup penuh stig­ma, mem­bu­at­nya harus ter­je­bak dalam lorong hitam yang tak memi­li­ki ujung. Kehidu­pan yang kotor. Perem­puan pang­gi­lan. Begi­t­u­lah cara orang-orang desa memang­gil gadis itu. Awal­nya keti­ka gadis itu datang per­ta­ma kali ke desa, para war­ga menyam­but­nya den­gan tan­gan ter­bu­ka. Dua hari sete­lah kedatan­gan­nya, ia lang­sung mendaf­tarkan diri di salah satu seko­lah dasar yang keku­ran­gan tena­ga pen­ga­jar, tam­bah senanglah war­ga desa padanya. 

Namun naas, satu tahun kemu­di­an, di suatu pagi yang suram gadis itu dite­mukan ter­golek di kebun singkong tan­pa busana. Tubuh­nya penuh ruam kemer­a­han dan organ vital­nya lebam men­ge­naskan. Jika diper­hatikan, Ratih layaknya kor­ban pengeroyokan. Bukan­nya meno­long, para war­ga menat­ap­nya jijik. Ratih dia­baikan sam­pai sadar dan meny­eret dirinya sendiri dari lokasi ia dilecehkan.

Sete­lah peri­s­ti­wa itu, war­ga desa berspeku­lasi jika Ratih bukan­lah perem­puan baik-baik. Gadis murah yang mau-maun­ya dia­jak berz­i­na di kebun milik tetang­ga. Satu ming­gu Ratih nam­pak tidak kelu­ar dari bilik tem­pat ia ting­gal. Para tetang­ga bahkan ada yang men­gi­ra ia men­gakhiri hidup­nya kare­na malu menang­gung dosa. Meskipun banyak praduga-praduga buruk, tak ada sat­upun tetang­ga yang mau memerik­sa keadaan­nya, takut ketu­laran hina, katanya.  Hing­ga di suatu sore, di jem­bat­an kayu tem­patku bermain air sisa-sisa hujan. Gadis itu muncul den­gan sorot mata yang lebih tajam. Layaknya genan­gan den­dam yang siap dibalaskan. 

Jan­gan kau fikir orang yang memi­li­ki pro­fe­si seper­tiku tidak memi­li­ki penye­salan. Aku juga bisa merasa cemas keti­ka teringat per­in­tah ser­ta larangan Tuhan. Teruta­ma sete­lah sese­o­rang mema­su­ki bilikku.”

Lalu gadis itu tersenyum dan melanjutkan.

Keber­adaanku di desa ini sebe­narnya sudah tidak dibu­tuhkan, jika berbicara terkait keil­muan. Namun, biasanya orang lemah itu—eh aku lebih suka menye­but mere­ka orang-orang lemah. Yah, lemah kare­na selalu dikalahkan oleh naf­su bejat. Mere­ka selalu men­gawasiku. Meng­ga­galkan ren­canaku untuk mening­galakan desa ini.”

Aku bisa membantumu.”

Oh, tidak per­lu,” Ratih mem­bal­as­nya lugas. Tan­gan­nya men­gibas seakan men­gusir serangga.

Kena­pa?”

Ratih tersenyum lebih lebar dan berka­ta, “orang-orang lemah yang masuk bilikku ser­ing kali masih memakai ser­agam dinas­nya, kadang kala juga lela­ki baya yang baru saja turun dari mim­bar sete­lah berp­ida­to ten­tang hukum-hukum Tuhan dan aga­ma, bahkan beber­a­pa kali yang datang malah pemu­da-pemu­da yang ser­ing gem­bor-gem­bor ten­tang kese­taraan di alun-alun kota. Saat ini aku memi­li­ki misi baru. Menelan­jan­gi mere­ka, di depan kehor­matan yang mere­ka pamerkan, mem­bu­at tak­ber­daya di depan ilmu-ilmu yang selalu mere­ka bang­gakan, mem­permalukan mere­ka di depan sikap religius yang selalu mere­ka ter­ap­kan di depan publik.”

Luar biasa,” ujar pemu­da itu. “tak banyak orang seberani dirimu Ratih. Tapi, apakah kau tak per­nah menikmatinya?”

Tidak ada ner­a­ka yang patut untuk dinikmati, Anwar.” Gadis itu tertawa den­gan suara yang begi­tu sumbang.

Mata­hari telah tengge­lam seten­gah­nya men­cip­takan pan­tu­lan jing­ga di unjung sun­gai. Pemu­da yang baru kuke­tahui berna­ma Anwar itu menawarkan tumpan­gan untuk men­gan­tarkan Ratih pulang dan aku bersyukur gadis itu tidak menolaknya.

Jika dil­i­hat sepin­tas Ratih memang masih secan­tik seper­ti per­ta­ma kali bertan­dang ke desa, namun sia­pa yang tahu jika jiwanya telah raib dari raga. Jika ada yang bertanya sia­pa yang mem­bunuh, jawa­ban­nya adalah kata. Kata dari tetang­ga, dari pujang­ga, atau kata anak-anak perangkat desa yang per­nah memperkosanya.

Angin sore berhem­bus ringan, mem­bu­at bam­bu sek­i­tar hilir sun­gai berge­sekan sehing­ga men­cip­takan decitan ramai, tong­geret nam­paknya juga tak mau kalah men­gelu­arkan bun­yi sapaan­nya pada alam. Di ten­gah kebisin­gan itu, Anwar nam­pak tak ter­gang­gu dan masih  menat­ap Ratih dari samp­ing sebelum menyadari keberadaanku.

Wah, tak kusang­ka ada anjing di ten­gah hutan.”

Ya, itu anjing liar.”

Guk!!

Penulis: Titan
Edi­tor: Nurul